Investor Jual Saham dan Obligasi RI, Rupiah Kian Lemah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 October 2018 11:44
Investor Jual Saham dan Obligasi RI, Rupiah Kian Lemah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan jual melanda pasar keuangan Indonesia. Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin lemah. 

Pada Jumat (26/10/2018) pukul 12:27 WIB, US$ 1 diperdagangkan di Rp 15.215. Rupiah melemah 0,2% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.  

Investor sepertinya sedang melepas aset-aset berbasis rupiah. Pada pukul 11:22 WIB, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat menguat justru terkoreksi 0,07%. 

Tidak hanya di pasar saham, investor pun terlihat melepas obligasi pemerintah. Hal ini ditandai dengan kenaikan imbal hasil (yield) yang berarti harga sedang turun karena aksi jual. 

Pada pukul 11:26 WIB, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun berada di 8,628%. Naik 3 basis poin (bps) dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. 

Aksi pelepasan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi merata di Asia. Mayoritas mata uang utama Benua Kuning terjerembab ke zona merah, menyisikan yen Jepang sendirian di teritori apresiasi. 

Seperti IHSG, indeks saham Asia pun melemah. Pada pukul 12:30 WIB, Hang Seng anjlok 1,41%, Shanghai Composite terkoreksi 0,58%, Kospi ambrol 2,23%, dan Straits Times amblas 1,69%. Akibatnya mata uang Asia pun ramai-ramai terdepresiasi.

Pada pukul 11:30 WIB, berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning:
 

 

(BERSAMBUNG KE HALAMAN 2)

Berbagai risiko memang tengah menggelayuti dunia. Risiko-risiko ini membuat pelaku pasar lebih suka bermain aman dan memilih instrumen safe haven seperti dolar AS, yen, franc Swiss, dan emas. Pada pukul 11:35 WIB, franc menguat 0,03% terhadap dolar AS dan harga emas naik 0,06%. 

Untuk hari ini, setidaknya ada dua risiko besar. Pertama adalah dari Eropa, di mana Gubernur Bank Sentral Uni Eropa (ECB) Mario Draghi menyatakan ada berbagai risiko yang menghantui perekonomian Benua Biru yaitu ketidakpastian proses Brexit, fiskal Italia yang agresif, dan perang dagang dalam skala global. 

"Memang ada sejumlah ketidakpastian. Ada momentum (pertumbuhan ekonomi) yang melemah, tapi tidak ada perlambatan (downturn)," tegas Draghi, mengutip Reuters. 

Kedua, ada risiko besar ketegangan geopolitik di Timur Tengah antara AS-Arab Saudi terkait kematian Jamal Khasshogi, kolumnis Washington Post, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki). Mengutip Reuters, Kejaksaan Agung Arab Saudi mengatakan terbunuhnya Khasshogi adalah hal yang terencana, bukan terjadi secara spontan karena perkelahian seperti yang disebutkan pemerintah Negeri Padang Pasir. 

"Informasi dari pihak Turki memastikan bahwa para tersangka dalam kasus ini sudah merencanakan kejahatannya," ungkap pejabat Kejaksaan Agung Arab Saudi dalam pernyataan di televisi nasional, dikutip dari Reuters. 

Kabar ini tentu berpotensi memanaskan hubungan Washington-Riyadh. Apalagi Presiden AS Donald Trump sering menyatakan akan ada konsekuensi jika penguasa Arab Saudi terlibat dalam pembunuhan Khasshogi. 

Risiko-risiko ini membuat pelaku pasar kehilangan nafsu untuk mengambil risiko. Hasilnya nyata, aset-aset berisiko di negara berkembang terkena tekanan jual, termasuk di Indonesia. 


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular