
Tanpa Kebobolan, Dolar AS Clean Sheet di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 November 2018 16:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah ditutup melemah di perdagangan pasar spot pada awal pekan ini. Sentimen negatif dari luar negeri sangat kuat menarik rupiah ke zona merah.
Pada Senin (5/11/2018), US$ 1 ditutup di Rp 14.975. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Membuka hari, rupiah berada di Rp 14.950/US$ atau tidak berubah dari posisi penutupan sebelumnya. Namun setelah itu, rupiah terus melemah. Rupiah tidak pernah menyentuh jalur hijau pada perdagangan hari ini alias terus terdepresasi.
Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.950/US$ sementara terlemahnya adalah Rp Rp 14.987/US$. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Rupiah tidak sendirian karena hari ini dolar AS mencetak clean sheet terhadap mata uang Asia. Dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang utama Benua Kuning, tanpa kebobolan sebiji pun.
Pelemahan paling dalam dialami oleh rupee India, disusul won Korea Selatan dan yuan China di peringkat ketiga terbawah. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:33 WIB:
Angka pengangguran AS pada Oktober 2018 memang masih bertahan di 3,7% tetapi penciptaan lapangan kerja mencapai 250.000. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu 190.000, juga jauh melampaui angka bulan sebelumnya yaitu 118.000.
Kemudian upah per jam rata-rata meningkat sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM) atau sebesar 3,1% secara tahunan. Peningkatan tahunan sebesar itu merupakan yang tercepat sejak tahun 2009.
Artinya, perekonomian Negeri Adidaya masih kuat sehingga membuat The Federal Reserve/The Fed punya alasan untuk terus menerapkan kebijakan moneter ketat. Bulan ini, Federal Funds Rate diperkirakan tetap, tetapi akan naik pada Desember.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada rapat The Fed 19 Desember adalah 72,1%. Lebih tinggi ketimbang posisi sepekan sebelumnya yaitu 66,9%.
Akibatnya, berinvestasi di AS akan semakin menguntungkan karena kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan penanaman modal, terutama di instrumen berpendapatan tetap. Permintaan dolar AS akan tetap tinggi sehingga mata uang ini memang punya alasan untuk menguat.
Kemudian dari eksternal, perang dagang AS vs China kembali menjadi kekhawatiran pelaku pasar. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping memang akan menggelar pertemuan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini.
Namun bukan berarti pertemuan tersebut akan menelurkan hasil positif. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow mengingatkan masih ada risiko. Bahkan bukan tidak mungkin perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa dan AS kembali menerapkan bea masuk baru bagi produk-produk made in China.
"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters.
Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko seperti saham dan kembali ke pelukan safe haven yaitu dolar AS.
Faktor domestik juga kurang mendukung rupiah. Hari ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2018 sebesar 5.17% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5.27%, tetapi lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi pada kuartal III-2018 tumbuh 5,14%.
Namun memang harus diakui bahwa bensin dari data pertumbuhan ekonomi kurang tokcer mendorong pasar keuangan dalam negeri. Tarikan sentimen negatif eksternal sepertinya lebih kuat sehingga rupiah pun tidak bisa bertahan dari sapuan penguatan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (5/11/2018), US$ 1 ditutup di Rp 14.975. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Membuka hari, rupiah berada di Rp 14.950/US$ atau tidak berubah dari posisi penutupan sebelumnya. Namun setelah itu, rupiah terus melemah. Rupiah tidak pernah menyentuh jalur hijau pada perdagangan hari ini alias terus terdepresasi.
Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.950/US$ sementara terlemahnya adalah Rp Rp 14.987/US$. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Rupiah tidak sendirian karena hari ini dolar AS mencetak clean sheet terhadap mata uang Asia. Dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang utama Benua Kuning, tanpa kebobolan sebiji pun.
Pelemahan paling dalam dialami oleh rupee India, disusul won Korea Selatan dan yuan China di peringkat ketiga terbawah. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:33 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Investor memang lebih memilih dolar AS ketimbang mata uang Asia. Berbagai faktor mendukung penguatan greenback. Angka pengangguran AS pada Oktober 2018 memang masih bertahan di 3,7% tetapi penciptaan lapangan kerja mencapai 250.000. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu 190.000, juga jauh melampaui angka bulan sebelumnya yaitu 118.000.
Kemudian upah per jam rata-rata meningkat sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM) atau sebesar 3,1% secara tahunan. Peningkatan tahunan sebesar itu merupakan yang tercepat sejak tahun 2009.
Artinya, perekonomian Negeri Adidaya masih kuat sehingga membuat The Federal Reserve/The Fed punya alasan untuk terus menerapkan kebijakan moneter ketat. Bulan ini, Federal Funds Rate diperkirakan tetap, tetapi akan naik pada Desember.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada rapat The Fed 19 Desember adalah 72,1%. Lebih tinggi ketimbang posisi sepekan sebelumnya yaitu 66,9%.
Akibatnya, berinvestasi di AS akan semakin menguntungkan karena kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan penanaman modal, terutama di instrumen berpendapatan tetap. Permintaan dolar AS akan tetap tinggi sehingga mata uang ini memang punya alasan untuk menguat.
Kemudian dari eksternal, perang dagang AS vs China kembali menjadi kekhawatiran pelaku pasar. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping memang akan menggelar pertemuan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini.
Namun bukan berarti pertemuan tersebut akan menelurkan hasil positif. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow mengingatkan masih ada risiko. Bahkan bukan tidak mungkin perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa dan AS kembali menerapkan bea masuk baru bagi produk-produk made in China.
"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters.
Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko seperti saham dan kembali ke pelukan safe haven yaitu dolar AS.
Faktor domestik juga kurang mendukung rupiah. Hari ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2018 sebesar 5.17% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5.27%, tetapi lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi pada kuartal III-2018 tumbuh 5,14%.
Namun memang harus diakui bahwa bensin dari data pertumbuhan ekonomi kurang tokcer mendorong pasar keuangan dalam negeri. Tarikan sentimen negatif eksternal sepertinya lebih kuat sehingga rupiah pun tidak bisa bertahan dari sapuan penguatan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular