
Mohon Maaf, Rupiah Masih Terburuk di Asia Sampai Siang Ini
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 December 2018 13:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan nilai tukar rupiah kian mengecewakan saja. Dibuka melemah 0,28% di pasar spot ke level Rp 14.430/dolar AS, rupiah melemah hingga 1,1% ke level Rp 14.548/dolar AS pada pukul 13:00 WIB.
Nampaknya, rupiah akan mengakhiri hari dengan membukukan pelemahan selama 3 hari berturut-turut.
Sejatinya, hampir seluruh mata uang kawasan Asia melemah di hadapan greenback. Tapi, pelemahan rupiah menjadi yang terdalam.
Dolar AS sebenarnya sedang berada dalam posisi yang kurang oke, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang terkoreksi sebesar 0,07%. Namun, pelemahan dolar AS bukan datang lantaran tingginya appetite investor untuk berburu saham di kawasan Asia.
Hingga berita ini diturunkan, bursa saham utama kawasan Asia ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,49%, indeks Shanghai turun 1,65%, indeks Hang Seng turun 2,71%, indeks Strait Times turun 1,28%, dan indeks Kospi turun 1,59%.
Dolar AS terpukul lantaran investor banyak memburu yen untuk mengamankan dananya. Yen menguat 0,38% melawan dolar AS ke level JPY 112,76.
Mata uang yen diburu seiring dengan penguatan dolar AS yang sudah cukup signifikan sepanjang tahun ini. Lebih lanjut, kinclongnya rilis data ekonomi di Jepang juga menambah daya tarik yen.
Beberapa hari yang lalu, angka final untuk data Nikkei Manufacturing PMI Jepang periode November 2018 diumumkan sebesar 52,2, mengalahkan konsensus yang sebesar 51,8, seperti dilansir dari Trading Economics.
Di kawasan Asia, dolar AS tetap menjadi pilihan investor, terlepas dari posisinya yang sedang keok melawan yen.
Investor ogah untuk memeluk mata uang negara-negara Asia seiring dengan dengan pasar obligasi AS yang masih mengindikasikan datangnya resesi. Pada perdagangan hari ini, yield obligasi tenor 2 (2,7702%) dan 3 tahun (2,8133%) masih lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun (2,7533%).
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi yield curve inversion pada obligasi tenor 2-5 tahun dan 3-5 tahun.
Inversi di pasar obligasi AS terjadi bukan karena pelaku pasar melepas instrumen obligasi. Terhitung sejak perdagangan tanggal 4 Desember 2018, imbal hasil obligasi AS tenor 2,3, dan 5 tahun terus membukukan penurunan. Namun, penurunan pada tenor 5 tahun jauh lebih kencang, menandakan tekanan beli yang lebih kuat pada seri tersebut.
Keputusan pelaku pasar untuk memburu obligasi tenor 5 tahun mungkin ada hubungannya dengan hubungan dagang AS-China yang saat ini penuh dengan ketidakpastian. Seiring berjalannya waktu, terungkap bahwa ternyata pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Xi Jingping di Buenos Aires pada akhir pekan lalu menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Masing-masing negara memiliki pernyataan versinya sendiri yang menempatnya dirinya sebagai ‘pemenang’ dalam perundingan di sela-sela KTT G-20. Seperti dilansir dari Washington Post yang mengutip publikasi dari Bloomberg, pernyataan resmi dari masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan.
Perbedaan tersebut meliputi tenggat waktu 90 hari untuk menyelesaikan konflik dagang serta klaim dari Trump yang menyatakan bahwa China akan meningkatkan pembelian produk-produk agrikultur dari AS secepatnya.
Pernyataan dari kubu AS juga menyinggung bahwa merger antara Qualcomm dan NXP bisa kembali dipertimbangkan oleh Presiden Xi setelah sempat diblok beberapa waktu yang lalu. Tak ada konfirmasi mengenai hal ini dari kubu China.
Bahkan, pejabat pemerintahan China dilaporkan “bingung dan jengkel” dengan kelakuan pejabat pemerintahan AS, Washington Post melaporkan dengan mengutip mantan pejabat pemerintahan AS yang berkomunikasi dengan pejabat pemerintahan China.
“Anda tak (seharusnya) melakukan ini kepada China. Anda (seharusnya) tak mengumumkan dengan penuh kemenangan konsesi yang diberikan mereka di hadapan publik. Itu merupakan sebuah kegilaan,” kata pejabat tersebut.
Dengan ketidakpastian besar terkait dengan hubungan dagang AS-China, obligasi yang akan jatuh tempo dalam waktu 5 tahun ke depan menjadi lebih menarik. Pasalnya, dalam jangka waktu dekat (1-3 tahun) bisa terjadi kontraksi yang signifikan dalam perekonomian AS. Aksi jual investor asing di pasar saham ikut memperparah laju rupiah. Hingga akhir sesi 1, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 326 miliar.
Aksi jual investor asing terkonsentrasi pada saham-saham bank BUKU 4. Dari 5 besar saham yang dilepas oleh investor asing, 3 diantaranya merupakan saham bank BUKU 4. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dilepas Rp 84,6 miliar, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dilepas Rp 77,3 miliar, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dilepas Rp 65,9 miliar.
Sentimen negatif yang ada dijadikan alasan oleh investor asing untuk melakukan aksi ambil untung. Pada periode 30 Oktober hingga 5 Desember, indeks sektor jasa keuangan sudah membukukan kenaikan sebesar 13,5%. Bank Indonesia (BI) diketahui langsung melakukan intervensi di pasar spot dan Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak jatuh terlalu dalam.
"Kita lagi stabilkan rupiah. Intervensi di pasar spot dan DNDF," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah dalam pesan singkatnya ke CNBC Indonesia, Kamis (6/12/2018).
Dengan intervensi BI, tentu rupiah bisa memperbaiki posisinya. Namun, dengan memperhatikan posisi pelemahan saat ini yang begitu dalam, mungkin rupiah harus rela mengakhiri hari dengan menyandang predikat sebagai mata uang dengan performa terburuk di kawasan Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Nampaknya, rupiah akan mengakhiri hari dengan membukukan pelemahan selama 3 hari berturut-turut.
Sejatinya, hampir seluruh mata uang kawasan Asia melemah di hadapan greenback. Tapi, pelemahan rupiah menjadi yang terdalam.
Dolar AS sebenarnya sedang berada dalam posisi yang kurang oke, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang terkoreksi sebesar 0,07%. Namun, pelemahan dolar AS bukan datang lantaran tingginya appetite investor untuk berburu saham di kawasan Asia.
Hingga berita ini diturunkan, bursa saham utama kawasan Asia ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,49%, indeks Shanghai turun 1,65%, indeks Hang Seng turun 2,71%, indeks Strait Times turun 1,28%, dan indeks Kospi turun 1,59%.
Dolar AS terpukul lantaran investor banyak memburu yen untuk mengamankan dananya. Yen menguat 0,38% melawan dolar AS ke level JPY 112,76.
Mata uang yen diburu seiring dengan penguatan dolar AS yang sudah cukup signifikan sepanjang tahun ini. Lebih lanjut, kinclongnya rilis data ekonomi di Jepang juga menambah daya tarik yen.
Beberapa hari yang lalu, angka final untuk data Nikkei Manufacturing PMI Jepang periode November 2018 diumumkan sebesar 52,2, mengalahkan konsensus yang sebesar 51,8, seperti dilansir dari Trading Economics.
Di kawasan Asia, dolar AS tetap menjadi pilihan investor, terlepas dari posisinya yang sedang keok melawan yen.
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi yield curve inversion pada obligasi tenor 2-5 tahun dan 3-5 tahun.
Inversi di pasar obligasi AS terjadi bukan karena pelaku pasar melepas instrumen obligasi. Terhitung sejak perdagangan tanggal 4 Desember 2018, imbal hasil obligasi AS tenor 2,3, dan 5 tahun terus membukukan penurunan. Namun, penurunan pada tenor 5 tahun jauh lebih kencang, menandakan tekanan beli yang lebih kuat pada seri tersebut.
Keputusan pelaku pasar untuk memburu obligasi tenor 5 tahun mungkin ada hubungannya dengan hubungan dagang AS-China yang saat ini penuh dengan ketidakpastian. Seiring berjalannya waktu, terungkap bahwa ternyata pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Xi Jingping di Buenos Aires pada akhir pekan lalu menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Masing-masing negara memiliki pernyataan versinya sendiri yang menempatnya dirinya sebagai ‘pemenang’ dalam perundingan di sela-sela KTT G-20. Seperti dilansir dari Washington Post yang mengutip publikasi dari Bloomberg, pernyataan resmi dari masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan.
Perbedaan tersebut meliputi tenggat waktu 90 hari untuk menyelesaikan konflik dagang serta klaim dari Trump yang menyatakan bahwa China akan meningkatkan pembelian produk-produk agrikultur dari AS secepatnya.
Pernyataan dari kubu AS juga menyinggung bahwa merger antara Qualcomm dan NXP bisa kembali dipertimbangkan oleh Presiden Xi setelah sempat diblok beberapa waktu yang lalu. Tak ada konfirmasi mengenai hal ini dari kubu China.
Bahkan, pejabat pemerintahan China dilaporkan “bingung dan jengkel” dengan kelakuan pejabat pemerintahan AS, Washington Post melaporkan dengan mengutip mantan pejabat pemerintahan AS yang berkomunikasi dengan pejabat pemerintahan China.
“Anda tak (seharusnya) melakukan ini kepada China. Anda (seharusnya) tak mengumumkan dengan penuh kemenangan konsesi yang diberikan mereka di hadapan publik. Itu merupakan sebuah kegilaan,” kata pejabat tersebut.
Dengan ketidakpastian besar terkait dengan hubungan dagang AS-China, obligasi yang akan jatuh tempo dalam waktu 5 tahun ke depan menjadi lebih menarik. Pasalnya, dalam jangka waktu dekat (1-3 tahun) bisa terjadi kontraksi yang signifikan dalam perekonomian AS. Aksi jual investor asing di pasar saham ikut memperparah laju rupiah. Hingga akhir sesi 1, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 326 miliar.
Aksi jual investor asing terkonsentrasi pada saham-saham bank BUKU 4. Dari 5 besar saham yang dilepas oleh investor asing, 3 diantaranya merupakan saham bank BUKU 4. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dilepas Rp 84,6 miliar, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dilepas Rp 77,3 miliar, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dilepas Rp 65,9 miliar.
Sentimen negatif yang ada dijadikan alasan oleh investor asing untuk melakukan aksi ambil untung. Pada periode 30 Oktober hingga 5 Desember, indeks sektor jasa keuangan sudah membukukan kenaikan sebesar 13,5%. Bank Indonesia (BI) diketahui langsung melakukan intervensi di pasar spot dan Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak jatuh terlalu dalam.
"Kita lagi stabilkan rupiah. Intervensi di pasar spot dan DNDF," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah dalam pesan singkatnya ke CNBC Indonesia, Kamis (6/12/2018).
Dengan intervensi BI, tentu rupiah bisa memperbaiki posisinya. Namun, dengan memperhatikan posisi pelemahan saat ini yang begitu dalam, mungkin rupiah harus rela mengakhiri hari dengan menyandang predikat sebagai mata uang dengan performa terburuk di kawasan Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular