Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga tengah hari,
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belum mampu menyentuh zona hijau. Dibuka terkoreksi 0,9% ke level 6.097,64, IHSG kemudian meluncur turun hingga ke titik terendahnya di level 6.064,83 (-1,43%). Per akhir sesi 1, IHSG memang memperbaiki posisinya, namun masih melemah 0,47% ke level 6.123,97.
Perdagangan berlangsung cukup ramai dengan nilai transaksi mencapai Rp 4,6 triliun. Volume perdagangan adalah 5,4 miliar unit saham dan frekuensi perdagangan adalah 238.661 kali.
Nilai transaksi hingga tengah hari sudah setara 54,7% dari rata-rata nilai transaksi harian yang sebesar Rp 8,41 triliun.
Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga terkoreksi: indeks Nikkei turun 0,48%, indeks Shanghai turun 0,21%, indeks Hang Seng turun 1,54%, indeks Strait Times turun 1,07%, dan indeks Kospi turun 0,71%.
[Gambas:Video CNBC]
Dari kawasan regional, sejatinya rilis data ekonomi pada hari ini cukup mendukung bagi investor untuk melakukan aksi beli di pasar saham. Nikkei Manufacturing PMI Singapura periode November 2018 diumumkan di level 53,8, lebih tinggi dibandingkan capaian bulan sebelumnya yang sebesar 52,6.
Kemudian di China, Caixin Composite PMI periode November 2018 diumumkan di level 51,9, mengalahkan capaian bulan sebelumnya yang sebesar 50,5. Caixin Service PMI periode yang sama diumumkan di level 53,8, juga mengalahkan capaian bulan sebelumnya yang sebesar 50,8.
Beralih ke Korea Selatan, posisi cadangan devisa per akhir November 2018 diumumkan sebanyak US$ 402,99 miliar, lebih tinggi dari capaian per akhir Oktober 2018 yang sebesar US$ 402,75 miliar. Namun apa mau dikata, sentimen negatif yang membayangi perdagangan hari ini juga cukup banyak. Pergerakan imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah AS membuat pelaku pasar resah.
Pada penutupan perdagangan hari Selasa (4/12/2018), yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di level 2,811% dan tenor 3 tahun berada di level 2,819%, lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yang sebesar 2,799%.
Fenomena yang disebut dengan yield curve inversion ini mengindikasikan adanya tekanan yang signifikan dalam perekonomian AS dalam waktu dekat, sehingga investor meminta yield lebih tinggi untuk obligasi bertenor pendek.
"Ada kekhawatiran karena terjadi inverted yield. Sebab, ini merupakan tanda-tanda awal terjadinya resesi," tegas Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, mengutip Reuters.
Kemudian, selepas menikmati euforia damai dagang AS-China, pelaku pasar kini kembali dibuat menelan pil pahit. Presiden AS Donald Trump sudah mulai kembali galak terhadap China. Sebelumnya, kedua negara telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata dalam sengketa perdagangan selama 90 hari.
Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar. Sedianya, kenaikan bea masuk ini akan mulai berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk-produk dari AS mulai dari hasil agrikultur, energi, manufaktur, dan sebagainya.
Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik menjadi 25%.
"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiaasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!," cuit Trump di Twitter pada hari Selasa waktu setempat (4/12/2018).
Pernyataan Trump ini menyadarkan pelaku pasar bahwa AS dan China memang belum meneken kesepakatan apapun secara formal. Masih banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum perang dagang bisa resmi diakhiri.
Rupiah yang babak belur ikut menyurutkan minat investor untuk masuk ke pasar saham tanah air. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,98% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.425. Dolar AS memang sedang relatif kuat, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang menguat sebesar 0,2%.
Dolar AS mendapatkan suntikan energi dari pernyataan Presiden The Federal Reserve New York John Williams.
"Saat saya berkaca ke belakang dan melihat ekonomi dalam kondisi yang kuat dan memiliki banyak momentum (pertumbuhan), maka kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut pada tahun depan masih masuk akal. Waktu untuk menentukan kapan harus menyesuaikan kebijakan tentu akan kami diskusikan," jelas Williams, dikutip dari Reuters.
"Kami memperhatikan dengan seksama sisi-sisi yang mengalami perlambatan atau tanda-tanda munculnya risiko. Namun perkiraan saya adalah tetap positif," tambah Williams.
Pernyataan ini menghapus pandangan bahwa The Fed mulai dovish. Williams menegaskan bahwa stance The Fed masih cenderung hawkish, setidaknya sampai tahun depan.
Dampak dari pelemahan rupiah bisa ditebak: saham-saham bank BUKU IV menjadi bulan-bulanan investor.
Per akhir sesi 1, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 2,13%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 1,42%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 1,35%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 0,98%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 0,57%.
Sektor jasa keuangan membukukan pelemahan sebesar 0,87%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.
Investor asing pun tak bisa diharapkan untuk mendongkrak kinerja bursa saham tanah air. Yang ada, mereka justru menambah tekanan dengan membukukan jual bersih senilai Rp 336 miliar.
5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 186,6 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 61,2 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 33,2 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 30,2 miliar), dan PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 22,8 miliar).
Sentimen negatif yang ada dijadikan alasan oleh investor asing untuk melakukan aksi ambil untung. Pada periode 29 Oktober-30 November, IHSG melesat hingga 4,69% dan dalam periode tersebut, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 11,25 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA