
Kasus Khashoggi Mencuat, Harga Minyak Ikut Terseret
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
18 October 2018 11:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 naik 0,08% ke level US$ 80,11/barel hingga pukul 11.05 WIB, pada perdagangan hari Kamis (18/10/2018). Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak November 2018 menguat 0,12% ke level US$ 69,83/barel.
Dengan pergerakan tersebut, harga minyak mampu rebound dari pelemahan signifikan pada perdagangan kemarin. Pada penutupan perdagangan hari Rabu (17/10/2018), harga brent dan light sweet kompak anjlok masing-masing sebesar 1,67% dan 3,02%.
Sentimen negatif yang membayangi harga sang emas hitam kemarin datang dari melambungnya cadangan minyak mentah di Amerika Serikat (AS). Meski demikian, hari ini harga minyak mendapat masih disokong oleh kekhawatiran investor terhadap tensi Washington-Riyadh.
Mengutip data resmi dari US Energy Information Administration (EIA), cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam naik 6,5 juta barel pada pekan lalu, hampir tiga kali lipat lebih besar dari ekspektasi pasar. Peningkatan ini juga menjadi kenaikan selama 4 pekan berturut-turut.
Cadangan minyak naik amat kencang meski produksi minyak mentah AS turun 300.000 barel/hari ke angka 10,9 juta barel/hari pada pekan lalu. Alasannya, ada penutupan fasilitas perminyakan lepas pantai akibat datangnya Badai Michael.
Meski demikian, perkembangan tensi AS-Saudi, masih menyokong pergerakan minyak hari ini.
Seperti diketahui, Jamal Khashoggi, salah seorang wartawan terkemuka asal Saudi yang tinggal di AS dan kerapkali menyampaikan kritik bagi pemerintahan Saudi, menghilang pada 2 Oktober 2018 lalu. Ia diduga dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Perkembangan teranyar, New York Times mengabarkan Khasoggi dibunuh dan dimutilasi di sana meski belum ada hasil investigasi resmi dari aparat gabungan Turki-Arab Saudi. Yeni Safak, surat kabar terkemuka di Turki, juga melaporkan hal serupa. Khasoggi disiksa saat interogasi, dipotong jarinya, kemudian dipenggal dan dimutilasi.
Kemarin, Senator AS Lindsey Graham bahkan menuduh Pangeran Saudi Mohammed bin Salman menjadi dalang di balik pembunuhan Khashoggi. Graham bahkan tak segan memanggil Pangeran Mohammed sebagai "Pangeran Sadis".
Washington sebelumnya sudah mengancam akan menerapkan sanksi kepada Riyadh jika Khasoggi terbunuh. Oleh karena itu, pelaku pasar khawatir kisruh ini berujung pada sanksi ekonomi berupa blokade ekspor minyak Negeri Gurun Pasir.
Atau ketika tensinya makin panas, Arab Saudi tidak akan lagi menjadi sekutu loyal AS. Padahal, Presiden AS Donald Trump sudah lama mengkritik harga minyak yang dinilainya terlampau tinggi. Dia mendesak Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk bertindak menurunkan harga.
Arab Saudi, yang merupakan pemimpin OPEC secara de facto, bisa saja tidak mau menuruti keinginan Washington dan membiarkan harga minyak melambung. Alhasil, memburuknya hubungan Saudi-AS bisa diterjemahkan bahwa pasokan minyak global masih akan seret. Sentimen ini lantas mampu mengerek harga minyak hari ini.
Meski demikian, pergerakan harga minyak juga masih terbatas. Trump memang sudah sempat berkoar akan menjauhkan hukuman, namun sampai saat ini Trump belum mau meninggalkan sahabat karibnya di Timur Tengah tersebut.
"Saya tidak mau melakukan itu," kata Trump dalam wawancana dengan Fox kala menjawab pertanyaan apakah Washington akan 'bercerai' dengan Riyadh akibat kasus ini, seperti dikutip dari Reuters.
Saat ini, Trump masih menunggu hasil investigasi resmi. Bahkan eks pembawa acara reality show The Apprentice itu sampai mengirim Menteri Luar Negeri Mike Pompeo ke Riyadh kemudian Istanbul untuk 'mengawal' kasus ini.
Trump juga berharap kasus Khasoggi tidak melibatkan para petinggi Arab Saudi. Dari laporan Pompeo, sejauh ini Arab Saudi masih kooperatif dalam upaya penyelidikan. Sentimen ini lantas mengindikasikan bahwa masih ada peluang bahwa keretakan hubungan Washington-Riyadh tidak separah yang diperkirakan sebelumnya.
Namun, pelaku pasar juga perlu mewaspadai perkembangan lebih lanjut. Jika kemudian laporan resmi hasil investasi mengonfirmasi laporan New York Times atau Yeni Safak, maka bisa saja Trump berubah pikiran. Trump kemungkinan akan murka, dan ujung-ujungnya persahabatan AS-Saudi yang sudah lama terjalin bisa lenyap seketika. Saat itu terjadi, siap-siap harga minyak bisa meroket lebih lanjut.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Dengan pergerakan tersebut, harga minyak mampu rebound dari pelemahan signifikan pada perdagangan kemarin. Pada penutupan perdagangan hari Rabu (17/10/2018), harga brent dan light sweet kompak anjlok masing-masing sebesar 1,67% dan 3,02%.
Sentimen negatif yang membayangi harga sang emas hitam kemarin datang dari melambungnya cadangan minyak mentah di Amerika Serikat (AS). Meski demikian, hari ini harga minyak mendapat masih disokong oleh kekhawatiran investor terhadap tensi Washington-Riyadh.
Mengutip data resmi dari US Energy Information Administration (EIA), cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam naik 6,5 juta barel pada pekan lalu, hampir tiga kali lipat lebih besar dari ekspektasi pasar. Peningkatan ini juga menjadi kenaikan selama 4 pekan berturut-turut.
Cadangan minyak naik amat kencang meski produksi minyak mentah AS turun 300.000 barel/hari ke angka 10,9 juta barel/hari pada pekan lalu. Alasannya, ada penutupan fasilitas perminyakan lepas pantai akibat datangnya Badai Michael.
Meski demikian, perkembangan tensi AS-Saudi, masih menyokong pergerakan minyak hari ini.
Seperti diketahui, Jamal Khashoggi, salah seorang wartawan terkemuka asal Saudi yang tinggal di AS dan kerapkali menyampaikan kritik bagi pemerintahan Saudi, menghilang pada 2 Oktober 2018 lalu. Ia diduga dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Perkembangan teranyar, New York Times mengabarkan Khasoggi dibunuh dan dimutilasi di sana meski belum ada hasil investigasi resmi dari aparat gabungan Turki-Arab Saudi. Yeni Safak, surat kabar terkemuka di Turki, juga melaporkan hal serupa. Khasoggi disiksa saat interogasi, dipotong jarinya, kemudian dipenggal dan dimutilasi.
Kemarin, Senator AS Lindsey Graham bahkan menuduh Pangeran Saudi Mohammed bin Salman menjadi dalang di balik pembunuhan Khashoggi. Graham bahkan tak segan memanggil Pangeran Mohammed sebagai "Pangeran Sadis".
Washington sebelumnya sudah mengancam akan menerapkan sanksi kepada Riyadh jika Khasoggi terbunuh. Oleh karena itu, pelaku pasar khawatir kisruh ini berujung pada sanksi ekonomi berupa blokade ekspor minyak Negeri Gurun Pasir.
Atau ketika tensinya makin panas, Arab Saudi tidak akan lagi menjadi sekutu loyal AS. Padahal, Presiden AS Donald Trump sudah lama mengkritik harga minyak yang dinilainya terlampau tinggi. Dia mendesak Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk bertindak menurunkan harga.
Arab Saudi, yang merupakan pemimpin OPEC secara de facto, bisa saja tidak mau menuruti keinginan Washington dan membiarkan harga minyak melambung. Alhasil, memburuknya hubungan Saudi-AS bisa diterjemahkan bahwa pasokan minyak global masih akan seret. Sentimen ini lantas mampu mengerek harga minyak hari ini.
Meski demikian, pergerakan harga minyak juga masih terbatas. Trump memang sudah sempat berkoar akan menjauhkan hukuman, namun sampai saat ini Trump belum mau meninggalkan sahabat karibnya di Timur Tengah tersebut.
"Saya tidak mau melakukan itu," kata Trump dalam wawancana dengan Fox kala menjawab pertanyaan apakah Washington akan 'bercerai' dengan Riyadh akibat kasus ini, seperti dikutip dari Reuters.
Saat ini, Trump masih menunggu hasil investigasi resmi. Bahkan eks pembawa acara reality show The Apprentice itu sampai mengirim Menteri Luar Negeri Mike Pompeo ke Riyadh kemudian Istanbul untuk 'mengawal' kasus ini.
Trump juga berharap kasus Khasoggi tidak melibatkan para petinggi Arab Saudi. Dari laporan Pompeo, sejauh ini Arab Saudi masih kooperatif dalam upaya penyelidikan. Sentimen ini lantas mengindikasikan bahwa masih ada peluang bahwa keretakan hubungan Washington-Riyadh tidak separah yang diperkirakan sebelumnya.
Namun, pelaku pasar juga perlu mewaspadai perkembangan lebih lanjut. Jika kemudian laporan resmi hasil investasi mengonfirmasi laporan New York Times atau Yeni Safak, maka bisa saja Trump berubah pikiran. Trump kemungkinan akan murka, dan ujung-ujungnya persahabatan AS-Saudi yang sudah lama terjalin bisa lenyap seketika. Saat itu terjadi, siap-siap harga minyak bisa meroket lebih lanjut.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular