Sekarang di Rp 14.920/US$, Rupiah (Masih) Terparah di Asia

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
13 November 2018 10:27
Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS pagi ini masih di posisi paling buncit di seluruh Asia satu jam setelah pembukaan perdagangan
Foto: ilustrasi dollar Amerika (REUTERS/Marcos Brindicci)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar Rupiah terhadapĀ dolar AS pagi ini masih di posisi paling buncit di seluruh Asia satu jam setelah pembukaan perdagangan, Selasa (13/11/2018).

Sejak awal perdagangan, Rupiah telah terdepresiasi 0,67% di level Rp 14.920/US$ mengutip data Reuters 10.10 WIB.

Pelemahan mata uang memang terjadi di kawasan Asia. Hanya Yuan (Jepang), dolar (Hong Kong), Dolar (Singapura), Baht (Thailand) yang tercatat menguat lawan dolar AS.

Berikut data nilai tukar kawasan Asia di pagi ini :

Menguat Lawan Dolar AS:
  • Yen (Jepang) 0,09% ke 113,74
  • Dolar (Singapura) 0,09% ke 1.382
  • Dolar (Hong Kong) 0,01% ke 7.833
  • Baht (Thailand) 0,42% ke 33.00

Melemah Lawan Dolar AS :
  • Peso (Filipina) -0,05%
  • Dolar (Taiwan) -0,12%
  • Ringgit (Malaysia) -0,19%
  • Won (Korea Selatan) -0,29%
  • Rupee (India) -0,55%
  • Rupiah (Indonesia) -0,67%

Bank Indonesia (BI) menegaskan faktor utama pelemahan rupiah dikarenakan perlambatan ekonomi di China.

"Pelemahan bukan karena faktor Current Account [dalam negeri], tapi karena dinamika global," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah, kepada CNBC Indonesia.

"Pelemahan rupiah sejalan dengan melemahnya seluruh mata uang regional, dipicu sentiment negatif atas indikasi pelemahan ekonomi China dan reaksi pemerintah Italia yang belum akan melakukan penyesuaian budget plan sesuai dengan permintaan Uni Eropa."

"Kesemuanya mememicu pelepasan saham mulai dari pasar modal AS ke pasar Asia, aksi beli surat obligasi pemerintah AS sebagai instrument yang aman (flight to quality), dan menurunnya harga komoditas," imbuh Nanang.

Mengutip Reuters, Menteri Keuangan China Liu Kun mengatakan pemerintah akan memberikan stimulus pajak untuk menggairahkan dunia usaha Negeri Tirai Bambu. Bentuknya adalah pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dan kewajiban perpajakan bagi eksportir.

Pelaku usaha China memang sedang lesu. Ini terlihat dari dua data teranyar yaitu inflasi di tingkat grosir (Producer Price Index/PPI) dan penjualan mobil.

Inflasi tingkat produsen di China pada Oktober 2018 tercatat 3,3% secara tahunan, melambat dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu 3,6%.

Kemudian penjualan mobil pada Oktober 2018 turun 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi dalam 4 bulan berturut-turut. Bahkan penurunan Oktober 2018 menjadi yang terdalam sejak Januari 2012.




(wed) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular