
Gawat! Tanda-tanda Resesi AS Kian Terlihat
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 December 2018 16:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Tanda-tanda resesi di negara dengan perekonomian terbesar di dunia kian terlihat. Pada awalnya, indikasi resesi di AS datang dari inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun.
Melansir data dari Refinitiv, hal ini terjadi pertama kalinya pada perdagangan tanggal 4 Desember 2018. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun hanya sebesar 2 bps.
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Pada perdagangan hari ini, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun membesar menjadi 3 bps.
Sebagai informasi, pada perdagangan kemarin (5/12/2018) bursa obligasi AS diliburkan guna menghormati pemakaman mantan Presiden AS George HW Bush yang meninggal beberapa hari yang lalu.
Tanda-tanda awal datangnya resesi belum hilang dari pasar, bahkan kian mengkhawatirkan.
Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Lantas, pergerakan spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi sangat penting untuk diamati. Pasalnya, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari situ. Ketika inversi terjadi, kemungkinan besar resesi akan datang.
Celakanya, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 bps. Kini, nilainya tersisa 49 bps saja. Posisi hari ini juga menipis dibandingkan posisi per 4 Desember yang sebesar 50 bps.
Seiring dengan indikasi resesi di AS yang kian nyata, pasar keuangan negara-negara Asia ditinggalkan investor.
Kala perekonomian AS mengalami resesi, tentu negara-negara Asia akan merasakan dampaknya. Akibatnya, mata uang dan pasar saham mengalami tekanan jual seperti yang kita lihat saat ini.
Sejatinya, AS menjadi pihak yang paling dirugikan ketika resesi terjadi disana. Saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas investor.
Namun, mengingat kini resesi belum benar-benar terjadi (bahkan belum ‘dikonfirmasi’ oleh inversi spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun), dolar AS selaku safe haven masih diburu oleh investor.
Ketika resesi memang benar-benar terjadi nantinya, saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas dan investor akan beralih memeluk emas yang juga merupakan safe haven. Hal ini terjadi pada krisis subprime mortgage tahun 2007-2009.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Inflasi Amerika Susah Turun, Resesi Bakal Panjang dan Parah?
Melansir data dari Refinitiv, hal ini terjadi pertama kalinya pada perdagangan tanggal 4 Desember 2018. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun hanya sebesar 2 bps.
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Sebagai informasi, pada perdagangan kemarin (5/12/2018) bursa obligasi AS diliburkan guna menghormati pemakaman mantan Presiden AS George HW Bush yang meninggal beberapa hari yang lalu.
Tanda-tanda awal datangnya resesi belum hilang dari pasar, bahkan kian mengkhawatirkan.
Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Lantas, pergerakan spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi sangat penting untuk diamati. Pasalnya, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari situ. Ketika inversi terjadi, kemungkinan besar resesi akan datang.
Celakanya, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 bps. Kini, nilainya tersisa 49 bps saja. Posisi hari ini juga menipis dibandingkan posisi per 4 Desember yang sebesar 50 bps.
Seiring dengan indikasi resesi di AS yang kian nyata, pasar keuangan negara-negara Asia ditinggalkan investor.
Kala perekonomian AS mengalami resesi, tentu negara-negara Asia akan merasakan dampaknya. Akibatnya, mata uang dan pasar saham mengalami tekanan jual seperti yang kita lihat saat ini.
Sejatinya, AS menjadi pihak yang paling dirugikan ketika resesi terjadi disana. Saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas investor.
Namun, mengingat kini resesi belum benar-benar terjadi (bahkan belum ‘dikonfirmasi’ oleh inversi spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun), dolar AS selaku safe haven masih diburu oleh investor.
Ketika resesi memang benar-benar terjadi nantinya, saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas dan investor akan beralih memeluk emas yang juga merupakan safe haven. Hal ini terjadi pada krisis subprime mortgage tahun 2007-2009.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Inflasi Amerika Susah Turun, Resesi Bakal Panjang dan Parah?
Most Popular