
Rupiah Jaya di Kurs Acuan, Tapi Terlemah Asia di Pasar Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 November 2018 10:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat di kurs acuan. Namun di pasar spot, rupiah sudah tergelincir ke zona merah.
Pada Kamis (8/11/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.651. Rupiah menguat lumayan tajam yaitu 0,77% dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menyentuh titik terkuat sejak 27 Agustus 2018.
Penguatan rupiah di kurs acuan sudah terjadi dalam 7 hari perdagangan terakhir. Terakhir kali rekor semacam ini tercipta adalah pada 28 Desember 2017 hingga 8 Januari 2018.
Sementara di pasar spot, nasib rupiah tidak seberuntung itu. Pada pukul 10:24 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.630 di mana rupiah melemah 0,38%.
Saat pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,14%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam dan sempat mencapai 0,55%.
Pagi ini, mata uang Asia memang mayoritas melemah di hadapan dolar AS. Bahkan dengan koreksi 0,38%, rupiah masih jadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Benua Kuning. Namun kali ini rupiah ditemani oleh dolar Taiwan.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:29 WIB:
Pada pukul 10:31 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,23%. Dollar Index yang sempat berada di kisaran 95, kini sudah mencapai 96,22.
Investor melihat koreksi dolar AS sudah terlalu dalam. Sejak awal November, Dollar Index terpangkas 0,94%. Ini membuat dolar AS sudah murah sehingga seksi untuk dikoleksi.
Apalagi pada dini hari nanti waktu Indonesia akan ada pengumuman hasil rapat komite pengambil kebijakan di The Federal Reserve/The Fed yaitu Federal Open Market Committee (FOMC). Mengutip CME Fedwatch, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat diperkirakan masih menahan suku bunga acuan di 2-2,25%. Probabilitasnya mencapai 92,8%.
Meski begitu, investor tetap menantikan hasil rapat ini karena ingin mencari petunjuk mengenai arah kebijakan moneter AS ke depan. Pelaku pasar ingin mencari petunjuk yang lebih jelas seputar kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada Desember.
Berdasarkan CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam rapat tersebut adalah 75%. Naik dibandingkan sepekan lalu yaitu 72,4%.
Apabila petunjuk itu ada, maka dolar AS akan punya modal kuat untuk terangkat. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbalan investasi, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Ini akan membuat permintaan terhadap dolar AS akan meningkat dan nilainya menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, penguatan rupiah yang sudah sangat tajam menggoda investor untuk melakukan ambil untung (profit taking). Sejak awal November, rupiah terapresiasi tajam 3,64% di hadapan dolar AS.
Pada satu titik, sebagian pemilik modal akan merasa keuntungan yang didapat sudah cukup besar. Agar tidak 'kebakaran', bisa jadi mereka akan segera mencairkan keuntungan tersebut. Akibatnya adalah rupiah akan mengalami tekanan jual sehingga koreksi akan sulit dihindari.
Kemudian esok hari akan ada pengumuman Neraca Pembayaran (NPI) yang terdiri dari transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial. Kemungkinan NPI dan transaksi berjalan kuartal III-2018 masih akan membukukan defisit, bahkan bisa jadi lebih dalam ketimbang kuartal II-2018.
Defisit NPI menujukkan pasokan valas di perekonomian dalam negeri sebenarnya masih seret. Utamanya pasokan dari ekspor-impor barang dan jasa yang dicerminkan dari transaksi berjalan, nilainya terus-menerus minus. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif buat rupiah.
Oleh karena itu, ada kemungkinan sebagian investor akan melepas rupiah sebelum pengumuman data NPI. Sepertinya momentum pelepasan itu terjadi hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Kamis (8/11/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.651. Rupiah menguat lumayan tajam yaitu 0,77% dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menyentuh titik terkuat sejak 27 Agustus 2018.
Penguatan rupiah di kurs acuan sudah terjadi dalam 7 hari perdagangan terakhir. Terakhir kali rekor semacam ini tercipta adalah pada 28 Desember 2017 hingga 8 Januari 2018.
Sementara di pasar spot, nasib rupiah tidak seberuntung itu. Pada pukul 10:24 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.630 di mana rupiah melemah 0,38%.
Saat pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,14%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam dan sempat mencapai 0,55%.
Pagi ini, mata uang Asia memang mayoritas melemah di hadapan dolar AS. Bahkan dengan koreksi 0,38%, rupiah masih jadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Benua Kuning. Namun kali ini rupiah ditemani oleh dolar Taiwan.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:29 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Faktor eksternal dan dalam negeri memang kurang suportif terhadap rupiah. Dari luar, penguatan dolar AS semakin terasa setelah 2 hari tanpa daya. Pada pukul 10:31 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,23%. Dollar Index yang sempat berada di kisaran 95, kini sudah mencapai 96,22.
Investor melihat koreksi dolar AS sudah terlalu dalam. Sejak awal November, Dollar Index terpangkas 0,94%. Ini membuat dolar AS sudah murah sehingga seksi untuk dikoleksi.
Apalagi pada dini hari nanti waktu Indonesia akan ada pengumuman hasil rapat komite pengambil kebijakan di The Federal Reserve/The Fed yaitu Federal Open Market Committee (FOMC). Mengutip CME Fedwatch, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat diperkirakan masih menahan suku bunga acuan di 2-2,25%. Probabilitasnya mencapai 92,8%.
Meski begitu, investor tetap menantikan hasil rapat ini karena ingin mencari petunjuk mengenai arah kebijakan moneter AS ke depan. Pelaku pasar ingin mencari petunjuk yang lebih jelas seputar kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada Desember.
Berdasarkan CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam rapat tersebut adalah 75%. Naik dibandingkan sepekan lalu yaitu 72,4%.
Apabila petunjuk itu ada, maka dolar AS akan punya modal kuat untuk terangkat. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbalan investasi, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Ini akan membuat permintaan terhadap dolar AS akan meningkat dan nilainya menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, penguatan rupiah yang sudah sangat tajam menggoda investor untuk melakukan ambil untung (profit taking). Sejak awal November, rupiah terapresiasi tajam 3,64% di hadapan dolar AS.
Pada satu titik, sebagian pemilik modal akan merasa keuntungan yang didapat sudah cukup besar. Agar tidak 'kebakaran', bisa jadi mereka akan segera mencairkan keuntungan tersebut. Akibatnya adalah rupiah akan mengalami tekanan jual sehingga koreksi akan sulit dihindari.
Kemudian esok hari akan ada pengumuman Neraca Pembayaran (NPI) yang terdiri dari transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial. Kemungkinan NPI dan transaksi berjalan kuartal III-2018 masih akan membukukan defisit, bahkan bisa jadi lebih dalam ketimbang kuartal II-2018.
Defisit NPI menujukkan pasokan valas di perekonomian dalam negeri sebenarnya masih seret. Utamanya pasokan dari ekspor-impor barang dan jasa yang dicerminkan dari transaksi berjalan, nilainya terus-menerus minus. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif buat rupiah.
Oleh karena itu, ada kemungkinan sebagian investor akan melepas rupiah sebelum pengumuman data NPI. Sepertinya momentum pelepasan itu terjadi hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular