
Rupiah Begitu-begitu Saja, Tapi Terbaik Kedua Asia

Pada Jumat (23/11/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.552. Rupiah menguat 0,27% dibandingkan posisi hari sebelumnya. Penguatan ini membuat rupiah terapresiasi 2 hari beruntun di kurs acuan.
Di pasar spot Asia, dolar AS bergerak variatif cenderung melemah. Rupee India masih menjadi mata uang dengan penguatan paling tajam di hadapan dolar AS. Rupiah yang sempat berada di posisi ketiga kini naik satu peringkat menjadi runner-up Asia.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:09 WIB:
Rupiah dan sejumlah mata uang Asia mampu memanfaatkan dolar AS yang sedang dalam posisi defensif. Pada pukul 10:12 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,24%. Indeks ini melemah sejak kemarin dan belum bisa bangkit.
Pelaku pasar global sedang bersemangat sehingga rajin berburu aset-aset berisiko di negara berkembang. Peningkatan risk appetite ini disebabkan kabar positif dari Eropa.
Uni Eropa dan Inggris dikabarkan sudah menyepakati poin-poin utama draf Brexit yang hasilnya akan diputuskan dalam sidang 25 November. Perkembangan ini membuat pelaku pasar boleh menghembuskan nafas lega. Risiko besar bernama No Deal Brexit kemungkinan tidak terjadi dan Inggris bisa berpisah baik-baik dengan Uni Eropa.
Sementara dari Italia, ada juga kabar gembira terkait drama fiskal 2019. Sepertinya aura positif semakin terasa karena Roma kian membuka diri untuk berdialog.
Hawa positif ini bisa membuat pasar semakin semringah. Ditambah dengan negosiasi Brexit yang juga ada titik terang, maka risk appetite akan meninggi.
Hasrat bermain dengan instrumen berisiko bisa membawa investor global masuk ke Indonesia. Ini akan membuat rupiah menjadi lebih bergairah.
Selain dari Eropa, harga minyak juga masih suportif terhadap rupiah. Pada pukul 10:15 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,26% dan light sweet anjlok 1,54%.
Bagi rupiah, penurunan harga minyak bisa menjadi sentimen positif. Rupiah akan terbantu karena penurunan harga minyak akan ikut menurunkan biaya impor.
Indonesia adalah negara net importir migas, sehingga penurunan harga minyak akan menciptakan penghematan devisa. Ini kemudian berkontribusi positif kepada neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current acccount). Hasilnya adalah rupiah akan memiliki lebih banyak modal untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Dengan sentimen positif yang cukup banyak, semestinya rupiah mampu menguat lebih jauh dan tidak minim dinamika seperti sekarang. Sepertinya laju penguatan rupiah terhambat oleh arus modal yang cenderung keluar dari pasar keuangan Indonesia.
Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 5,03 miliar yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tipis 0,03% pada pukul 10:20 WIB. Sementara di pasar obligasi, arus modal keluar ditunjukkan dengan kenaikan imbal hasil (yield).
Pada pukul 10:21 WIB, yield obligasi pemerintah berbagai tenor bergerak variatif. Terjadi kenaikan yield untuk tenor 3, 25, dan 30 tahun yang menandakan harga instrumen ini sedang turun karena aksi jual.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah berbagai tenor pada pukul 10:23 WIB:
Kemungkinan aksi ambil untung sedang menghinggapi pasar keuangan Indonesia. Sebab dalam beberapa waktu terakhir memang terjadi peningkatan yang lumayan tajam.
Selama sebulan terakhir, IHSG sudah melonjak 3,28%. Sementara yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun dalam periode yang sama anjlok 72,2 basis poin. Artinya, pasar saham dan obligasi sudah bullish bukan main sehingga ambil untung bisa datang kapan saja.
Perilaku ini yang kemungkinan membuat penguatan rupiah tertahan, sulit untuk terapresiasi lebih tinggi. Namun kinerja rupiah tidak buruk-buruk amat, karena masih berstatus sebagai mata uang terbaik kedua di Benua Kuning.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
