Fitch: Harga Brent US$ 72,5/barel di 2018, OPEC Cs Jadi Kunci

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 December 2018 20:50
Untuk jangka amat pendek, yakni tahun 2018, Fitch memroyeksikan harga brent menjadi US$ 72,5/barel, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya US$ 70/barel.
Foto: REUTERS/Leonhard Foeger
Jakarta, CNBC IndonesiaLembaga pemeringkat Fitch Ratings menaikkan proyeksi harga minyak di jangka pendek dan menengah.

Untuk jangka amat pendek, yakni pada tahun 2018, Fitch memroyeksikan harga brent menjadi US$ 72,5/barel, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya sebesar US$ 70/barel. Sementara, harga light sweet diestimasikan di angka US$ 65,50/barel, naik dari ramalan sebelumnya sebesar US$ 65/barel.

Fitch meyakini bahwa harga brent akan mendapat dukungan oleh keputusan pertemuan tahunan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia) pada 6 Desember mendatang.

Meski ada tekanan dari Amerika Serikat (AS), skenario paling mungkin adalah produsen minyak utama akan sepakat melakukan pemangkasan produksi untuk menstabilkan pasar. Hal ini akan memberikan tenaga bagi harga minyak brent untuk bisa menguat secara moderat.

Sebagai informasi, pada perdagangan hari ini pukul 18.55 WIB, harga minyak brent berada di level US$ 61,73/barel, sedangkan light sweet di level US$ 52,98/barel. Adapun rata-rata harga minyak di sepanjang tahun ini (hingga perdagangan kemarin) adalah US$ 72,79/barel (brent) dan US$ 66,14 (light sweet).

Di sisi lain, pemangkasan ini diragukan Fitch akan membawa pasar ke titik keseimbangan pada 2019. Hal ini membuat Fitch tidak merubah asumsi harga brent di US$ 65/barel pada tahun depan. Sedangkan, harga light sweet justru diproyeksi turun ke US$ 57,5/barel, dari sebelumnya US$ 60/barel.

Fitch berpendapat bahwa pertumbuhan permintaan minyak mentah yang solid pada tahun depan akan dikompensasi oleh meningkatnya pasokan dari AS. Secara keseluruhan, pasar minyak mentah akan terpasok dengan baik pada 2019.

Fitch juga meramalkan bahwa OPEC cs (termasuk Rusia) akan mempunyai kapasitas untuk menyerap shock pasokan yang tidak masif, seiring dampak sanksi Iran tidak separah yang diperkirakan sebelumnya.




Pada tahun 2020 dan 2021, harga brent diproyeksikan lebih tinggi oleh Fitch. Pada tahun 2020, harganya diasumsikan berada di kisaran US$62,5/barel, naik dari perkiraan semula US$ 57,5/barel. Sedangkan pada tahun 2021, harga brent juga diproyeksikan lebih tinggi di angka US$ 60/barel, dari sebelumnya US$ 57,5/barel.

Revisi proyeksi itu merefleksikan ekspektasi Fitch bahwa OPEC cs (termasuk Rusia) akan mengelola produksi untuk menjaga harga rata-rata tetap berada di level US$ 60/barel dalam jangka menengah. Untuk menjaga harga di atas US$ 70/barel diperkirakan akan sulit menyusul adanya tekanan dari Negeri Paman Sam.

Meski demikian, ada risiko yang muncul dari divergensi kebutuhan Arab Saudi dan Rusia. Padahal, dua negara tersebut adalah motor utama di balik kesepakatan pemangkasan OPEC cs. Hal ini lantas berpotensi melemahkan tingkat kepatuhan pemangkasan OPEC cs.

Rusia kini sudah cenderung menyesuaikan rentang harga yang lebih rendah. Dengan tingkat breakeven fiskal Rusia kini berada di kisaran US$ 55/barel. Di sisi lain, Fitch memroyeksikan Arab Saudi masih menginginkan harga berada di atas US$ 80/barel.

Berita positifnya, sejauh ini Negeri Padang Pasir mampu secara sendirian mengelola pasokan untuk memastikan kepatuhan pemangkasan tetap berada di level yang tinggi, apabila dibutuhkan.

Secara jangka panjang, asumsi harga Fitch tidak mengalami perubahan, di mana harga brent tetap diproyeksikan di level US$ 57,5/barel dan harga light sweet di US$ 55/barel.

Fitch masih beranggapan bahwa industri minyak serpih (shale oil) tetap menjadi produsen minyak marjinal, namun tetap mampu memenuhi porsi pertumbuhan permintaan global yang signifikan pada jangka panjang. Adapun biaya full-cycle per barel pun secara umum akan stabil.

Laju produksi shale oil sendiri masih akan menjadi faktor yang signifikan bagi harga minyak. Departemen Energi AS (US Energy Information Administration/EIA) mengekspektasikan produksi minyak mentah Negeri Adidaya, termasuk LNG, akan tumbuh menjadi sekitar 2 juta barel/hari pada 2018 dan 1,7 juta barel/hari pada 2019, yang mana melebihi pertumbuhan permintaan global.

Akan tetapi, keterbatasan infrastruktur masih akan membatasi seberapa besar produksi AS akan tumbuh setiap tahunnya, meski ada sejumlah proyek pipa penyaluran yang diekspektasikan selesai di 2019 dan 2020.      

TIM RISET CNBC INDONESIA

(RHG/hps) Next Article Risiko Geopolitik, Fitch Pangkas Rating Arab Saudi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular