Rupiah Melemah di Kurs Acuan, Terlemah Asia di Pasar Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 October 2018 10:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan melemah pada awal pekan ini. Rupiah juga melemah di perdagangan pasar spot, bahkan menjadi mata uang terlemah di Asia.
Pada Senin (15/10/2018), kurs acuan Jakarta Intebank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 15.246. Rupiah melemah 0,34% dibandingkan perdagangan akhir pekan lalu.
Sejak awal tahun, rupiah telah melemah 12,58% di kurs acuan. Sedangkan dibandingkan setahun yang lalu, depresiasi rupiah mencapai 13,08%.
Sementara di pasar spot, rupiah juga mengalami nasib serupa. Pada pukul 10:04 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 15.247 di mana rupiah melemah 0,31%.
Kala pembukaan pasar spot, rupiah berada di posisi yang sama seperti penutupan akhir pekan lalu yaitu Rp 15.200/US$. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah terus melemah semakin dalam.
Mata uang Asia juga cenderung melemah di hadapan dolar AS. Yuan China, yen Jepang, rupee India, dan dolar Taiwan mampu menguat sedangkan sisanya tidak selamat.
Dengan depresiasi 0,31%, rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. Disusul oleh won Korea Selatan dan ringgit Malaysia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:07 WIB:
Penguatan dolar AS masih berlanjut. Pada pukul 10:09 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,12%. Indeks ini terus bertahan di zona hijau sejak akhir pekan lalu.
Investor sepertinya tengah berburu dolar AS jelang lelang obligasi pemerintah. Tengah malam ini waktu Indonesia, pemerintah AS akan melelang dua seri obligasi jangka pendek yaitu tenor 13 dan 26 pekan.
Jelang lelang, biasanya investor melakukan aksi pelepasan obligasi untuk membuat harga instrumen ini turun dan imbal hasil (yield) naik. Dengan begitu, investor punya posisi tawar lebih tinggi di hadapan penerbit (pemerintah).
Yield obligasi AS masih dalam tren naik. Untuk tenor 26 pekan yang akan dilelang nanti, yield naik 0,2 basis poin (bps) pada pukul 10:17 WIB.
elaku pasar pun mengoleksi dolar AS sebagai persiapan menghadapi lelang karena ada harapan mendapat kupon lebih tinggi. Permintaan dolar AS yang meningkat membuat harga mata uang ini semakin mahal alias menguat.
Sedangkan dari dalam negeri, investor sepertinya pesimistis dengan prospek neraca perdagangan Indonesia. Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan periode September 2018.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada September sebesar 7,44% year-on-year (YoY), impor tumbuh 25,85% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 600 juta. Neraca perdagangan September yang masih defisit membuat transaksi berjalan (current account) Indonesia di ujung tanduk. Sebab neraca perdagangan Juli dan Agustus pun defisit masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 1,02 miliar.
Masa depan transaksi berjalan yang suram membuat rupiah minim ruang untuk menguat karena devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang tekor. Pasalnya, pasokan devisa dari pasar keuangan alias hot money juga seret karena terkonsentrasi ke AS. Akibatnya, rupiah bisa dibilang tidak punya obat kuat.
Saat prospek rupiah suram, investor tentu enggan memegang aset berbasis mata uang ini. Mana ada investor yang mau memegang aset yang nilainya berisiko turun? Hasilnya adalah rupiah kurang mendapat apresiasi dan nilainya semakin murah atau melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (15/10/2018), kurs acuan Jakarta Intebank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 15.246. Rupiah melemah 0,34% dibandingkan perdagangan akhir pekan lalu.
Sejak awal tahun, rupiah telah melemah 12,58% di kurs acuan. Sedangkan dibandingkan setahun yang lalu, depresiasi rupiah mencapai 13,08%.
Sementara di pasar spot, rupiah juga mengalami nasib serupa. Pada pukul 10:04 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 15.247 di mana rupiah melemah 0,31%.
Kala pembukaan pasar spot, rupiah berada di posisi yang sama seperti penutupan akhir pekan lalu yaitu Rp 15.200/US$. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah terus melemah semakin dalam.
Mata uang Asia juga cenderung melemah di hadapan dolar AS. Yuan China, yen Jepang, rupee India, dan dolar Taiwan mampu menguat sedangkan sisanya tidak selamat.
Dengan depresiasi 0,31%, rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. Disusul oleh won Korea Selatan dan ringgit Malaysia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:07 WIB:
Penguatan dolar AS masih berlanjut. Pada pukul 10:09 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,12%. Indeks ini terus bertahan di zona hijau sejak akhir pekan lalu.
Investor sepertinya tengah berburu dolar AS jelang lelang obligasi pemerintah. Tengah malam ini waktu Indonesia, pemerintah AS akan melelang dua seri obligasi jangka pendek yaitu tenor 13 dan 26 pekan.
Jelang lelang, biasanya investor melakukan aksi pelepasan obligasi untuk membuat harga instrumen ini turun dan imbal hasil (yield) naik. Dengan begitu, investor punya posisi tawar lebih tinggi di hadapan penerbit (pemerintah).
Yield obligasi AS masih dalam tren naik. Untuk tenor 26 pekan yang akan dilelang nanti, yield naik 0,2 basis poin (bps) pada pukul 10:17 WIB.
elaku pasar pun mengoleksi dolar AS sebagai persiapan menghadapi lelang karena ada harapan mendapat kupon lebih tinggi. Permintaan dolar AS yang meningkat membuat harga mata uang ini semakin mahal alias menguat.
Sedangkan dari dalam negeri, investor sepertinya pesimistis dengan prospek neraca perdagangan Indonesia. Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan periode September 2018.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada September sebesar 7,44% year-on-year (YoY), impor tumbuh 25,85% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 600 juta. Neraca perdagangan September yang masih defisit membuat transaksi berjalan (current account) Indonesia di ujung tanduk. Sebab neraca perdagangan Juli dan Agustus pun defisit masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 1,02 miliar.
Masa depan transaksi berjalan yang suram membuat rupiah minim ruang untuk menguat karena devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang tekor. Pasalnya, pasokan devisa dari pasar keuangan alias hot money juga seret karena terkonsentrasi ke AS. Akibatnya, rupiah bisa dibilang tidak punya obat kuat.
Saat prospek rupiah suram, investor tentu enggan memegang aset berbasis mata uang ini. Mana ada investor yang mau memegang aset yang nilainya berisiko turun? Hasilnya adalah rupiah kurang mendapat apresiasi dan nilainya semakin murah atau melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular