Sempat Loyo, Rupiah Kini Terbaik Ketiga di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 November 2018 11:27
Sempat Loyo, Rupiah Kini Terbaik Ketiga di Asia
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Foto: Arie Pratama)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin menguat seiring perjalanan pasar spot. Padahal rupiah sempat merasakan zona merah. Apa yang mendorong kebangkitan rupiah? 

Pada Senin (26/11/2018) pukul 11:03 WIB, US$ 1 diperdagangkan Rp 14.500. Rupiah menguat 0,24% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Rupiah dibuka stagnan di Rp 14.535. Setelah itu, rupiah malah sempat melemah meski sangat terbatas. 


Namun perlahan rupiah bisa bangkit. Senada dengan mata uang Asia lainnya, rupiah berhasil digdaya di hadapan dolar AS. 


Dengan penguatan 0,24%, rupiah (dan dolar Taiwan) menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia. Posisi puncak lagi-lagi ditempati rupee India dan won Korea Selatan menduduki peringkat kedua. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumah mata uang Asia pada pukul 11:08 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Penguatan rupiah sepertinya masih ditopang oleh arus modal masuk di pasar obligasi pemerintah. Ini terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) yang menandakan harga instrumen ini tengah naik akibat tingginya permintaan.

Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah Indonesia berbagai tenor, yang sebagian besar menurun:



Risk appetite pelaku pasar pekan semakin tumbuh seiring perkembangan di AS. Sejumlah data yang kurang impresif membuat investor bertanya-tanya seputar prospek perekonomian Negeri Paman Sam.

Misalnya klaim tunjangan pengangguran naik 3.000 menjadi 224.000 pada pekan lalu. Lebih tinggi dari estimasi pasar yang meramalkan penurunan ke angka 215.000.

Kemudian, pemesanan barang tahan lama inti non-pertahanan (mengeluarkan komponen pesawat) periode Oktober 2018 tidak mengalami perubahan. Lebih rendah dari konsensus Reuters yang mengekspektasikan pertumbuhan sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM). Sementara itu, data September direvisi ke bawah menjadi minus 0,5%, dari sebelumnya minus 0,1%.   

Data-data ini membuka kemungkinan (meski kecil) bahwa The Federal Reserve/The Fed bisa saja tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Sebab ekonomi AS ternyata belum berlari secepat perkiraan, masih ada hambatan di sana-sini.  

Artinya, ada risiko yield obligasi pemerintah AS tidak akan melonjak. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek yield obligasi.

Jika ada potensi The Fed tidak terlalu agresif, maka yield pun akan adem ayem saja. Obligasi pemerintahan Presiden Donald Trump menjadi kurang menarik, mengalami tekanan jual, dan investor pun menyebarkan dana ke berbagai negara. 

Sebagian arus modal itu tampaknya hinggap di pasar obligasi Indonesia. Apalagi Bank Indonesia (BI) baru menaikkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 6% pada 15 November lalu. Sejak Mei, BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah melonjak 175 bps. 

Investor yang berharap cuan pun berbondong-bondong membeli obligasi pemerintah Indonesia. Aliran modal di pasar obligasi menjadi motor penguatan rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular