Dolar AS Perkasa, Rupiah Terlemah Ketiga di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 October 2018 12:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah. Memang sulit menandingi dolar AS yang sedang disuntik obat kuat dari The Federal Reserve/The Fed.
Pada Kamis (18/10/2018) pukul 12:04 WIB, US$ 1 diperdagangkan di Rp 15.190 di pasar spot. Rupiah melemah 0,26% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah melemah 0,07% dan terus melemah seiring perjalanan pasar. Berbanding terbalik dengan kemarin, di mana rupiah tidak pernah menyentuh zona merah dan berakhir sebagai mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.
Posisi terkuat rupiah hari ini adalah Rp 15.160/US$ yaitu saat pembukaan pasar. Sedangkan terlemahnya ada di Rp 15.191/US$.
Seperti rupiah, mayoritas mata uang juga melemah di hadapan dolar AS. Won Korea Selatan masih jadi mata uang dengan pelemahan paling dalam.
Penyebabnya adalah keputusan Bank Sentral Korea Selatan (BoK) yang menahan suku bunga di 1,5%. Selain itu, BoK juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2018 dari 2,9% menjadi 2,7%. Untuk 2019, perkiraan pertumbuhan ekonomi juga direvisi ke bawah dari 2,8% menjadi 2,7%.
Setelah won, baht Thailand menempati peringkat kedua sebagai mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. Posisi ketiga tidak lain tidak bukan adalah rupiah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 12:13 WIB:
Memang agak sulit menandingi dolar AS hari ini. Tidak hanya di Asia, dolar AS pun menguat terhadap berbagai mata uang dunia, yang ditunjukkan dengan penguatan Dollar Index sebesar 0,08% pada pukul 12:17 WIB.
Laju dolar AS tidak tertahan setelah The Fed merilis notulensi rapat edisi September 2018. Dalam rapat tersebut, The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% atau median 2,125%. Ternyata dalam rapat tersebut Jerome 'Jay' Powell dan kolega menyelipkan pesan-pesan bahwa kenaikan suku bunga secara bertahap masih akan terus berlanjut.
"Dengan perkiraan ekonomi ke depan, peserta rapat mengantisipasi akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dalam target yang ditetapkan sehingga konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah," sebut notulensi itu.
The Fed menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.
"Pendekatan (kenaikan suku bunga acuan) secara bertahap akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan," tulis notulensi rapat tersebut.
Merespons rilis ini, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS melesat. Untuk tenor 10 tahun, saat ini yield berada di 3,2089% atau melonjak 3 bps.
Kenaikan yield adalah sinyal bullish bagi dolar AS. Sebab yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam penentuan kupon dalam lelang obligasi berikutnya.
Saat yield naik, berarti kupon juga naik sehingga minat terhadap obligasi pemerintah AS melonjak. Permintaan terhadap obligasi yang tinggi tentu searah dengan permintaan dolar AS. Oleh karena itu, tidak heran dolar AS ikut menguat saat yield bergerak naik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Kamis (18/10/2018) pukul 12:04 WIB, US$ 1 diperdagangkan di Rp 15.190 di pasar spot. Rupiah melemah 0,26% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah melemah 0,07% dan terus melemah seiring perjalanan pasar. Berbanding terbalik dengan kemarin, di mana rupiah tidak pernah menyentuh zona merah dan berakhir sebagai mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.
Posisi terkuat rupiah hari ini adalah Rp 15.160/US$ yaitu saat pembukaan pasar. Sedangkan terlemahnya ada di Rp 15.191/US$.
Seperti rupiah, mayoritas mata uang juga melemah di hadapan dolar AS. Won Korea Selatan masih jadi mata uang dengan pelemahan paling dalam.
Penyebabnya adalah keputusan Bank Sentral Korea Selatan (BoK) yang menahan suku bunga di 1,5%. Selain itu, BoK juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2018 dari 2,9% menjadi 2,7%. Untuk 2019, perkiraan pertumbuhan ekonomi juga direvisi ke bawah dari 2,8% menjadi 2,7%.
Setelah won, baht Thailand menempati peringkat kedua sebagai mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. Posisi ketiga tidak lain tidak bukan adalah rupiah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 12:13 WIB:
Memang agak sulit menandingi dolar AS hari ini. Tidak hanya di Asia, dolar AS pun menguat terhadap berbagai mata uang dunia, yang ditunjukkan dengan penguatan Dollar Index sebesar 0,08% pada pukul 12:17 WIB.
Laju dolar AS tidak tertahan setelah The Fed merilis notulensi rapat edisi September 2018. Dalam rapat tersebut, The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% atau median 2,125%. Ternyata dalam rapat tersebut Jerome 'Jay' Powell dan kolega menyelipkan pesan-pesan bahwa kenaikan suku bunga secara bertahap masih akan terus berlanjut.
"Dengan perkiraan ekonomi ke depan, peserta rapat mengantisipasi akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dalam target yang ditetapkan sehingga konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah," sebut notulensi itu.
The Fed menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.
"Pendekatan (kenaikan suku bunga acuan) secara bertahap akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan," tulis notulensi rapat tersebut.
Merespons rilis ini, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS melesat. Untuk tenor 10 tahun, saat ini yield berada di 3,2089% atau melonjak 3 bps.
Kenaikan yield adalah sinyal bullish bagi dolar AS. Sebab yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam penentuan kupon dalam lelang obligasi berikutnya.
Saat yield naik, berarti kupon juga naik sehingga minat terhadap obligasi pemerintah AS melonjak. Permintaan terhadap obligasi yang tinggi tentu searah dengan permintaan dolar AS. Oleh karena itu, tidak heran dolar AS ikut menguat saat yield bergerak naik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular