
AS-China Kian Mesra, Rupiah Semakin Perkasa
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 November 2018 10:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin perkasa. Hawa damai AS-China yang kian terasa memberi tenaga tambahan buat rupiah.
Pada Selasa (5/11/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.891. Rupiah menguat lumayan signifikan, mencapai 0,54%. Ini merupakan posisi terkuat rupiah sejak 28 September.
Rupiah terus menguat dalam 5 hari perdagangan beruntun di kurs acuan. Meski begitu, rupiah masih melemah 9,96% sejak awal tahun, dan selama setahun terakhir depresiasinya mencapai 10,07%.
Tidak hanya di kurs acuan, rupiah pun menguat cukup tajam di pasar spot. Pada pukul 10:11 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.860 di mana rupiah menguat 0,77%.
Sebelum pasar spot dibuka, rupiah sudah menguat di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). Oleh karena itu, penguatan rupiah hari ini sudah bisa diduga sebelumnya.
Mengawali hari, rupiah menguat 0,17%. Seiring perjalanan pasar, penguatan rupiah semakin meyakinkan.
Rupiah sempat menjadi satu-satunya mata uang yang menguat di Asia. Namun kini beberapa mata uang seperti yuan China, peso Filipina, dan dolar Singapura bisa mengikuti jejak rupiah.
Meski begitu, rupiah tetap menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Di hadapan dolar AS, penguatan rupiah adalah yang paling tajam.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:15 WIB:
Sanksi AS kepada Iran yang sudah berlaku mulai 4 November sejauh ini tidak mempengaruhi suplai si emas hitam di pasar dunia. Sebab, ternyata pelaku pasar lebih mengkhawatirkan risiko penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi dunia.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam proyeksi keluaran Oktober 2018 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini dan tahun depan masing-masing 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Juli yaitu 3,9% untuk 2018 dan 2019.
Jadi meski pasokan berkurang tetapi kalau permintaan energi juga turun karena perlambatan ekonomi ya sama saja bohong. Akhirnya harga minyak pun tekoreksi.
Selain itu, AS juga memberikan kelonggaran kepada delapan negara untuk tetap mengimpor minyak dari Iran selama 180 hari ke depan. Delapan negara itu adalah China, India, Korea Selatan, Jepang, Italia, Yunani, Taiwan, dan Turki.
Kombinasi dua faktor tersebut menyebabkan harga minyak turun. Koreksi harga minyak menjadi sentimen positif bagi rupiah karena penurunan harga minyak akan menurunkan biaya impor migas. Neraca migas yang defisit sangat dalam menjadi penyebab defisit yang terjadi di transaksi berjalan (current account) sehingga pasokan valas menjadi terbatas dan rupiah sulit menguat.
Kemudian, angin segar juga datang dari hubungan AS-China yang terus membaik. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk bertemu di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. Diharapkan pembicaraan ini bisa melahirkan solusi untuk mengakhiri perang dagang Washington-Beijing.
Tidak hanya di bidang perdagangan, kerja sama AS-China juga berlanjut di bidang pertahanan. Bulan lalu sedianya AS dan China akan bertemu untuk membahas isu-isu perdagangan, tetapi batal karena salah satunya akibat tensi perang dagang yang meninggi.
Sekarang dengan meredanya ketegangan dagang, pembicaraan pertahanan pun siap dimulai kembali. Kementerian Pertahanan AS dalam keterangan tertulisnya menyatakan pertemuan ini akan dihadiri oleh Mike Pompeo (Menteri Luar Negeri AS), Jim Mattis (Menteri Pertahanan AS), Yang Jiechi (Anggota Politbiro Partai Komunis China), dan Wei Fenghe (Menteri Pertahanan China).
Hubungan AS-China yang semakin mesra memberi angin segar bagi rupiah karena investor semakin berani mengambil risiko. Saat ini memang baru rupiah dan beberapa mata uang Asia yang diuntungkan, tetapi beberapa saat nanti bukan tidak mungkin sentimen ini akan menjadi obat kuat mujarab bagi kebangkitan mata uang Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (5/11/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.891. Rupiah menguat lumayan signifikan, mencapai 0,54%. Ini merupakan posisi terkuat rupiah sejak 28 September.
Rupiah terus menguat dalam 5 hari perdagangan beruntun di kurs acuan. Meski begitu, rupiah masih melemah 9,96% sejak awal tahun, dan selama setahun terakhir depresiasinya mencapai 10,07%.
Tidak hanya di kurs acuan, rupiah pun menguat cukup tajam di pasar spot. Pada pukul 10:11 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.860 di mana rupiah menguat 0,77%.
Sebelum pasar spot dibuka, rupiah sudah menguat di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). Oleh karena itu, penguatan rupiah hari ini sudah bisa diduga sebelumnya.
Mengawali hari, rupiah menguat 0,17%. Seiring perjalanan pasar, penguatan rupiah semakin meyakinkan.
Rupiah sempat menjadi satu-satunya mata uang yang menguat di Asia. Namun kini beberapa mata uang seperti yuan China, peso Filipina, dan dolar Singapura bisa mengikuti jejak rupiah.
Meski begitu, rupiah tetap menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Di hadapan dolar AS, penguatan rupiah adalah yang paling tajam.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:15 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Angin segar buat rupiah datang dari penurunan harga minyak. Pada pukul 10:18 WIB, harga minyak jenis brent masih turun 0,42% sementara light sweet berkurang 0,3%. Sanksi AS kepada Iran yang sudah berlaku mulai 4 November sejauh ini tidak mempengaruhi suplai si emas hitam di pasar dunia. Sebab, ternyata pelaku pasar lebih mengkhawatirkan risiko penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi dunia.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam proyeksi keluaran Oktober 2018 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini dan tahun depan masing-masing 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Juli yaitu 3,9% untuk 2018 dan 2019.
Jadi meski pasokan berkurang tetapi kalau permintaan energi juga turun karena perlambatan ekonomi ya sama saja bohong. Akhirnya harga minyak pun tekoreksi.
Selain itu, AS juga memberikan kelonggaran kepada delapan negara untuk tetap mengimpor minyak dari Iran selama 180 hari ke depan. Delapan negara itu adalah China, India, Korea Selatan, Jepang, Italia, Yunani, Taiwan, dan Turki.
Kombinasi dua faktor tersebut menyebabkan harga minyak turun. Koreksi harga minyak menjadi sentimen positif bagi rupiah karena penurunan harga minyak akan menurunkan biaya impor migas. Neraca migas yang defisit sangat dalam menjadi penyebab defisit yang terjadi di transaksi berjalan (current account) sehingga pasokan valas menjadi terbatas dan rupiah sulit menguat.
Kemudian, angin segar juga datang dari hubungan AS-China yang terus membaik. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk bertemu di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. Diharapkan pembicaraan ini bisa melahirkan solusi untuk mengakhiri perang dagang Washington-Beijing.
Tidak hanya di bidang perdagangan, kerja sama AS-China juga berlanjut di bidang pertahanan. Bulan lalu sedianya AS dan China akan bertemu untuk membahas isu-isu perdagangan, tetapi batal karena salah satunya akibat tensi perang dagang yang meninggi.
Sekarang dengan meredanya ketegangan dagang, pembicaraan pertahanan pun siap dimulai kembali. Kementerian Pertahanan AS dalam keterangan tertulisnya menyatakan pertemuan ini akan dihadiri oleh Mike Pompeo (Menteri Luar Negeri AS), Jim Mattis (Menteri Pertahanan AS), Yang Jiechi (Anggota Politbiro Partai Komunis China), dan Wei Fenghe (Menteri Pertahanan China).
Hubungan AS-China yang semakin mesra memberi angin segar bagi rupiah karena investor semakin berani mengambil risiko. Saat ini memang baru rupiah dan beberapa mata uang Asia yang diuntungkan, tetapi beberapa saat nanti bukan tidak mungkin sentimen ini akan menjadi obat kuat mujarab bagi kebangkitan mata uang Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular