AS Menangi Perang Dagang, Rupiah Jatuh ke Rekor Terlemah Baru

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 October 2018 11:35
Jika dibandingkan dengan posisi penutupan sepanjang tahun 2018, posisi ini merupakan yang terlemah
Foto: Seorang karyawan menghitung uang kertas dolar AS di kantor penukaran mata uang di Jakarta, Indonesia 23 Oktober 2018. Gambar diambil 23 Oktober 2018. REUTERS / Beawiharta
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari yang berat kembali menghampiri pasar keuangan Indonesia. Pada pukul 11:00 WIB, rupiah diperdagangkan melemah 0,13% di pasar spot ke level Rp 15.235/dolar AS.

Jika dibandingkan dengan posisi penutupan sepanjang tahun 2018, posisi ini merupakan yang terlemah. Bahkan, rupiah sempat menyentuh level Rp 15.240/dolar AS pada hari ini.

Dolar AS memang sedang perkasa, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang menguat sebesar 0,06%. Perkembangan perang dagang AS-China yang kurang sedap membuat dolar AS menjadi primadona bagi investor mengingat statusnya sebagai safe haven.

AS 'Menangi' Perang Dagang, Rupiah Jeblok ke Rekor BaruFoto: Seorang karyawan menghitung uang kertas Rupiah di kantor penukaran mata uang di Jakarta, Indonesia 23 Oktober 2018. Gambar diambil 23 Oktober 2018. REUTERS / Beawiharta


Kabar terbaru, AS siap menerapkan bea masuk baru kepada produk-produk China apabila pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping tidak membuahkan hasil. Sebelumnya, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow sudah mengonfirmasi bahwa keduanya akan melakukan pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) pada bulan depan.

Mengutip Reuters, sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan Washington sudah menyiapkan bea masuk baru sebagai skenario terburuk. Kemungkinan pengenaan bea masuk itu adalah untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 257 miliar seperti yang sering dikemukakan Trump.

Tak hanya terkait statusnya sebagai safe haven, dolar AS juga diburu investor lantaran dapat dikatakan bahwa AS keluar sebagai 'pemenang' dari perang dagang yang selama ini berkecamuk dengan China.

Sebagai catatan, hingga kini AS telah mengenakan bea masuk bagi importasi produk asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China telah mengenakan bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 110 miliar.

Sejauh ini, perekonomian China terlihat lebih tersakiti oleh kebijakan tersebut. Buktinya, pertumbuhan ekonomi China pada kuartal-III 2018 tercatat hanya sebesar 6,5% YoY, lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 6,6% YoY. Capaian ini merupakan yang terendah sejak 2009 silam.

Sementara itu, perekonomian AS justru melanju kencang. Sepanjang kuartal-III 2018, perekonomian Negeri Paman Sam tercatat tumbuh sebesar 3,5% (QoQ annualized), mengalahkan estimasi yang sebesar 3,4%.

'Kemenangan' AS dalam perang dagang dengan rivalnya tersebut membuat langkah the Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga acuan pada penghujung tahun nampak kian tak terbendung.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 29 Oktober 2018, kemungkinan bahwa the Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuan pada penghujung tahun ini adalah sebesar 73,1%, sudah jauh di atas 50%.

Ketika the Fed menaikkan suku bunga acuan, maka imbal hasil instrumen berpendapatan tetap di AS akan ikut terkerek naik sehingga menjadikannya lebih menarik bagi investor. Pada akhirnya, pelaku pasar berbondong-bondong menukarkan rupiah yang dimilikinya menjadi dolar AS untuk dilarikan ke Negeri Paman Sam.


Faktor Domestik Ikut Membebani

Namun, pelemahan rupiah hingga menyentuh titik terendah yang baru tak bisa semuanya disalahkan kepada faktor eksternal. Dari dalam negeri, ada faktor yang membebani langkah rupiah yakni defisit neraca berjalan/current account deficit (CAD) yang diproyeksikan kian lebar.

Pada hari Jumat (26/10/2018), Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengindikasikan bahwa CAD kuartal-III 2018 akan membengkak cukup signifikan dari capaian kuartal-II 2018 yang sebesar 3,04% dari PDB.

"Kan masih ada Juli sama Agustus 2018. Yang memang masih tinggi. Utamanya di Migas. Kemarin defisit besar di migas. Apakah B20, kenaikan harga BBM. Di Kuartal III-2018 masih wajar kalau di atas 3%. Tapi perkiraan kami di Kuartal III-2018 tidak akan lebih dari 3,5%," papar Perry di Gedung BI, Jumat (26/10/2018).

Selain itu, investor juga melepas rupiah lantaran cemas menantikan pengumuman realisasi investasi langsung kuartal III-2018 oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pada kuartal-II 2018, investasi hanya tumbuh 3,1% YoY, bahkan Penanaman Modal Asing (PMA) terkontraksi hingga 12,9% YoY. Selama era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), baru kali ini PMA tercatat menurun secara tahunan.
TIM RISET CNBC INDONESIA




(ank/dru) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular