Investor Gagal Move On dari Dolar AS, Rupiah Balik Melemah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 October 2018 09:35
Investor Gagal Move On dari Dolar AS, Rupiah Balik Melemah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang dibuka menguat ternyata tidak bertahan lama. Setelah pembukaan pasar spot, rupiah malah berbalik melemah. 

Pada Selasa (16/10/2018) pukul 09:02 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 15.210. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan kemarin. 

Saat pembukaan pasar, rupiah menguat 0,13% dan dolar AS mampu didorong ke bawah Rp 15.200. Namun itu tidak bertahan lama, karena dolar AS menguat dan kembali ke kisaran Rp 15.200. 

Dolar AS yang sempat nyungsep kini kembali bertaring. Di Asia, dolar AS kini berhasil menguat terhadap sejumlah mata uang utama. Selain rupiah, dolar AS juga berjaya di hadapan yuan China, dolar Hong Kong, rupee India, yen Jepang, dan peso Filipina. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 09:08 WIB: 

 

Well, investor memang tidak bisa berpisah lama dari dolar AS. Pada pukul 09:10 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) sudah menguat meski baru 0,02%. Sejak dini hari tadi, indeks ini masih terjebak di zona merah. 

Awalnya investor menghindari dolar AS karena rilis data yang kurang oke di Negeri Paman Sam. Kementerian Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel pada September mencatatkan pertumbuhan 0,1% month-to-month (MtM), meleset dari konsensus Reuters yang mengestimasikan kenaikan sebesar 0,6% MtM. Adapun secara year-on-year (YoY), pertumbuhan penjualan ritel mencapai 4,7% pada September, melambat cukup drastis dari 6,6% pada Agustus. 

Namun ternyata masih banyak risiko di perekonomian global yang gagal membuat pelaku pasar move on dari dolar AS. Di Eropa saja setidaknya ada dua risiko besar. 

Pertama adalah di Italia. Pemerintah Italia sudah mengesahkan anggaran negara 2019 dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membengkak tiga kali lipat dari rencana awal yaitu 0,8% PDB. 

Pemerintahan Italia yang dipimpin Perdana Menteri Guiseppe Conte memang berhaluan kanan-tengah, yang mengedepankan kebijakan populis. Untuk anggaran 2019, pemerintah Negeri Pizza berencana menambah anggaran untuk subsidi kepada rakyat miskin dan memberlakukan insentif pajak kepada wirausahawan. 

Berbagai pihak sudah menyuarakan ketidaksetujuan kepada rencana ini, terutama Uni Eropa. Beberapa waku lalu, Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker menyatakan Italia bisa terjerumus ke jurang krisis fiskal seperti pada 2009-2010 bila masih mempertahankan kebijakan fiskal yang agresif dan ekspansif. 

"Italia menjauhkan diri dari target yang telah disusun bersama oleh Uni Eropa. Saya tidak ingin, tetapi setelah pengalaman menyelesaikan krisis di Yunani, kita bisa-bisa mengalami hal yang sama di Italia. Satu krisis sudah cukup dan kita harus mencegah itu. Kalau sampai Italia mendapat penanganan khusus, bisa-bisa itu menjadi akhir dari euro," jelas Juncker, mengutip Reuters.  

Kini Italia sudah mengirimkan dokumen rencana anggaran itu kepada Uni Eropa untuk dikaji dalam waktu dua pekan ke depan. Bila Uni Eropa menolak, maka Italia harus menyusun rencana anggaran baru. 

Risiko kedua adalah dari proses perceraian Inggris dari Uni Eropa alias Brexit. Sampai saat ini belum ada kesepakatan seputar wilayah kepabeanan di Republik Irlandia dan Irlandia Utara. 

Brussel ingin agar kedua negara tersebut masih masuk wilayah pabean Uni Eropa, sementara London ingin agar tidak ada pemeriksaan pabean di sana. Jika tidak ada penyelesaian, maka Inggris berpotensi tidak mendapat apa-apa dari perceraian ini. No deal Brexit. 

Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk mengatakan no deal Brexit kini menjadi sebuah skenario dengan kemungkinan yang lebih besar dari sebelumnya. Uni Eropa dan Inggris akan kembali mengadakan perundingan pada Rabu waktu Brussel. 

"Kita tidak bisa membiarkan ketidaksepakatan ini menjadi penghambat. Jangan sampai kita tidak mendapatkan kesepakatan yang bagus dan malah mendapatkan no deal. Ini adalah hasil yang tidak diinginkan oleh kita semua," kata Theresa May, Perdana Menteri Inggris, mengutip Reuters. 

Situasi di Eropa yang penuh ketidakpastian membuat investor lagi-lagi memilih bermain aman. Pelaku pasar yang awalnya berani mengambil risiko kini mundur teratur dan kembali ke aset-aset aman (safe haven) seperti dolar AS atau emas. 

Akibatnya, aset-aset berisiko di negara berkembang kurang mendapat apresiasi. Rupiah yang sempat menguat pun akhirnya kembali terdorong ke zona merah.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular