Pekan Ini Harga Minyak Turun 2% Lebih, Ini Penyebabnya

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 October 2018 14:57
Dalam sepekan terakhir, harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 turun 2,71% secara point-to-point ke level US$ 77,62/barel.
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC IndonesiaDalam sepekan terakhir, harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 turun 2,71% secara point-to-point ke level US$ 77,62/barel. Di periode yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desemeber 2018 juga melemah 2,21% ke level US$ 67,59/barel.

Berbagai sentimen negatif memang datang menghujani harga sang emas hitam. Harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa malah sempat terjerumus ke level terendahannya dalam 2 bulan terakhir, pada pertengahan pekan ini.

Meski demikian, sentimen makin seretnya pasokan dari Iran jelang berlakunya sanksi dari Amerika Serikat (AS) pada awal November mendatang, masih mampu menopang harga minyak di akhir pekan.



Tim Riset CNBC Indonesia mengupas sentimen negatif yang membebani pergerakan harga minyak.

Pertama, Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menyatakan bahwa pasar minyak dunia sedang berada dalam "tempat yang baik" dan berharap bahwa para produsen minyak akan menandatangani kesepakatan untuk mengawasi dan menstabilisasi pasar pada Desember mendatang.

"Kita akan memutuskan jika terjadi disrupsi pasokan, terutama terkait dengan munculnya sanksi Iran," ucap Falih pada konferensi di Riyadh. "Lalu, kita akan melanjutkan dengan kerangka pemikiran kita saat ini, yaitu untuk memenuhi permintaan yang ada, untuk memastikan pelanggan tetap puas," tambah Falih.

Sebagai tambahan, Falih menyatakan bahwa dia tidak akan menghapuskan kemungkinan bahwa Saudi akan memproduksi minyak mentah dalam rentang 1-2 juta barel/hari lebih banyak dari level saat ini.

Hal ini lantas meredakan kekhawatiran bahwa pasokan minyak global akan seret menyusul potensi sanksi yang akan menimpa Saudi akibat kasus tewasnya kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki).

Pelaku pasar tadinya memperkirakan bahwa Saudi akan memangkas produksi minyaknya dan membiarkan harga melambung, sebagai balasan atas sanksi yang mungkin diterimanya atas dugaan pembunuhan terencana Khashoggi.

Namun, kini seretnya pasokan nampaknya tidak akan jadi kenyataan. Akibatnya, harga minyak mentah dunia pun terjun bebas.

Kedua, cadangan minyak mentah di Negeri Paman Sam meningkat 6,3 juta barel dalam sepekan yang berakhir tanggal 19 Oktober 2018, menurut data resmi dari US Energy Information Administration (EIA).

Capaian itu jauh lebih besar dari ekspektasi pasar yakni peningkatan sebesar 3,7 juta barel.
Sudah 5 pekan berturut-turut, cadangan minyak AS terus mencatatkan kenaikan. Bahkan, dalam 5 pekan terakhir cadangannya sudah naik hingga 422 juta barel, tidak termasuk cadangan strategis sekitar 656 juta barel.

Sentimen ini diperparah dengan meningkatnya cadangan di pusat pengiriman Cushing (Oklahoma) sebesar 1,8 juta barel ke 33 juta barel, mengutip laporan dari Genscape.

Meningkatnya pasokan di AS lantas menjadi indikasi bahwa stok minyak dunia akan meningkat. Saat ini Negeri Paman Sam merupakan produsen minyak mentah terbesar ke-2 dunia, dengan tingkat produksi mencapai 11 juta barel/hari. Persepsi ini lantas menjadi beban bagi harga minyak.

Ketiga, bursa saham Wall Street terjun bebas pada penutupan perdagangan hari Rabu (24/10/2018). Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 2,41%, S&P 500 amblas 3,09%, dan Nasdaq Composite ambrol 4,63%.

Investor mulai mengendus risiko perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam. Hal ini terlihat dari rilis data terbaru di AS. Penjualan rumah baru hanya sebesar 553.000 unit pada September. Jumlah ini turun 5,5% secara tahunan (year-on-year/YoY), sekaligus menjadi yang terendah sejak Desember 2016.

Kebijakan The Federal Reserve/The Fed yang terus menaikkan suku bunga acuan sepertinya mulai memakan korban. Sejak awal tahun, Jerome Powell dan kolega sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuan. Bahkan kemungkinan besar akan dilakukan lagi pada Desember.

Sentimen negatif lainnya datang dari laporan The Fed dalam Beige Book yang menyebutkan dunia usaha mulai menaikkan harga akibat perang dagang dengan China. Tingginya bea masuk untuk importasi bahan baku dan barang modal asal China membuat dunia usaha semakin tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan harga. 

Koreksi tajam di Wall Street lantas menjadi persepsi yang dapat mengancam keyakinan bisnis dan investasi secara global. Akibatnya, permintaan energi dunia pun diekspektasikan melambat. Akhirnya, harga minyak pun tak bisa lepas dari koreksi.

Keempat, Gubernur OPEC dari Arab Saudi Adeeb Al-Aama menyatakan bahwa pasar minyak dunia dapat mengalami kondisi kelebihin pasokan pada kuartal IV-2018.

"Pasar (minyak) di kuartal IV (2018) dapat bergerak ke situasi kelebihan pasokan, seiring adanya bukti peningkatan pasokan dalam beberapa minggu terakhir," ucap Al-Aama, seperti dikutip dari Reuters.

Kelebihan pasokan di Arab Saudi sebelumnya sudah diamini oleh Menteri Energi Saudi Khalid Al-Falih, meski sang menteri berencana untuk melakukan intervensi untuk mengurangi peningkatan cadangan dalam beberapa bulan terakhir.

"Kita (telah) memasuki tahap kekhawatiran terhadap peningkatan (cadangan minyak) ini," ujar Al-Falih kepada stasiun TV al-Ekhbariya, seperti dilansir dari Reuters.

Kondisi pasokan yang berlebih jelas menjadi pemberat bagi harga. Tidak hanya di Negeri Paman Sam, kini pasokan minyak pun tercatat membuncah di Negeri Padang Pasir sang produsen minyak mentah terbesar no. 3 di dunia.

Kombinasi empat sentimen negatif itu lantas sukses menekan harga minyak mentah dunia pekan ini. Meski demikian, di penghujung pekan ini, harga sang emas hitam kembali mendapatkan energinya kembali seiring sanksi AS terhadap Iran yang ada di depan mata.

Kemarin, 2 sumber yang namanya tidak bisa disebutkan menyebutkan bahwa Irak akan berhenti mengirimkan minyak mentah dari lapangannya ke Iran, seperti dilansir dari Reuters. Hal ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan dari sanksi AS.

Washington sudah menabur ancaman sejak lama akan memberi sanksi bagi siapa saja yang masih bertransaksi minyak dengan Teheran. Tujuannya adalah menekan penjualan minyak Iran hingga ke titik nol.

Sebagai catatan, Baghdad mengekspor minyak mentah kurang dari 300.000 barel/hari ke Iran via truk saat ini. Hal ini lantas makin memperkuat sentimen bahwa pasokan minyak dari Negeri Persia akan semakin seret. Investor pun kembali diingatkan akan jatuhnya stok minyak global menyusul berlakunya sanksi dari AS. 

Harga minyak pun melambung pada akhir pekan, dan mampu menipiskan pelemahan mingguannya.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)  


(RHG/hps) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular