Harga Minyak Pulih, Tapi Hati-Hati Pasar Masih Rentan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
21 November 2018 11:26
Pada perdagangan hari ini Rabu (21/11/2018) hingga pukul 11.00 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 naik 1,39% ke level US$ 63,40/barel.
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC IndonesiaPada perdagangan hari ini Rabu (21/11/2018) hingga pukul 11.00 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 naik 1,39% ke level US$ 63,40/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Januari 2019 menguat 1,38% ke level US$ 54,17/barel.

Harga sang emas hitam mampu pulih pasca anjlok secara signifikan kemarin. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (20/11/2018), harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) amblas 5,87%, sementara harga brent yang menjadi acuan di Eropa anjlok 6,38%.

Hanya dalam waktu 1,5 bulan, harga minyak light sweet kini sudah jatuh lebih dari 30% dari puncak tertingginya dalam 4 tahun terakhir yang dicapai pada awal Oktober lalu.

Turunnya cadangan minyak mentah di AS serta kuatnya impor India mendukung rebound harga minyak hari ini. Meski demikian, secara keseluruhan harga minyak masih berada dalam posisi yang rentan, utamanya disebabkan oleh permintaan global yang diramal masih akan lesu.



Kemarin, kejatuhan harga minyak masih disebabkan oleh risiko perlambatan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.

Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh. 

Selain itu, mesin pertumbuhan ekonomi dunia memang sedang pincang. AS boleh dibilang menjadi satu-satunya negara dengan pertumbuhan ekonomi yang melaju kencang sementara Eropa, Jepang, China, dan negara-negara berkembang malah melambat.

Pekan lalu, bank AS Morgan Stanley bahkan menyatakan bahwa "kondisi ekonomi China memburuk secara material" pada kuartal III-2018.

Kemudian, pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal-III 2018 diumumkan sebesar -1,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih buruk dari estimasi pelaku pasar yakni minus 1% saja. Kontraksi ini disebabkan oleh ekspor yang turun 1,8%, penurunan terdalam dalam lebih dari 3 tahun terakhir. Sementara investasi terkontraksi 0,2%, pertama kali dalam 2 tahun.

Saat ekonomi global melambat dan berjalan dengan satu mesin, maka permintaan energi juga akan berkurang. Artinya, permintaan minyak turun dan harganya ikut jatuh. Hal ini sudah terlihat dari impor minyak mentah Negeri Sakura yang dilaporkan turun 7,7%  secara bulanan (month-to-month/MtM) ke angka 2,77 juta barel/hari, mengutip data Kementerian Keuangan Jepang awal pekan ini.

Kondisi ini kemudian diperparah dengan rencana Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengurangi produksi hingga 1,4 juta barel pada 2019. Hal ini didasari perhitungan bahwa permintaan minyak dunia pada 2019 naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan (over supply) sebesar 1,36 juta barel/hari. 

Pengurangan produksi diharapkan bisa mendongkrak harga minyak. Namun dengan ekonomi global yang melambat, kenaikan harga minyak adalah bencana. Bayangkan saja, ekonomi lesu tetapi harga minyak naik. Hasilnya malah harga minyak bisa semakin jatuh karena permintaan tambah turun.

"Pasokan di pasar saat ini sangat baik. Oleh karena itu, mengurangi produksi justru akan berdampak negatif karena pasar menjadi ketat. Saya harap produsen dan konsumen menggunakan akal sehat dalam situasi yang sulit seperti ini," tegas Fatih Birol, Ketua International Energy Agency (IEA), dikutip dari Reuters.  

Faktor lainnya yang menjadi pemberat harga minyak kemarin adalah meredanya konflik damai AS-Arab Saudi. Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa Negeri Paman Sam tetap berniat menjadi "mitra yang loyal" dari Saudi, meskipun "mungkin saja" bahwa Pangeran Saudi Mohammed bin Salman terlibat dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.

Trump, dalam pernyataannya, mengindikasikan bahwa dia tidak punya intensi untuk menghentikan kontrak militer dengan Riyadh. "Jika kita secara bodoh memutus kontrak (militer) ini, Rusia dan China akan menjadi penerima manfaat yang besar," ujar Trump seperti dilansir dari Reuters.

Meredanya tensi AS-Saudi lantas menghapus kekhawatiran akan disrupsi pasokan dari Negeri Padang Pasir. Harga minyak pun tertekan lebih dalam.

Beruntungnya, hari ini masih ada kabar baik yang memberikan angin segar bagi harga minyak. Mengutip data American Petroleum Institute (API), cadangan minyak mentah AS turun 1,5 juta barel ke 439,2 juta barel pada pekan lalu. Padahal, analis memperkirakan adanya peningkatan sebesar 2,9 juta barel.

Kabar lainnya yang menopang harga minyak hari ini adalah impor minyak mentah India yang menyentuh rekor baru, yakni hampir mencapai 5 juta barel/hari. Artinya, masih ada secercah harapan bahwa permintaan minyak dunia masih cukup kuat.

Akan tetapi, di tengah kenaikan harga minyak pagi ini, sejatinya risiko perlambatan permintaan masih menghantui pasar. Kejatuhan harga sebesar 6% pada perdagangan kemarin jelas menjadi sinyal bahwa pasar minyak sedang "sakit-sakitan".

Terlebih, bursa saham Wall Street juga anjlok untuk dua hari berturut-turut sejak awal pekan lalu. Teranyar, kemarin indeks Dow Jones anjlok lebih dalam yaitu 2,21%. Sementara S&P 500 amblas 1,81%, dan Nasdaq jatuh 1,75%.

Aksi jual besar-besaran (sell off) di bursa saham global jelas menjadi indikasi bahwa kepercayaan diri investor terhadap ekonomi global masih berada di titik yang rendah. Hal ini lantas memperkuat persepsi bawah permintaan sang emas hitam memang masih akan tertekan.

Jadi, waspada, fundamental komoditas minyak memang masih amat rentan... 

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
  


(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular