Asumsi Kurs Rp15.000/US$: Grusa-grusu atau Keseimbangan Baru?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 October 2018 21:01
Asumsi Kurs Rp15.000/US$: Grusa-grusu atau Keseimbangan Baru?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Arie Pratama)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mengubah asumsi nilai tukar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Apakah ini pertanda rupiah memasuki keseimbangan baru? 

Dalam dokumen awal Nota Keuangan dan RAPBN 2019 yang dibacakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Agustus 2018, asumsi kurs rata-rata sepanjang tahun dipatok Rp 14.400/US$. Kemudian setelah dibahas di Badan Anggaran DPR Panitia Kerja A, nilainya diubah menjadi Rp 14.500/US$. 

Namun hari ini dalam rapat kerja di Badan Anggaran DPR, pemerintah kembali mengubah asumsi kurs menjadi Rp 15.000/US$. Menurut Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, perubahan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian terkini. 

"Banyak perkembangan yang terjadi. Dengan pertemuan yang terjadi di Bali (Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia) kita mendapat sesuatu untuk menakar asumsi asumsi untuk dikaji kembali. Berdasarkan usulan dari Pak Gubernur BI (Bank Indonesia), kami usulkan kami pakai nilai tengah di angka Rp 15.000/US$ untuk nilai tukar 2019," kata Sri Mulyani. 

Keputusan ini sebenarnya agak mengejutkan. Sebab, dolar AS baru menginjak level Rp 15.000 dalam 10 hari perdagangan terakhir. Selain itu, rata-rata kurs rupiah sepanjang 2018 adalah Rp 14.101,07/US$ atau masih jauh dari kisaran Rp 15.000/US$.  



Lantas, apakah keputusan pemerintah mengubah asumsi kurs untuk RAPBN 2019 adalah keputusan yang terlalu grusa-grusu? Atau apakah rupiah di Rp 15.000/US$ adalah sebuah titik keseimbangan baru? 

Agak sulit menjawab pertanyaan itu. Namun yang jelas, potensi dolar AS untuk menguat pada 2019 memang sangat terbuka.
Penguatan greenback, seperti tahun ini, akan didorong oleh kenaikan suku bunga acuan. Saat ini The Fed Funds Rate berada di 2-2,25% atau median 2,125%. Pada akhir 2018, median suku bunga ditargetkan berada di 2,4% atau butuh sekali lagi kenaikan, yang diperkirakan terjadi pada Desember. 

Kemudian pada akhir 2019, Jerome Powell (Gubernur Federal Reserve) dan kolega menargetkan median suku bunga acuan di 3,1%. Artinya butuh kenaikan 70 basis poin (bps). Jika sekali kenaikan adalah 25 bps, maka The Fed Funds Rate akan naik setidaknya tiga kali tahun depan. 

Kenaikan suku bunga acuan bertujuan mengendalikan laju inflasi AS agar tidak bergerak liar. Tahun depan, The Fed menargetkan inflasi (yang diukur dengan Personal Consumption Expenditure inti) di kisaran 2,1%. Hanya naik tipis dibandingkan 2018 yang diperkirakan 2%. 

Padahal, ada potensi kenaikan permintaan karena angka pengangguran AS yang semakin rendah. Pada akhir 2019, The Fed memperkirakan angka pengangguran berada di 3,5%, turun dibandingkan akhir tahun ini yang diperkirakan 3,6%. 

Saat angka pengangguran turun, maka konsumsi akan meningkat karena pendapatan masyarakat lebih baik. Jika tidak dikontrol, maka inflasi akan melaju dengan liar tanpa bisa diimbangi oleh pasokan yang menciptakan kondisi overheating

Cara paling ampuh mengendalikan atau mengerem permintaan adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Ekspansi ekonomi akan terhambat karena kenaikan biaya bunga. Permintaan akan berkurang dan inflasi bisa terjaga tetap stabil. 

Meski tujuan utamanya adalah mengendalikan permintaan, tetapi kenaikan suku bunga acuan punya dampak lain yaitu ikut menaikkan imbalan investasi di Negeri Paman Sam, utamanya di instrumen berpendapatan tetap. Memegang dolar AS saja sudah untung, karena kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang ini tidak turun. 

AS pun sepertinya belum punya lawan sampai setidaknya pertengahan tahun depan. Di Eropa, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) kemungkinan baru menaikkan suku bunga acuan paling cepat musim panas atau tengah tahun. Sedangkan Bank Sentral Jepang (BoJ) sepertinya masih akan menempuh jalan panjang menuju normalisasi kebijakan moneter, karena permintaan domestik yang masih cenderung stagnan. 

The Fed yang seng ada lawan membuat dolar AS berpotensi melaju sendirian. Seperti tahun ini, bukan tidak mungkin dolar AS masih menduduki takhta raja mata uang dunia. Sementara di dalam negeri, penyokong rupiah dari transaksi berjalan (current account) masih absen. Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan pada 2019 masih mengalami defisit 2,5-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Arus modal masih akan mengarah ke AS, sementara pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa pun sangat terbatas. Tertekan dari luar, rupiah juga tidak punya 'beking' di dalam negeri.  

Oleh karena itu, kecenderungan rupiah ke depan memang melemah. Jika transaksi berjalan masih defisit, memang ruang rupiah untuk menguat sangat terbatas. 

Jadi, apakah asumsi kurs di Rp 15.000/US$ sudah tepat? Mungkin. Sebab rupiah bisa jadi sudah berada di keseimbangan baru yaitu kisaran Rp 15.000/US$ karena ruang penguatan semakin sempit.


TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/wed) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular