
Cadangan AS Turun, Harga Minyak Lanjut Reli 4 Hari Beruntun
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
17 October 2018 10:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 naik 0,13% ke level US$81,52/barel hingga pukul 09.45 WIB, pada perdagangan hari Rabu (17/10/2018). Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak November 2018 menguat 0,22% ke level US$72,08/barel.
Dengan pergerakan tersebut, harga minyak melanjutkan performa positif pada perdagangan kemarin. Pada penutupan perdagangan hari Senin (15/10/2018), harga brent dan light sweet kompak menguat masing-masing sebesar 0,78% dan 0,19%.
Sentimen positif bagi pergerakan harga sang emas hitam hari ini masih datang dari Timur Tengah, yakni panasnya hubungan Amerika Serikat (AS)-Arab Saudi, serta menurunnya cadangan minyak mentah AS pada pekan lalu.
Meski demikian, penguatan harga minyak terbatas oleh niatan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk meningkatkan kapasitas produksi minyak mentah.
Perkembangan teranyar dari drama pembunuhan Jamal Khashoggi bisa dibilang tidak positif. Senator AS Lindsey Graham menuduh Pangeran Saudi Mohammed bin Salman menjadi dalang di balik pembunuhan Khashoggi. Graham bahkan tak segan memanggil Pangeran Mohammed sebagai "Pangeran Sadis".
Seperti diketahui, Jamal Khashoggi, salah seorang wartawan terkemuka asal Saudi yang tinggal di Negeri Paman Sam dan kerapkali menyampaikan kritik bagi pemerintahan Saudi, menghilang pada 2 Oktober 2018 lalu. Ia diduga dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Washington sebelumnya sudah mengancam akan menerapkan sanksi kepada Riyadh jika Khasoggi terbunuh. Oleh karena itu, pelaku pasar khawatir kisruh ini berujung pada sanksi ekonomi berupa blokade ekspor minyak Negeri Gurun Pasir.
Atau ketika tensinya makin panas, Arab Saudi tidak akan lagi menjadi sekutu loyal AS. Padahal, Presiden AS Donald Trump sudah lama mengkritik harga minyak yang dinilainya terlampau tinggi. Dia mendesak OPEC untuk bertindak menurunkan harga.
Salah satu upaya menurunkan harga adalah menambah suplai. Arab Saudi bisa diandalkan karena merupakan pemimpin OPEC secara de facto dan sekutu AS di Timur Tengah. Namun jika relasi AS-Arab Saudi panas, Riyadh bisa saja tidak mau menuruti keinginan Washington dan membiarkan harga minyak melambung.
Alhasil, memburuknya hubungan Saudi-AS bisa diterjemahkan bahwa pasokan minyak global masih akan seret. Sentimen ini lantas mampu mengerek harga naik sejak awal pekan ini.
BACA: Arab Saudi - AS Tegang, Harga Minyak Kuat di Awal Pekan
Sentimen lainnya yang menopang pergerakan harga minyak hari ini juga datang dari cadangan minyak mentah AS yang turun 2,1 juta barel pada pekan lalu, mengutip data dari American Petroleum Institute (API). Capaian itu jauh di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 2,2 juta barel.
Stok Bahan Bakar Minyak (BBM) juga turun 3,4 juta barel, juga jatuh lebih dalam dibanding konsensus Reuters yang mengestimasikan penurunan 1,1 juta barel. Sementara, cadangan minyak distilat, termasuk solar dan minyak pemanas, juga turun sebesar 246.000 barel.
Turunnya cadangan minyak mentah AS ini lantas meredakan kekhawatiran investor sebelumnya bahwa cadangan akan melambung tinggi akibat tingkat produksi yang amat sehat. Sebagai informasi, data resmi dari pemerintah AS akan dirilis pada mala mini pukul 21.30 WIB.
Meski demikian, penguatan harga hari ini nampaknya terbatas oleh pernyataan Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo yang meminta perusahaan produsen minyak untuk meningkatkan kapasitas produksinya, serta mau berinvestasi lebih banyak.
Hal ini ditujukan untuk mememuhi pertumbuhan permintaan minyak global di masa depan, di tengah semakin tipisnya kapasitas produksi global.
"Negara-negara yang mempunyai kapasitas (produksi) saat ini sedang mengerut, karena kurangnya investasi di eksplorasi," ujar Barkindo di konferensi IHS CERA, seperti dikutip dari Reuters.
"Diperlukan investasi sebesar US$ 11 triliun di sektor minyak dunia untuk memenuhu kebutuhan minyak di masa depan hingga tahun 2040," tambah Barkindo.
Sentimen negatif lainnya yang membebani harga minyak juga datang dari pemerintah Rusia yang dikabarkan tidak lagi membatasi produksi minyaknya, seperti dikatakan salah satu perusahaan energi besar Gazprom Neft, seperti dilansir dari Reuters.
Kabar ini lantas memberikan sinyal bahwa kesepakatan Negeri Beruang Merah dengan OPEC nampaknya sudah efektif berakhir sekarang. Seperti diketahui, sejak 2017 OPEC dan negara produsen non-OPEC (dipimpin Rusia) sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,8 juta barel/hari, dengan Moskow berjanji untuk mengurangi output sekitar 300.000 barel/hari.
Dua sentimen negatif di atas menyebabkan harga minyak tidak bisa menguat banyak-banyak di pagi ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Dengan pergerakan tersebut, harga minyak melanjutkan performa positif pada perdagangan kemarin. Pada penutupan perdagangan hari Senin (15/10/2018), harga brent dan light sweet kompak menguat masing-masing sebesar 0,78% dan 0,19%.
Sentimen positif bagi pergerakan harga sang emas hitam hari ini masih datang dari Timur Tengah, yakni panasnya hubungan Amerika Serikat (AS)-Arab Saudi, serta menurunnya cadangan minyak mentah AS pada pekan lalu.
Perkembangan teranyar dari drama pembunuhan Jamal Khashoggi bisa dibilang tidak positif. Senator AS Lindsey Graham menuduh Pangeran Saudi Mohammed bin Salman menjadi dalang di balik pembunuhan Khashoggi. Graham bahkan tak segan memanggil Pangeran Mohammed sebagai "Pangeran Sadis".
Seperti diketahui, Jamal Khashoggi, salah seorang wartawan terkemuka asal Saudi yang tinggal di Negeri Paman Sam dan kerapkali menyampaikan kritik bagi pemerintahan Saudi, menghilang pada 2 Oktober 2018 lalu. Ia diduga dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Washington sebelumnya sudah mengancam akan menerapkan sanksi kepada Riyadh jika Khasoggi terbunuh. Oleh karena itu, pelaku pasar khawatir kisruh ini berujung pada sanksi ekonomi berupa blokade ekspor minyak Negeri Gurun Pasir.
Atau ketika tensinya makin panas, Arab Saudi tidak akan lagi menjadi sekutu loyal AS. Padahal, Presiden AS Donald Trump sudah lama mengkritik harga minyak yang dinilainya terlampau tinggi. Dia mendesak OPEC untuk bertindak menurunkan harga.
Salah satu upaya menurunkan harga adalah menambah suplai. Arab Saudi bisa diandalkan karena merupakan pemimpin OPEC secara de facto dan sekutu AS di Timur Tengah. Namun jika relasi AS-Arab Saudi panas, Riyadh bisa saja tidak mau menuruti keinginan Washington dan membiarkan harga minyak melambung.
Alhasil, memburuknya hubungan Saudi-AS bisa diterjemahkan bahwa pasokan minyak global masih akan seret. Sentimen ini lantas mampu mengerek harga naik sejak awal pekan ini.
BACA: Arab Saudi - AS Tegang, Harga Minyak Kuat di Awal Pekan
Sentimen lainnya yang menopang pergerakan harga minyak hari ini juga datang dari cadangan minyak mentah AS yang turun 2,1 juta barel pada pekan lalu, mengutip data dari American Petroleum Institute (API). Capaian itu jauh di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 2,2 juta barel.
Stok Bahan Bakar Minyak (BBM) juga turun 3,4 juta barel, juga jatuh lebih dalam dibanding konsensus Reuters yang mengestimasikan penurunan 1,1 juta barel. Sementara, cadangan minyak distilat, termasuk solar dan minyak pemanas, juga turun sebesar 246.000 barel.
Turunnya cadangan minyak mentah AS ini lantas meredakan kekhawatiran investor sebelumnya bahwa cadangan akan melambung tinggi akibat tingkat produksi yang amat sehat. Sebagai informasi, data resmi dari pemerintah AS akan dirilis pada mala mini pukul 21.30 WIB.
Meski demikian, penguatan harga hari ini nampaknya terbatas oleh pernyataan Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo yang meminta perusahaan produsen minyak untuk meningkatkan kapasitas produksinya, serta mau berinvestasi lebih banyak.
Hal ini ditujukan untuk mememuhi pertumbuhan permintaan minyak global di masa depan, di tengah semakin tipisnya kapasitas produksi global.
"Negara-negara yang mempunyai kapasitas (produksi) saat ini sedang mengerut, karena kurangnya investasi di eksplorasi," ujar Barkindo di konferensi IHS CERA, seperti dikutip dari Reuters.
"Diperlukan investasi sebesar US$ 11 triliun di sektor minyak dunia untuk memenuhu kebutuhan minyak di masa depan hingga tahun 2040," tambah Barkindo.
Sentimen negatif lainnya yang membebani harga minyak juga datang dari pemerintah Rusia yang dikabarkan tidak lagi membatasi produksi minyaknya, seperti dikatakan salah satu perusahaan energi besar Gazprom Neft, seperti dilansir dari Reuters.
Kabar ini lantas memberikan sinyal bahwa kesepakatan Negeri Beruang Merah dengan OPEC nampaknya sudah efektif berakhir sekarang. Seperti diketahui, sejak 2017 OPEC dan negara produsen non-OPEC (dipimpin Rusia) sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,8 juta barel/hari, dengan Moskow berjanji untuk mengurangi output sekitar 300.000 barel/hari.
Dua sentimen negatif di atas menyebabkan harga minyak tidak bisa menguat banyak-banyak di pagi ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular