Apakah Badai Sudah Berlalu Buat Rupiah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 November 2018 14:50
Apakah Badai Sudah Berlalu Buat Rupiah?
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat signifikan pada hari ini. Bahkan tren penguatan rupiah sudah terjadi sejak akhir Oktober. Apakah ini pertanda badai sudah berlalu buat rupiah? 

Pada Kamis (29/11/2018) pukul 14:03 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.350 di perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 1,2% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya. 

Rupiah dalam tren menguat sejak akhir Oktober. Sejak 30 Oktober hingga kemarin, rupiah sudah menguat 4,53%. 

Penguatan yang terjadi selama nyaris sebulan ini membuat depresiasi rupiah sejak awal tahun menipis menjadi 7,08%. Pada puncaknya, rupiah sempat anjlok hingga di kisaran 12% sejak awal 2018. 

 

Apakah ini artinya tekanan terhadap rupiah mulai mereda? Apakah badai sudah berlalu? 

Untuk saat ini mungkin bisa dibilang seperti itu. Kepercayaan investor terhadap rupiah mulai pulih. Kini investor merasa lebih nyaman memegang rupiah dalam jangka panjang. 

Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 12 fund manager dan hasilnya cukup positif buat mata uang Tanah Air. Hasil jajak pendapat ini adalah skor -3 sampai 3, semakin mendekati 3 artinya investor lebih percaya memegang dolar AS dalam jangka panjang sehingga melepas mata uang domestik. 

Dalam survei yang digelar pada 29 November, skor rupiah adalah 0,71. Jauh membaik dibandingkan survei pada 1 November yang menghasilkan angka 1,69. 

Artinya, kini investor merasa nyaman memegang rupiah untuk jangka yang lebih panjang. Investor rela melepas dolar AS demi mengoleksi rupiah. 

Berikut hasil survei Reuters terkait persepsi investor terhadap sejumlah mata uang utama Asia: 

PeriodeCNYKRWSGDIDRTWDINRMYRPHPTHB
29-Nov1.060.740.570.710.730.550.960.70.5
15-Nov1.280.850.871.370.731.190.970.930.48
1-Nov1.370.990.751.690.821.370.891.070.53
18-Oct1.140.820.491.680.61.680.751.360.07
4-Oct1.110.560.71.650.651.740.741.530.1
20-Sep1.120.790.951.570.691.720.821.440.33
6-Sep0.920.640.861.370.681.720.91.130.24
23-Aug0.930.710.841.270.911.190.880.860.47
9-Aug1.520.940.81.210.9910.861.020.66
26-Jul1.551.080.841.351.131.250.761.440.87
 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Setidaknya ada faktor utama yang mengangkat persepsi investor terhadap rupiah. Pertama adalah harga minyak dunia yang anjlok sejak awal Oktober. Mulai 3 Oktober sampai kemarin, harga minyak jenis brent amblas 31,9% dan light sweet ambrol 34.18%.  



Kejatuhan harga si emas hitam disebabkan oleh persepsi kelebihan pasokan alias oversupply. US Energy Information Administration melaporkan, cadangan minyak AS naik 3,6 juta barel menjadi 450 juta barel pada pekan lalu. Cadangan minyak Negeri Adidaya terus naik dalam 10 pekan beruntun. Kemudian Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) memperkirakan terjadi oversupply sekitar 1,34 juta barel tahun depan.

Kelebihan pasokan terjadi pada saat bersamaan dengan perlambatan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 3,7% pada 2019, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. 

Pasokan yang melimpah tetapi ekonomi melambat yang artinya permintaan terhadap energi akan turun. Kombinasi itu adalah killer switch yang menyebabkan harga jatuh dan bisa bertahan cukup lama jika tidak ada intervensi seperti pemangkasan produksi. 

Namun koreksi harga si emas hitam adalah berkah bagi rupiah. Saat harga minyak turun, maka biaya impor migas akan ikut turun. Ini tentu akan meringankan beban di neraca migas, dan kemudian membuat transaksi berjalan (current account) membaik. 

Transaksi berjalan mencerminkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, yang lebih bertahan lama (sustainable) ketimbang pasokan dari portofolio di sektor keuangan alias hot money. Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi komponen penting yang menentukan kekuatan rupiah. 

Jika pasokan valas dari transaksi berjalan bisa membaik, maka rupiah juga akan lebih stabil dan kuat. Oleh karena itu, penurunan harga minyak bisa membantu menstabilkan dan menguatkan rupiah. 


(TIM RISET CNBC INDONESIA)


Sementara faktor kedua adalah kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang hawkish pada tahun ini. Sejak Mei, bank sentral sudah menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 175 basis poin (bps). 

Kemungkinan posisi (stance) kebijakan moneter BI tidak akan berubah banyak tahun depan. Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengungkapkan pendekatan preemtif dan ahead the curve masih akan dikedepankan pada 2019. Kebijakan moneter juga lebih condong ke arah menjaga stabilitas ketimbang mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Oleh karena itu, kemungkinan BI masih akan menaikkan suku bunga acuan secara gradual pada 2019. BI, yang mengedepankan pendekatan preemtif dan ahead the curve, tentu tidak ingin ketinggalan kereta karena tahun depan The Federal Reserve/The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga setidaknya tiga kali. Bank Sentral Uni Eropa (ECB) juga sepertinya mulai menaikkan suku bunga pada musim panas (tengah tahun) 2019. 

Kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan ikut mengerek imbalan investasi di Indonesia, utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Ada ekspektasi imbal hasil (yield) obligasi akan naik sehingga investor memburu instrumen tersebut. 

Didasari oleh misi pencarian cuan, investor asing rajin mengoleksi obligasi pemerintah Indonesia. Per 27 November, kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) tercatat Rp 897,89 triliun. Naik 3,99% dalam sebulan terakhir.  

Dua faktor tersebut, yaitu penurunan harga minyak dan kenaikan suku bunga acuan, menjadi alasan pulihnya kepercayaan investor kepada rupiah. Untuk saat ini, kita boleh bernafas lega karena sepertinya badai sudah berlalu meski bukan tidak mungkin dia akan datang lagi.  


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular