Marjin Bunga Bersih Perbankan Tertekan, Gara-Gara BI?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 October 2018 18:24
Seiring dengan keputusan BI yang mengerek suku bunga acuan sebesar 150 bps pada tahun ini, NIM perbankan pun tertekan.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Earnings season sudah dimulai sejak awal bulan ini. Emiten-emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai merilis kinerja keuangan periode kuartal-III 2018. Untuk ronde pertama, memang biasanya emiten-emiten sektor perbankan yang mengumumkan kinerjanya.

Hingga kini, tercatat sebanyak 2 bank yang masuk ke dalam kategori BUKU-IV yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) sudah memaparkan kinerja keuangannya.

Hasilnya pun bervariasi. BMRI mencatatkan pendapatan bunga bersih/net interest income (NII) sebesar Rp 13,9 triliun sepanjang kuartal-III 2018, mengalahkan konsensus yang dihimpun Refinitiv sebesar Rp 13,6 triliun. Sementara itu, laba bersih tercatat sebesar Rp 5,9 triliun, di atas estimasi yang sebesar Rp 5,3 triliun.

Sementara itu, BBNI membukukan kinerja yang mengecewakan. Sepanjang kuartal-III 2018, BBNI membukukan NII sebesar Rp 8,6 triliun, di bawah konsensus yang dihimpun Refinitiv sebesar Rp 9,3 triliun. Laba bersih tercatat sebesar Rp 4 triliun, di bawah estimasi yang sebesar Rp 4,4 triliun.

Namun, satu hal yang perlu dicermati adalah mengenai marjin bunga bersih alias net interest margin/NIM. NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Bahkan, tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Katakanlah sebuah bank menyalurkan kredit senilai Rp 100 triliun dalam setahun. Dari penyaluran kredit tersebut, didapatkan pendapatan bunga sebesar Rp 10 triliun. Bank tersebut diketahui membayar bunga senilai Rp 5 triliun kepada depositornya. Jika dihitung, maka NIM dari perbankan tersebut adalah (Rp 10 triliun - Rp 5 triliun) / Rp 100 triliun= 0,05 atau 5%.

Dari materi presentasi yang disajikan di halaman resmi masing-masing perusahaan, diketahui bahwa NIM dari BMRI dan BBNI sama-sama tertekan pada tahun ini.

Sepanjang 9 bulan pertama 2018, NIM dari BMRI tercatat sebesar 5,76%, turun 10 bps dari posisi 9 bulan pertama tahun 2017 yang sebesar 5,86%. Sementara itu, NIM dari BBNI turun 20 bps menjadi 5,3%, dari yang sebelumnya 5,5%.

Gara-Gara Bank Indonesia?

Turunnya NIM kedua bank raksasa di tanah air tersebut merupakan dampak dari kebijakan Bank Indonesia (BI) yang begitu agresif mengerek suku bunga acuan sepanjang tahun ini. Dalam 9 bulan pertama tahun 2018, 7-days reverse repo rate telah dikerek naik sebesar 150 bps.

Akibatnya, perbankan di tanah air mau tak mau harus ikut mengerek suku bunga deposito yang mereka tawarkan. Melansir Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi Juli 2018 yang dipublikasikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor 1 dan 3 bulan dari bank umum konvensional BUKU IV per akhir Desember 2017 adalah masing-masing sebesar 5,07% dan 5,65%. Per Juli 2018, posisinya naik menjadi masing-masing 5,57% (+50 bps) dan 5,71% (+6 bps).

Sebagai informasi, deposito tenor 1 dan 3 bulan merupakan yang paling diminati. Deposito tenor 1 bulan denominasi rupiah berkontribusi sebesar 12,48% dari komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) bank umum konvensional BUKU IV per Juli 2018. Untuk tenor 3 bulan, kontribusinya adalah sebesar 12,47%. Sementara untuk tenor 6 dan 12 bulan ke atas, kontribusinya masing-masing hanyalah sebesar 1,89% dan 1,7%.

Di sisi lain, suku bunga kredit justru turun. Masih melansir SPI edisi Juli 2018, rata-rata suku bunga kredit denominasi rupiah bank umum kepada pihak ketiga bukan bank yang digunakan untuk modal kerja turun sebesar 13 bps jika dibandingkan dengan posisi per akhir 2017. Suku bunga kredit untuk investasi turun 20 bps, sementara untuk konsumsi turun 46 bps.

Nampaknya, persaingan untuk merebut pangsa pasar kian ketat sehingga bank harus memangkas suku bunga kredit dan merelakan NIM terpangkas. Selain persaingan, ketatnya likuiditas memang membuat bank mengambil dana mahal dengan menaikkan suku bunga special rate, sementara bank harus memutar otak untuk menjaga bunga kredit tak naik.

Harus Hati-Hati

Mengingat indeks saham sektor jasa keuangan sudah melesat sebesar 41% sepanjang tahun lalu, investor patut waspada dalam mengoleksi saham-saham perbankan, mengingat NIM bisa kian tergerus seiring dengan potensi kenaikan suku bunga acuan yang tentunya masih ada pada tahun ini. Walaupun secara umum, NIM di Indonesia masih masuk jajaran yang paling tinggi ketimbang negara ASEAN lainnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/dru) Next Article Bos Mandiri & BNI Sebut Banyak Korporasi Besar Kelebihan Cash

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular