Investor Tak Mau Pegang Rupiah Terlalu Lama
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 October 2018 16:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang cukup dalam membuat investor seakan kurang percaya terhadap mata uang ini. Akibatnya investor enggan memegang rupiah dalam jangka panjang.
Pada Kamis (18/10/2018) pukul 14:25 WIB, US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 15.195. Rupiah melemah 0,3% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sejak awal tahun, rupiah melemah 12,02% di hadapan greenback. Sementara selama setahun terakhir, depresiasinya mencapai 12,43%.
Dari eksternal, tekanan terhadap rupiah (dan hampir seluruh mata uang dunia) datang dari kebijakan moneter AS yang cenderung ketat. Sejak awal 2018, The Federal Reserve/The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan tiga kali dan kemungkinan besar akan ada kenaikan sekali lagi pada Desember.
Saat ini suku bunga acuan AS berada di median 2,125%. The Fed menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.
Kenaikan suku bunga acuan akan menyebabkan berinvestasi di AS menjadi lebih menguntungkan. Akibatnya, arus modal portofolio alias hot money mengalir deras ke Negeri Paman Sam sehingga membuat greenback perkasa di hadapan berbagai mata uang dunia, termasuk rupiah.
Sementara dari dalam negeri, faktor pemberat rupiah ada di transaksi berjalan (current account) yang mengalami defisit. Artinya, devisa yang masuk dari proses ekspor-impor barang dan jasa lebih kecil dibandingkan yang keluar. Pasokan valas dari perdagangan pun seret cenderung langka.
Minimnya suplai valas dari hot money (karena semua terpusat ke AS) plus dari sektor perdagangan membuat rupiah sulit menguat karena minim pijakan. Ini yang membuat rupiah melemah cukup dalam, terdalam kedua di Asia setelah rupee India.
The Fed masih akan agresif menaikkan suku bunga sampai 2020 sehingga arus modal masih akan berkerumun di Negeri Adidaya. Memperbaiki transaksi berjalan juga butuh waktu lama, karena harus memperbaiki fundamental industri manufaktur nasional agar dapat meningkatkan kinerja ekspor dan mengurangi ketergantungan impor.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin rupiah masih bisa melemah lebih dalam. Prospek rupiah yang suram ini tentu mengkhawatirkan bagi investor, terutama asing.
Ketika investor asing membeli aset di Indonesia mungkin bisa mendapatkannya dengan harga murah. Namun saat mereka sudah mendapat cuan dan menukarkannya kembali ke valas, maka nilainya jadi ikut rendah. Investor mana yang mau seperti ini?
Kondisi ini membuat kepercayaan investor terhadap rupiah sepertinya menipis. Hal ini terlihat dari posisi kepemilikan investor terhadap rupiah.
Reuters melakukan survei seputar seberapa lama investor memegang suatu mata uang. Hasilnya digambarkan dalam skala -3 sampai 3. Semakin tinggi angkanya maka investor semakin tidak mempercayai suatu mata uang dan lebih memilih memegang dolar AS dalam jangka panjang.
Dalam survei edisi 18 Oktober, nilai rupiah ada di 1,68. Artinya investor cenderung hanya ingin memegang rupiah dalam jangka pendek dan memilih berpihak ke dolar AS dalam jangka panjang.
Bahkan nilai survei terhadap rupiah ini menjadi yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Artinya kepercayaan investor terhadap rupiah bukannya membaik tetapi malah sebaliknya.
Berikut hasil survei Reuters terhadap sejumlah mata uang Asia:
Bank Indonesia (BI) dan pemerintah perlu mencermati perkembangan ini. Untuk faktor eksternal memang di luar kuasa mereka, tetapi otoritas moneter dan fiskal memiliki kewenangan untuk memperbaiki transaksi berjalan.
Berbagai kebijakan telah ditempuh seperti pewajiban pencampuran 20% bahan bakar nabati untuk minyak solar/diesel atau B20, menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk ribuan produk impor, dan sebagainya sudah ditempuh untuk mengurangi impor. Bahkan ke depan ada kebijakan baru untuk menjaring devisa hasil ekspor secara lebih efektif yaitu membuat Special Deposit Account (SDA) di BI.
Namun pembenahan transaksi berjalan juga membutuhkan pembenahan struktural. Industri manufaktur nasional harus dibangkitkan kembali agar bisa memproduksi barang jadi atau setengah jadi untuk diekspor. Sudah bukan saatnya lagi Indonesia menggantungkan diri kepada ekspor komoditas. Pembangunan industri manufaktur juga diharapkan mampu mengurangi impor karena berbagai kebutuhan domestik bisa diproduksi di dalam negeri.
Jika transaksi berjalan masih defisit seperti sekarang, apalagi kalau malah membengkak, kasihan rupiah. Dia akan terus 'dihukum' oleh pasar dan semakin lemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Kamis (18/10/2018) pukul 14:25 WIB, US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 15.195. Rupiah melemah 0,3% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sejak awal tahun, rupiah melemah 12,02% di hadapan greenback. Sementara selama setahun terakhir, depresiasinya mencapai 12,43%.
Dari eksternal, tekanan terhadap rupiah (dan hampir seluruh mata uang dunia) datang dari kebijakan moneter AS yang cenderung ketat. Sejak awal 2018, The Federal Reserve/The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan tiga kali dan kemungkinan besar akan ada kenaikan sekali lagi pada Desember.
Saat ini suku bunga acuan AS berada di median 2,125%. The Fed menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.
Kenaikan suku bunga acuan akan menyebabkan berinvestasi di AS menjadi lebih menguntungkan. Akibatnya, arus modal portofolio alias hot money mengalir deras ke Negeri Paman Sam sehingga membuat greenback perkasa di hadapan berbagai mata uang dunia, termasuk rupiah.
Sementara dari dalam negeri, faktor pemberat rupiah ada di transaksi berjalan (current account) yang mengalami defisit. Artinya, devisa yang masuk dari proses ekspor-impor barang dan jasa lebih kecil dibandingkan yang keluar. Pasokan valas dari perdagangan pun seret cenderung langka.
Minimnya suplai valas dari hot money (karena semua terpusat ke AS) plus dari sektor perdagangan membuat rupiah sulit menguat karena minim pijakan. Ini yang membuat rupiah melemah cukup dalam, terdalam kedua di Asia setelah rupee India.
The Fed masih akan agresif menaikkan suku bunga sampai 2020 sehingga arus modal masih akan berkerumun di Negeri Adidaya. Memperbaiki transaksi berjalan juga butuh waktu lama, karena harus memperbaiki fundamental industri manufaktur nasional agar dapat meningkatkan kinerja ekspor dan mengurangi ketergantungan impor.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin rupiah masih bisa melemah lebih dalam. Prospek rupiah yang suram ini tentu mengkhawatirkan bagi investor, terutama asing.
Ketika investor asing membeli aset di Indonesia mungkin bisa mendapatkannya dengan harga murah. Namun saat mereka sudah mendapat cuan dan menukarkannya kembali ke valas, maka nilainya jadi ikut rendah. Investor mana yang mau seperti ini?
Kondisi ini membuat kepercayaan investor terhadap rupiah sepertinya menipis. Hal ini terlihat dari posisi kepemilikan investor terhadap rupiah.
Reuters melakukan survei seputar seberapa lama investor memegang suatu mata uang. Hasilnya digambarkan dalam skala -3 sampai 3. Semakin tinggi angkanya maka investor semakin tidak mempercayai suatu mata uang dan lebih memilih memegang dolar AS dalam jangka panjang.
Dalam survei edisi 18 Oktober, nilai rupiah ada di 1,68. Artinya investor cenderung hanya ingin memegang rupiah dalam jangka pendek dan memilih berpihak ke dolar AS dalam jangka panjang.
Bahkan nilai survei terhadap rupiah ini menjadi yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Artinya kepercayaan investor terhadap rupiah bukannya membaik tetapi malah sebaliknya.
Berikut hasil survei Reuters terhadap sejumlah mata uang Asia:
Bank Indonesia (BI) dan pemerintah perlu mencermati perkembangan ini. Untuk faktor eksternal memang di luar kuasa mereka, tetapi otoritas moneter dan fiskal memiliki kewenangan untuk memperbaiki transaksi berjalan.
Berbagai kebijakan telah ditempuh seperti pewajiban pencampuran 20% bahan bakar nabati untuk minyak solar/diesel atau B20, menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk ribuan produk impor, dan sebagainya sudah ditempuh untuk mengurangi impor. Bahkan ke depan ada kebijakan baru untuk menjaring devisa hasil ekspor secara lebih efektif yaitu membuat Special Deposit Account (SDA) di BI.
Namun pembenahan transaksi berjalan juga membutuhkan pembenahan struktural. Industri manufaktur nasional harus dibangkitkan kembali agar bisa memproduksi barang jadi atau setengah jadi untuk diekspor. Sudah bukan saatnya lagi Indonesia menggantungkan diri kepada ekspor komoditas. Pembangunan industri manufaktur juga diharapkan mampu mengurangi impor karena berbagai kebutuhan domestik bisa diproduksi di dalam negeri.
Jika transaksi berjalan masih defisit seperti sekarang, apalagi kalau malah membengkak, kasihan rupiah. Dia akan terus 'dihukum' oleh pasar dan semakin lemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular