Rupiah Menguat Sepekan Ini, Apa Resepnya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 October 2018 08:44
Rupiah Menguat Sepekan Ini, Apa Resepnya?
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat sepanjang pekan ini. Rilis data neraca perdagangan membuat rupiah lebih percaya diri menghadapi pekan yang penuh tantangan. 

Sepanjang pekan ini, rupiah menguat 0,09% secara point-to-point. Mengawali pekan di posisi Rp 15.200/US$, rupiah finis di Rp 15.185/US$. 

 

Pada awal pekan, Badan Pusat Statistik mengumumkan data perdagangan internasional periode September 2018. Ekspor tercatat US$ 14,83 miliar atau tumbuh 1,7% year-on-year (YoY). Meski kinerja ekspor kurang meyakinkan, tetapi impor pun tertekan. 

Pada September, nilai impor adalah US$ 14,6 miliar atau tumbuh 14,18% YoY. Dengan begitu, neraca perdagangan Indonesia mampu mencatat surplus US$ 230 juta. Ini merupakan surplus perdagangan pertama sejak Juni 2018. 

Pencapaian ini sekaligus mengungguli ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada September sebesar 7,44%  YoY, impor tumbuh 25,85% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 600 juta. 

Surplus ini memberi harapan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 lebih baik. Setidaknya ada angin segar karena neraca perdagangan Juli dan Agustus defisit masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 900 juta.

Investor menghembuskan nafas lega, karena devisa dari perdagangan membaik pada September. Rupiah bisa punya pijakan untuk menguat, bisa meringankan derita akibat devisa dari sektor keuangan (portofolio) yang masih seret karena arus modal terkonsentrasi ke AS. 

Pelaku pasar pun memberikan apresiasi. Aset-aset berbasis rupiah mengalami aksi borong sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,4% secara point-to-point sepanjang pekan ini. Investor asing juga mencatatkan beli bersih Rp 1,21 triliun.
 

Tidak hanya di pasar saham, arus modal juga masuk ke pasar obligasi pemerintah. Untuk tenor 10 tahun, imbal hasil atau yield terpangkas 9,8 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga sedang naik karena tingginya permintaan. 

Rilis data neraca perdagangan jadi bekal yang lumayan memadai bagi rupiah dalam mengarungi pekan yang menantang. Bahkan rupiah berhasil menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. 

Seminggu ini, ringgit Malaysia melemah 0,07%. Sementara yen Jepang melemah 0,31%, won Korea Selatan melemah 0,07%, yuan China melemah 0,16%. 

Tidak bisa disalahkan, karena dolar AS memang perkasa pada pekan ini. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,52% selama pekan ini. 



Kekuatan greenback utamanya datang dari rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi September 2018 pada Rabu malam waktu Indonesia. Jerome 'Jay' Powell dan rekan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada rapat tersebut, tetapi investor ingin menguliti seperti apa 'suasana kebatinan' di dalamnya. 

"Dengan perkiraan ekonomi ke depan, peserta rapat mengantisipasi akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dalam target yang ditetapkan sehingga konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah," sebut notulensi itu. 

Saat ini suku bunga acuan AS berada di median 2,125%. The Fed menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4% pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.

"Pendekatan (kenaikan suku bunga acuan) secara bertahap akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan," tulis notulensi rapat tersebut. 

Terkonfirmasi, The Fed tetap dan masih akan hawkish setidaknya sampai 2020. Tren kenaikan suku bunga di Negeri Paman Sam tidak bisa dihindari lagi, ucapkan selamat tinggal kepada era suku bunga rendah. 

Sebab kalau tidak, pertumbuhan ekonomi dan inflasi Negeri Paman Sam akan melesat tanpa kendali. Hasilnya adalah overheating dalam perekonomian, hal yang coba dicegah oleh Powell sejak dirinya disumpah menggantikan Janet Yellen. 

Cara mengendalikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah meredam permintaan. Saat permintaan terkendali, maka inflasi dan pertumbuhan ekonomi bisa melaju dengan nyaman tanpa khawatir risiko overheating

Namun meski bertujuan mengontrol permintaan, dampak kenaikan Federal Funds Rate adalah ikut menaikkan imbalan investasi di AS. Jika suku bunga diperkirakan terus naik sampai 2020, maka berinvestasi di AS akan sangat menggiurkan sampai 2 tahun ke depan. 

Oleh karena itu, dolar AS terus kebanjiran permintaan. Tingginya permintaan terhadap dolar AS membuat mata uang ini perkasa.

Namun di tengah gelombang keperkasaan dolar AS, rupiah masih bisa berdiri tegak. Sepertinya apresiasi investor terhadap data perdagangan menjadi modal besar yang  berhasil menyelamatkan rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular