
Harga Minyak Anjlok Tinggalkan Level US$ 80/barel, Ada Apa?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 October 2018 11:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 naik 0,14% ke level US$ 79,40/barel hingga pukul 10.41 WIB, pada perdagangan hari Jumat (19/10/2018). Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak November 2018 menguat 0,15% ke level US$ 68,75/barel.
Dengan pergerakan tersebut, harga minyak mampu rebound dari pelemahan selama dua hari berturut-turut sebelumnya. Pada penutupan perdagangan hari Kamis (18/10/2018), harga brent dan light sweet kompak anjlok masing-masing sebesar 0,95% dan 1,58%.
Harga brent akhirnya dipaksa meninggalkan level psikologis US$ 80/barel, pasca nyaman berada di atas level tersebut selama nyaris 3 minggu berturut-turut.
Sentimen negatif yang membayangi harga sang emas hitam kemarin datang dari melambungnya cadangan minyak mentah di Amerika Serikat (AS), sekaligus sentimen perang dagang Washington-Beijing yang lagi-lagi dikhawatirkan menekan permintaan minyak dunia.
Meski demikian, kisruh antara AS-Arab Saudi nampaknya masih menyokong pergerakan harga minyak pada hari ini.
Mengutip data resmi dari US Energy Information Administration (EIA), cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam naik 6,5 juta barel pada pekan lalu, hampir tiga kali lipat lebih besar dari ekspektasi pasar. Peningkatan ini juga menjadi kenaikan selama 4 pekan berturut-turut.
Cadangan minyak naik amat kencang meski produksi minyak mentah AS turun 300.000 barel/hari ke angka 10,9 juta barel/hari pada pekan lalu. Alasannya, ada penutupan fasilitas perminyakan lepas pantai akibat datangnya Badai Michael.
Tekanan lebih lanjut juga datang setelah Departemen Energi AS melaporkan bahwa produsen minyak di Negeri Paman Sam telah menyimpan 22 juta barel di tangki penyimpanan dalam 4 minggu terakhir.
Selain itu, pengilangan minyak di AS sedang memasuki musim pemeliharaan, di mana sejumlah pabrik tidak beroperasi untuk 4-6 pekan, sehingga turut membebani permintaan minyak mentah sekaligus harganya. Sejumlah sentimen negatif dari Negeri Adidaya lantas sukses menekan harga minyak mentah global.
Tidak hanya itu, sentimen melemahnya permintaan dunia juga menjadi pemberat pergerakan harga. Pada 9 Oktober lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas pertumbuhan ekonomi global untuk 2018 dan 2019 menjadi 3,7%, dari proyeksi sebelumnya 3,9%. Alasannya adalah tensi perang dagang serta pengenaan bea impor yang menghambat perdagangan.
Alasan IMF tersebut malah sudah mulai terpampang nyata. Dari data teranyar, ekspor Jepang turun 1,2% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada September 2018. Penurunan ini menjadi yang pertama kalinya sejak November 2016, sekaligus jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan kenaikan 1,9%.
Ekspor Jepang ke AS tercatat turun 0,2%. Sedangkan ekspor ke China, mitra dagang terbesar Negeri Sakura, juga jatuh 1,7%. Turunnya ekspor ke Negeri Panda merupakan penurunan pertama kalinya dalam 7 bulan terakhir.
Data ini lantas semakin menegaskan bahwa perang dagang yang berkepanjangan antara Washington-Beijing mulai menyebabkan dampak negatif bagi perekonomian dunia. Saat pertumbuhan ekonomi dunia melambat, dipastikan permintaan energi dunia pun akan menurun.
(NEXT) Meski demikian, perkembangan tensi AS-Saudi, masih menyokong pergerakan minyak hari ini. Seperti diketahui, Jamal Khashoggi, salah seorang wartawan terkemuka asal Saudi yang tinggal di AS dan kerapkali menyampaikan kritik bagi pemerintahan Saudi, menghilang pada 2 Oktober 2018 lalu. Ia diduga dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Meski belum ada pengumuman resmi, Presiden AS Donald Trump menganggap Khasoggi sudah tewas. Khasoggi terakhir kali terlihat di Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki). "Sepertinya begitu (Khasoggi sudah tewas). Ini sangat menyedihkan," kata Trump, dikutip dari Reuters.
Namun Trump masih ingin menunggu kejelasan dari kasus ini. Trump telah mengutus Menteri Luar Negeri Mike Pompeo ke Riyadh dan Istanbul untuk 'mengawal' kasus hilangnya Khasoggi, yang merupakan warga negara AS.
"Masih sedikit terlalu awal untuk menyimpulkan. Saya akan menunggu hasil (investigasi) sehingga kita semua akan bisa mengungkapnya segera," lanjut Trump.
Akan tetapi, bila Arab Saudi terbukti terlibat dan melakukan pembunuhan terhadap Khasoggi, maka Trump akan sangat marah. Bukan tidak mungkin konsekuensinya akan sangat berat bagi Negeri Padang Pasir.
"Well, itu (konsekuensi) harus sangat berat karena ini hal yang buruk, sangat buruk. Namun kita lihat apa yang terjadi nanti," ujarnya.
Sebelumnya, New York Times mengabarkan Khasoggi dibunuh dan dimutilasi di sana, meski belum ada hasil investigasi resmi dari aparat gabungan Turki-Arab Saudi. Yeni Safak, surat kabar terkemuka di Turki, juga melaporkan hal serupa. Khasoggi disiksa saat interogasi, dipotong jarinya, kemudian dipenggal dan dimutilasi.
Ketegangan ini membuat Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin membatalkan rencana kunjungan ke Arab Saudi untuk menghadiri sebuah konferensi. Sebenarnya tidak hanya Mnuchin, Bruno Le Maire (Menteri Keuangan Prancis) dan Liam Fox (Menteri Perdagangan Inggris) juga urung hadir karena kasus Khasoggi. Menteri Keuangan Belanda Wopka Hoekstra juga membatalkan kunjungan ke Arab Saudi bulan depan dengan alasan serupa.
Investor pun cemas sanksi AS dan negara-negara barat akan menyangkut hal yang paling mendasar yaitu blokade ekspor minyak. Arab Saudi adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia, dengan produksi bisa mencapai 12,08 juta barel/hari.
Potensi ini bisa hilang atau minimal berkurang bila Arab Saudi sampai terkena sanksi blokade, seperti yang akan dijatuhkan AS kepada Iran pada 4 November mendatang.
Atau ketika tensinya makin panas, Arab Saudi tidak akan lagi menjadi sekutu loyal AS. Padahal, Trump sudah lama mengkritik harga minyak yang dinilainya terlampau tinggi. Dia mendesak Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk bertindak menurunkan harga. Caranya adalah dengan meningkatkan volume produksi demi menutupi disrupsi pasokan dari Teheran. Arab Saudi, yang merupakan pemimpin OPEC secara de facto, bisa saja tidak mau menuruti keinginan Washington tersebut, dan membiarkan harga minyak melambung. Risiko berkurangnya pasokan dari Arab Saudi (dan Iran) tersebut lantas mendukung penguatan harga minyak hari ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi
Dengan pergerakan tersebut, harga minyak mampu rebound dari pelemahan selama dua hari berturut-turut sebelumnya. Pada penutupan perdagangan hari Kamis (18/10/2018), harga brent dan light sweet kompak anjlok masing-masing sebesar 0,95% dan 1,58%.
Harga brent akhirnya dipaksa meninggalkan level psikologis US$ 80/barel, pasca nyaman berada di atas level tersebut selama nyaris 3 minggu berturut-turut.
Meski demikian, kisruh antara AS-Arab Saudi nampaknya masih menyokong pergerakan harga minyak pada hari ini.
Mengutip data resmi dari US Energy Information Administration (EIA), cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam naik 6,5 juta barel pada pekan lalu, hampir tiga kali lipat lebih besar dari ekspektasi pasar. Peningkatan ini juga menjadi kenaikan selama 4 pekan berturut-turut.
Cadangan minyak naik amat kencang meski produksi minyak mentah AS turun 300.000 barel/hari ke angka 10,9 juta barel/hari pada pekan lalu. Alasannya, ada penutupan fasilitas perminyakan lepas pantai akibat datangnya Badai Michael.
Tekanan lebih lanjut juga datang setelah Departemen Energi AS melaporkan bahwa produsen minyak di Negeri Paman Sam telah menyimpan 22 juta barel di tangki penyimpanan dalam 4 minggu terakhir.
Selain itu, pengilangan minyak di AS sedang memasuki musim pemeliharaan, di mana sejumlah pabrik tidak beroperasi untuk 4-6 pekan, sehingga turut membebani permintaan minyak mentah sekaligus harganya. Sejumlah sentimen negatif dari Negeri Adidaya lantas sukses menekan harga minyak mentah global.
Tidak hanya itu, sentimen melemahnya permintaan dunia juga menjadi pemberat pergerakan harga. Pada 9 Oktober lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas pertumbuhan ekonomi global untuk 2018 dan 2019 menjadi 3,7%, dari proyeksi sebelumnya 3,9%. Alasannya adalah tensi perang dagang serta pengenaan bea impor yang menghambat perdagangan.
Alasan IMF tersebut malah sudah mulai terpampang nyata. Dari data teranyar, ekspor Jepang turun 1,2% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada September 2018. Penurunan ini menjadi yang pertama kalinya sejak November 2016, sekaligus jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan kenaikan 1,9%.
Ekspor Jepang ke AS tercatat turun 0,2%. Sedangkan ekspor ke China, mitra dagang terbesar Negeri Sakura, juga jatuh 1,7%. Turunnya ekspor ke Negeri Panda merupakan penurunan pertama kalinya dalam 7 bulan terakhir.
Data ini lantas semakin menegaskan bahwa perang dagang yang berkepanjangan antara Washington-Beijing mulai menyebabkan dampak negatif bagi perekonomian dunia. Saat pertumbuhan ekonomi dunia melambat, dipastikan permintaan energi dunia pun akan menurun.
(NEXT) Meski demikian, perkembangan tensi AS-Saudi, masih menyokong pergerakan minyak hari ini. Seperti diketahui, Jamal Khashoggi, salah seorang wartawan terkemuka asal Saudi yang tinggal di AS dan kerapkali menyampaikan kritik bagi pemerintahan Saudi, menghilang pada 2 Oktober 2018 lalu. Ia diduga dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Meski belum ada pengumuman resmi, Presiden AS Donald Trump menganggap Khasoggi sudah tewas. Khasoggi terakhir kali terlihat di Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki). "Sepertinya begitu (Khasoggi sudah tewas). Ini sangat menyedihkan," kata Trump, dikutip dari Reuters.
Namun Trump masih ingin menunggu kejelasan dari kasus ini. Trump telah mengutus Menteri Luar Negeri Mike Pompeo ke Riyadh dan Istanbul untuk 'mengawal' kasus hilangnya Khasoggi, yang merupakan warga negara AS.
"Masih sedikit terlalu awal untuk menyimpulkan. Saya akan menunggu hasil (investigasi) sehingga kita semua akan bisa mengungkapnya segera," lanjut Trump.
Akan tetapi, bila Arab Saudi terbukti terlibat dan melakukan pembunuhan terhadap Khasoggi, maka Trump akan sangat marah. Bukan tidak mungkin konsekuensinya akan sangat berat bagi Negeri Padang Pasir.
"Well, itu (konsekuensi) harus sangat berat karena ini hal yang buruk, sangat buruk. Namun kita lihat apa yang terjadi nanti," ujarnya.
Sebelumnya, New York Times mengabarkan Khasoggi dibunuh dan dimutilasi di sana, meski belum ada hasil investigasi resmi dari aparat gabungan Turki-Arab Saudi. Yeni Safak, surat kabar terkemuka di Turki, juga melaporkan hal serupa. Khasoggi disiksa saat interogasi, dipotong jarinya, kemudian dipenggal dan dimutilasi.
Ketegangan ini membuat Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin membatalkan rencana kunjungan ke Arab Saudi untuk menghadiri sebuah konferensi. Sebenarnya tidak hanya Mnuchin, Bruno Le Maire (Menteri Keuangan Prancis) dan Liam Fox (Menteri Perdagangan Inggris) juga urung hadir karena kasus Khasoggi. Menteri Keuangan Belanda Wopka Hoekstra juga membatalkan kunjungan ke Arab Saudi bulan depan dengan alasan serupa.
Investor pun cemas sanksi AS dan negara-negara barat akan menyangkut hal yang paling mendasar yaitu blokade ekspor minyak. Arab Saudi adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia, dengan produksi bisa mencapai 12,08 juta barel/hari.
Potensi ini bisa hilang atau minimal berkurang bila Arab Saudi sampai terkena sanksi blokade, seperti yang akan dijatuhkan AS kepada Iran pada 4 November mendatang.
Atau ketika tensinya makin panas, Arab Saudi tidak akan lagi menjadi sekutu loyal AS. Padahal, Trump sudah lama mengkritik harga minyak yang dinilainya terlampau tinggi. Dia mendesak Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk bertindak menurunkan harga. Caranya adalah dengan meningkatkan volume produksi demi menutupi disrupsi pasokan dari Teheran. Arab Saudi, yang merupakan pemimpin OPEC secara de facto, bisa saja tidak mau menuruti keinginan Washington tersebut, dan membiarkan harga minyak melambung. Risiko berkurangnya pasokan dari Arab Saudi (dan Iran) tersebut lantas mendukung penguatan harga minyak hari ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular