Rupiah Lolos dari Zona Merah, Ada Campur Tangan BI?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 October 2018 17:09
Rupiah Lolos dari Zona Merah, Ada Campur Tangan BI?
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup stagnan di perdagangan pasar spot awal pekan ini. Kabar baiknya, rupiah tidak sampai melemah di tengah mata uang Asia yang mayoritas terdepresiasi di hadapan greenback. 

Pada Senin (15/10/2018), US$ 1 dihargai Rp 15.200 kala penutupan pasar spot. Angka ini sama seperti posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Sepanjang hari ini, rupiah banyak menghabiskan waktu di zona merah. Baru jelang akhir perdagangan rupiah bisa menyamakan posisi dan tidak lagi melemah.


Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 15.180/US$ sementara terlemahnya adalah Rp 15.250/US$. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang perdagangan hari ini: 

 

Rupiah masih beruntung karena kebanyakan mata uang Asia tidak bisa menandingi keperkasaan dolar AS. Hanya yen Jepang, dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan yang mampu menguat. 

Depresiasi paling dalam dialami oleh rupee India. Kenaikan harga minyak menjadi momok bagi perekonomian India.

 
Hari ini, harga minyak jenis brent dan light sweet sempat menguat sampai ke kisaran 1%. Hal ini menjadi sentimen positif bagi India, negara importir minyak terbesar ketiga dunia.  

Saat harga minyak naik, nilai impor minyak India berpotensi membengkak padahal jumlah yang diimpor mungkin tidak bertambah. Dampaknya adalah neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) Negeri Bollywood terancam sehingga rupee akan kekurangan modal untuk menguat. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:36 WIB: 

 

Dolar AS memang tengah diliputi sentimen positif. Pertama, kemungkinan investor melihat dampak perang dagang AS vs China semakin jelas dan potensi perlambatan ekonomi dunia kian terpampang. Setidaknya hal itu sudah diakui oleh Yi Gang, Gubernur Bank Sentral China (PBoC).

Berbicara dalam seminar di sela-sela Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia, Yi menyebutkan bahwa perang dagang sangat merugikan bagi Negeri Tirai Bambu. "Saya rasa peningkatan tensi perdagangan sangat signifikan mempengaruhi risiko perlambatan (downside risk). Ketidakpastian besar berada di depan kita," kata Yi, mengutip Reuters.  

China adalah mitra dagang utama berbagai negara, termasuk Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas Indonesia ke China pada Januari-September 2018 adalah US$ 18,52 miliar atau menyumbang 15,14%. China menduduki peringkat pertama negara tujuan ekspor Indonesia. 

Jika ekonomi Negeri Panda melambat, maka permintaan mereka akan turun. Akibatnya ekspor sejumlah negara akan ikut nyungsep. Oleh karena itu, pasokan devisa dari ekspor pun terancam sehingga mata uang akan sulit menguat, tidak terkecuali rupiah. 

Kedua, pelaku pasar melihat tensi geopolitik antara AS dan Arab Saudi meninggi. Penyebabnya adalah hilangnya kolumnis AS, Jamal Khashoggi, di Konsulat Arab Saudi. Washington mengancam akan menerapkan sanksi kepada Riyadh jika Khasoggi terbunuh. 

Namun Arab Saudi tidak gentar. Mereka mengancam akan membalas jika AS sampai menerapkan sanksi. 

"Kerajaan menolak segala bentuk ancaman, apakah itu menerapkan sanksi ekonomi,  penggunaan tekanan politik, atau memanfaatkan tuduhan palsu. Kerajaan memastikan jika sampai ada aksi (dari AS), maka akan ada reaksi yang lebih besar. Ekonomi Kerajaan memiliki pengaruh dan sangat vital bagi dunia," ancam seorang pejabat Arab Saudi, mengutip Reuters. 

Melihat risiko besar ini, investor dipaksa bermain aman. Tujuan mereka adalah aset-aset safe haven seperti emas, yen Jepang, atau dolar AS. Jadi tidak hanya dolar AS dan yen yang menguat, harga emas di pasar internasional juga menguat 1,18% pada pukul 16:45 WIB. 




Faktor ketiga, investor juga mengoleksi dolar AS karena lelang obligasi yang semakin dekat. Pada tengah malam waktu Indonesia, pemerintahan Presiden Donald Trump akan melelang dua seri obligasi yaitu tenor 13 dan 26 pekan. 

Jelang lelang, investor melakukan aksi jual yang masif untuk menekan harga dan menaikkan imbal hasil (yield). Kenaikan yield akan membuat kupon yang ditawarkan dalam lelang akan naik dan harganya turun. Siapa yang tidak tertarik? 

Investor terus berupaya mendorong yield ke atas dan sejauh ini cukup berhasil. Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah AS pada pukul 16:47 WIB: 

 

Untuk ikut serta dalam lelang, investor tentu butuh dolar AS untuk membeli obligasi. Permintaan yang meningkat membuat dolar AS kian mahal alias menguat. 

Ketiga hal ini berhasil meredam sentimen positif dari rilis data neraca perdagangan. Pada September 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor periode September 2018 sebesar US$ 14,83 miliar atau tumbuh 1,7% year-on-year (YoY).

Meski kinerja ekspor kurang meyakinkan, tetapi impor pun tertekan. Pada September, nilai impor adalah US$ 14,6% atau tumbuh 14,18% YoY. 

Dengan begitu, neraca perdagangan Indonesia mampu mencatat surplus US$ 230 juta. Ini merupakan surplus perdagangan pertama sejak Juni 2018. 

Pencapaian ini sekaligus mengungguli ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada September sebesar 7,44%  YoY, impor tumbuh 25,85% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 600 juta. 

Akan tetapi, tarikan dari faktor eksternal sepertinya lebih kuat sehingga rupiah tidak mampu menguat. Bahkan kemungkinan rupiah yang stagnan pun bisa dicapai karena intervensi Bank Indonesia. 

"BI hari ini tetap melakukan intervensi terukur di pasar valas dan SBN (Surat Berharga Negara). Intervensi tidak terlalu besar, terukur, dan memperhatikan kondisi cadangan devisa," kata Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, dalam perbincangan dengan CNBC Indonesia TV. 

Tanpa intervensi BI, bukan tidak mungkin rupiah berakhir di zona merah. Rupiah patut berterima kasih kepada intervensi BI. 


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular