Profit Taking Memperkeruh Suasana, Rupiah Terlemah di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 December 2018 12:40
Profit Taking Memperkeruh Suasana, Rupiah Terlemah di Asia
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah hingga tengah hari ini. Sejak pembukaan pasar spot, depresiasi rupiah terus bertambah dalam. 

Pada Rabu (5/12/2018) pukul 12:10 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.425 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,98% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Semakin dekat dengan depresiasi 1%. 

Pelemahan rupiah yang lumayan dalam ini sudah bisa diperkirakan sebelum permbukaan pasar spot. Pasalnya, tanda-tanda depresiasi rupiah sudah terlihat di pasar Non-Deliverable Market (NDF).  


Benar saja, rupiah melemah 0,46% saat pasar spot dibuka. Setelah itu, rupiah terus melemah dan kini hampir mencapai 1%. 

 

Arus modal keluar yang terjadi di pasar keuangan Indonesia begitu berat membebani rupiah. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 335,92 miliar pada akhir perdagangan Sesi I. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,47%. 

Sementara di pasar obligasi pemerintah, keluarnya arus modal ditandai dengan kenaikan imbal hasil (yield). Sebab kala yield naik artinya harga sedang turun, sinyal sedang terjadi aksi pelepasan.

Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah berbagai tenor pada pukul 12:07 WIB, yang menunjukkan terjadi kenaikan di hampir seluruh tenor:



Koreksi hari ini sepertinya termaklumkan, karena sebelumnya obligasi pemerintah mengalami reli panjang. Sejak 30 Oktober sampai kemarin, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun sudah anjlok 80,8 basis poin (bps). Harga instrumen ini pun melesat 474,8 bps. 

Tingginya keuntungan yang sudah didapat membuat investor tergiur untuk melakukan ambil untung (profit taking). Lagi pula, sesekali koreksi dibutuhkan agar pasar tetap sehat dan tidak terjadi penggelembungan nilai aset (bubble). 

Aksi profit taking ini kemudian berimbas ke rupiah. Profit taking memperparah tekanan terhadap rupiah, yang sudah tertekan akibat kondisi eksternal yang tidak kondusif. Jadi walau profit taking adalah sesuatu yang wajar dan sehat, tapi terjadi pada saat yang kurang tepat.


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS memang sedang tak tertandingi. Pada pukul 12:24 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,22%. Indeks ini tidak berhenti menanjak sejak pagi tadi. 

Investor kembali berpaling ke dolar AS seiring tingginya risiko global. Sepertinya euforia damai dagang AS-China sudah pudar, dan sekarang yang ada malah keraguan.  

Pelaku pasar tidak yakin apakah Washington dan Beijing akan mampu menyelesaikan perbedaan dalam 90 hari. Jika sampai tidak ada kesepakatan dalam 90 hari ke depan, maka dampaknya akan luar biasa. 

AS akan menaikkan bea masuk untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah yang tentu sangat berpotensi mendatangkan balasan dari China. Saat ini terjadi, maka api perang dagang kembali bergelora. 

Selain itu, investor juga mencemaskan potensi perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam. Hal ini terlihat dari pasar obligasi AS. 

Pada pukul 12:15 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,7987% sementara tenor 3 tahun di 2,8079%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,7905%. 

Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield merupakan indikator bahwa akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang. 

Selisih (spread) yield jangka pendek dan jangka panjang juga semakin menyempit. Ini terjadi karena yield obligasi tenor jangka pendek cenderung naik sementara yang jangka panjang malah turun. Jadi ke depan sepertinya tekanan inflasi akan semakin mereda, pertanda ada kelesuan aktivitas ekonomi di Negeri Adidaya. 

Oleh karena itu, dolar AS memang sedang menjadi primadona pelaku pasar. Dalam situasi yang tidak pasti, memang paling baik adalah memegang aset aman (safe haven) seperti dolar AS. 

Tekanan terhadap mata uang tidak hanya dialami oleh Indonesia. Siang ini, seluruh mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS.  

Hanya saja, rupiah sejak pagi menjadi mata uang dengan pelemahan paling dalam di Benua Kuning akibat sentimen global yang negatif diperparah dengan aksi profit taking. Rupiah melanjutkan 'prestasi' kemarin, sama-sama menjadi mata uang terlemah di Asia. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:11 WIB: 




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular