Wall Street Jeblok, Harga Minyak Terendah Dalam 2 Bulan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 October 2018 10:58
Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 turun 0,72% ke level US$ 75,62/barel hingga pukul 10.37 WIB hari ini.
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 turun 0,72% ke level US$ 75,62/barel hingga pukul 10.37 WIB hari ini. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 juga melemah 0,70% ke level US$ 66,35/barel.

Harga minyak mentah dunia lagi-lagi tertekan, di mana harga minyak  brent yang menjadi acuan di Eropa kini terjerumus ke level terendahnya dalam 2 bulan terakhir, atau sejak 23 Agustus 2018. Harga brent bahkan sudah melemah di kisaran 8% di sepanjang bulan Oktober saja.

Pelemahan bursa saham di New York, meningkatnya cadangan minyak mentah Amerika Serikat (AS), dan Arab Saudi yang menyatakan akan memasok lebih banyak minyak mentah jika dibutuhkan, masih menjadi "hantu" yang membebani harga sang emas hitam.



Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas satu per satu sentimen negatif yang menjatuhkan harga minyak hari ini. Pertama, cadangan minyak mentah di Negeri Paman Sam meningkat 6,3 juta barel pada pekan lalu, menurut data resmi dari US Energy Information Administration (EIA). Capaian itu jauh lebih besar dari ekspektasi pasar yakni peningkatan sebesar 3,7 juta barel.

Sudah 5 pekan berturut-turut, cadangan minyak AS terus mencatatkan kenaikan. Bahkan, dalam 5 pekan terakhir cadangannya sudah naik hingga 422 juta barel, tidak termasuk cadangan strategis sekitar 656 juta barel.

Meningkatnya pasokan di AS lantas menjadi indikasi bahwa pasokan dunia sebenarnya tidak terlalu seret menyusul sanksi Negeri Adidaya pada Iran pada awal November mendatang. Persepsi ini lantas menjadi beban bagi harga minyak.

Kedua, bursa saham Wall Street terjun bebas pada perdagangan kemarin. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 2,41%, S&P 500 amblas 3,09%, dan Nasdaq Composite ambrol 4,63%.

Investor mulai mengendus risiko perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam. Hal ini terlihat dari rilis data terbaru di AS. Penjualan rumah baru hanya sebesar 553.000 unit pada September. Jumlah ini turun 5,5% secara tahunan (year-on-year/YoY), sekaligus menjadi yang terendah sejak Desember 2016.

Kebijakan The Federal Reserve/The Fed yang terus menaikkan suku bunga acuan sepertinya mulai memakan korban. Sejak awal tahun, Jerome Powell dan kolega sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuan. Bahkan kemungkinan besar akan dilakukan lagi pada Desember.

Sentimen negatif lainnya datang dari laporan The Fed dalam Beige Book yang menyebutkan dunia usaha mulai menaikkan harga akibat perang dagang dengan China. Tingginya bea masuk untuk importasi bahan baku dan barang modal asal China membuat dunia usaha semakin tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan harga.  

Koreksi tajam di Wall Street lantas menjadi persepsi yang dapat mengancam keyakinan bisnis dan investasi secara global. Terlebih, risiko yang ada adalah perang dagang AS-China yang mulai "menggigit". Akibatnya, permintaan energi dunia pun diekspektasikan melambat. Akhirnya, harga minyak pun tak bisa lepas dari koreksi.

Ketiga, Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menyatakan bahwa pasar minyak dunia sedang berada dalam "tempat yang baik" dan berharap bahwa para produsen minyak akan menandatangani kesepakatan untuk mengawasi dan menstabilisasi pasar pada Desember mendatang.

"Kita akan memutuskan jika terjadi disrupsi pasokan, terutama terkait dengan munculnya sanksi Iran," ucap Falih pada konferensi di Riyadh, seperti dikutip dari Reuters.

"Lalu, kita akan melanjutkan dengan kerangka pemikiran kita sekarang, yang mana untuk memenuhi permintaan yang ada, untuk memastikan pelanggan tetap puas," tambah Falih.

Sebagai tambahan, Falih menyatakan bahwa dia tidak akan menghapuskan kemungkinan bahwa Saudi akan memproduksi minyak mentah dalam rentang 1-2 juta barel/hari lebih banyak dari level saat ini.

Hal ini lantas meredakan kekhawatiran bahwa pasokan minyak global akan seret menyusul sanksi yang akan menimpa Saudi akibat kasus tewasnya kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki).

Pelaku pasar tadinya memperkirakan bahwa Saudi akan memangkas produksi minyaknya dan membiarkan harga melambung, sebagai balasan atas sanksi yang akan diterimanya atas dugaan pembunuhan terencana Khashoggi.

Namun, kini seretnya pasokan nampaknya tidak akan jadi kenyataan. Akibatnya, harga minyak mentah dunia (khususnya Brent) pun tidak punya energi untuk bisa menguat.    

(TIM RISET CNBC INDONESIA)

(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular