
Data Pertumbuhan Ekonomi Kurang Tokcer Angkat Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 November 2018 12:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah, bahkan depresiasinya semakin dalam. Berlawanan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah sepertinya tidak merespons positif rilis data pertumbuhan ekonomi.
Pada Senin (5/11/2018) pukul 11:39 WIB, US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.980. Rupiah melemah 0,2% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu.
Mengawali hari, rupiah berada di Rp 14.950/US$ alias stagnan dibandingkan penutupan pasar sebelumnya. Namun selepas itu rupiah malah melemah dan pelemahannya kian dalam.
Namun pelemahan rupiah ini dapat dimaklumi, karena mata uang Asia pun melemah. Tengah hari ini, dolar AS melakukan sapu bersih, menguat terhadap seluruh mata uang Asia. Tidak ada yang selamat.
Pelemahan paling dalam dialami oleh rupee India, disusul oleh won Korea Selatan, dolar Taiwan, dan baht Thailand. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Benua Kuning pada pukul 11:45 WIB:
Memang melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,27%, tetapi lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi pada kuartal III-2018 tumbuh 5,14%.
Realisasi yang lebih baik dari perkiraan ini sempat direspons positif di pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menipiskan pelemahannya. Bahkan IHSG merasakan zona hijau pada pukul 11:24 WIB, meski kemudian kembali tergelincir ke zona merah.
Namun memang harus diakui bahwa bensin dari data pertumbuhan ekonomi kurang tokcer mendorong pasar keuangan dalam negeri. IHSG kembali ke zona merah, rupiah pun semakin melemah.
Tarikan sentimen negatif eksternal sepertinya lebih kuat. Risk appetite investor sedang turun seiring kembalinya kekhawatiran perang dagang AS vs China.
Memang Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping berencana bertemu di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir bulan ini. Namun bukan berarti friksi dagang Washington-Beijing bisa selesai.
"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, dikutip dari Reuters.
Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko seperti saham dan kembali ke pelukan safe haven. Dolar AS lagi-lagi tertimpa durian runtuh.
Kemudian rilis data di China juga semakin membuat investor menjauhi Asia. Puchasing Managers Index (PMI) di Negeri Tirai Bambu pada periode Oktober 2018 tercatat 50,5, turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yakni 52,1. Angka Oktober merupakan yang paling rendah sejak Juni 2017.
China adalah perekonomian nomor 1 di Asia. Perekonomian China yang muram tentu akan menyeret negara-negara Asia lainnya.
Rantai pasok (supply chain) di Asia berpotensi melambat karena penurunan permintaan dari China. Artinya, pertumbuhan ekonomi Benua Kuning pun terancam melambat.
Investor yang melihat risiko ini kemudian memutuskan cabut dan meninggalkan pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. Hasilnya jelas, rupiah cs di Asia tak kuasa membendung keperkasaan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (5/11/2018) pukul 11:39 WIB, US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.980. Rupiah melemah 0,2% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu.
Mengawali hari, rupiah berada di Rp 14.950/US$ alias stagnan dibandingkan penutupan pasar sebelumnya. Namun selepas itu rupiah malah melemah dan pelemahannya kian dalam.
Namun pelemahan rupiah ini dapat dimaklumi, karena mata uang Asia pun melemah. Tengah hari ini, dolar AS melakukan sapu bersih, menguat terhadap seluruh mata uang Asia. Tidak ada yang selamat.
Pelemahan paling dalam dialami oleh rupee India, disusul oleh won Korea Selatan, dolar Taiwan, dan baht Thailand. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Benua Kuning pada pukul 11:45 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Padahal ada faktor positif yang bisa mendorong rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 sebesar 5.17%. Memang melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,27%, tetapi lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi pada kuartal III-2018 tumbuh 5,14%.
Realisasi yang lebih baik dari perkiraan ini sempat direspons positif di pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menipiskan pelemahannya. Bahkan IHSG merasakan zona hijau pada pukul 11:24 WIB, meski kemudian kembali tergelincir ke zona merah.
Namun memang harus diakui bahwa bensin dari data pertumbuhan ekonomi kurang tokcer mendorong pasar keuangan dalam negeri. IHSG kembali ke zona merah, rupiah pun semakin melemah.
Tarikan sentimen negatif eksternal sepertinya lebih kuat. Risk appetite investor sedang turun seiring kembalinya kekhawatiran perang dagang AS vs China.
Memang Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping berencana bertemu di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir bulan ini. Namun bukan berarti friksi dagang Washington-Beijing bisa selesai.
"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, dikutip dari Reuters.
Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko seperti saham dan kembali ke pelukan safe haven. Dolar AS lagi-lagi tertimpa durian runtuh.
Kemudian rilis data di China juga semakin membuat investor menjauhi Asia. Puchasing Managers Index (PMI) di Negeri Tirai Bambu pada periode Oktober 2018 tercatat 50,5, turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yakni 52,1. Angka Oktober merupakan yang paling rendah sejak Juni 2017.
China adalah perekonomian nomor 1 di Asia. Perekonomian China yang muram tentu akan menyeret negara-negara Asia lainnya.
Rantai pasok (supply chain) di Asia berpotensi melambat karena penurunan permintaan dari China. Artinya, pertumbuhan ekonomi Benua Kuning pun terancam melambat.
Investor yang melihat risiko ini kemudian memutuskan cabut dan meninggalkan pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. Hasilnya jelas, rupiah cs di Asia tak kuasa membendung keperkasaan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular