
AS-China Sepakat, Moody's: Ketidakpastian Masih akan Terasa
Rehia Indrayanti Beru Sebayang, CNBC Indonesia
03 December 2018 15:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 di Argentina pada akhir pekan lalu telah membuahkan hasil positif.
Namun, lembaga pemeringkat Moody's mengatakan keputusan kedua negara untuk melakukan genjatan senjata sementara bukanlah hal yang patut dibanggakan.
"Kesepakatan yang sempit dan konsesi sederhana dalam perselisihan perdagangan yang sedang berlangsung tidak akan menjembatani jurang yang lebar antara kepentingan ekonomi, politik dan strategis masing-masing," kata Atsi Sheth, salah seorang direktur Moody's kepada CNBC Indonesia, Senin (3/12/2018).
Dalam pertemuan, China dan AS mencapai kesepakatan 90 hari gencatan senjata dalam sengketa perdagangan. Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar.
Sedianya kenaikan tarif itu berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk AS mulai dari hasil pertanian, energi, manufaktur, dan sebagainya.
Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.
Lebih lanjut, Sheth mengatakan, sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, AS dan China terlalu kuat untuk menyerahkan kepentingan nasional mereka masing-masing dalam negosiasi satu sama lain.
Namun, perang dingin ekonomi akan menjadi sangat berbahaya untuk kedua negara. Ini karena keduanya memiliki hubungan yang mendalam satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan antara kedua negara akan terancam oleh konflik dan kompromi tersebut.
Selain itu, ketegangan yang berlanjut akan mengganggu perdagangan global, mengikis keefektifan rezim perdagangan internasional multilateral, dan mengurangi pertumbuhan. Karena setiap perkembangan baru tercermin di pasar keuangan, itu akan mempengaruhi penilaian dan biaya pinjaman untuk banyak penerbit utang.
"Ketegangan antara AS dan China akan menghadirkan kondisi berupa memburuknya kualitas kredit global. Dampaknya akan terasa di tingkat global, negara, sektor, dan perusahaan. Juga, akan mempengaruhi kondisi kredit global di empat bidang utama, yaitu perdagangan, teknologi, investasi dan geopolitik," kata Sheth.
(miq/miq) Next Article Moody's Sebut Ancaman Bisnis Travel Pasca Covid, Loh Apa?
Namun, lembaga pemeringkat Moody's mengatakan keputusan kedua negara untuk melakukan genjatan senjata sementara bukanlah hal yang patut dibanggakan.
"Kesepakatan yang sempit dan konsesi sederhana dalam perselisihan perdagangan yang sedang berlangsung tidak akan menjembatani jurang yang lebar antara kepentingan ekonomi, politik dan strategis masing-masing," kata Atsi Sheth, salah seorang direktur Moody's kepada CNBC Indonesia, Senin (3/12/2018).
Sedianya kenaikan tarif itu berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk AS mulai dari hasil pertanian, energi, manufaktur, dan sebagainya.
Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.
Lebih lanjut, Sheth mengatakan, sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, AS dan China terlalu kuat untuk menyerahkan kepentingan nasional mereka masing-masing dalam negosiasi satu sama lain.
Namun, perang dingin ekonomi akan menjadi sangat berbahaya untuk kedua negara. Ini karena keduanya memiliki hubungan yang mendalam satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan antara kedua negara akan terancam oleh konflik dan kompromi tersebut.
Selain itu, ketegangan yang berlanjut akan mengganggu perdagangan global, mengikis keefektifan rezim perdagangan internasional multilateral, dan mengurangi pertumbuhan. Karena setiap perkembangan baru tercermin di pasar keuangan, itu akan mempengaruhi penilaian dan biaya pinjaman untuk banyak penerbit utang.
"Ketegangan antara AS dan China akan menghadirkan kondisi berupa memburuknya kualitas kredit global. Dampaknya akan terasa di tingkat global, negara, sektor, dan perusahaan. Juga, akan mempengaruhi kondisi kredit global di empat bidang utama, yaitu perdagangan, teknologi, investasi dan geopolitik," kata Sheth.
(miq/miq) Next Article Moody's Sebut Ancaman Bisnis Travel Pasca Covid, Loh Apa?
Most Popular