Perburuan Dolar AS Dimulai Lagi, Rupiah Cs Melemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 October 2018 08:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka stagnan di perdagangan pasar spot awal pekan ini. Namun setelah itu, rupiah bergerak melemah.
Pada Senin (15/10/2018), US$ 1 dihargai Rp 15.200 kala pembukaan pasar spot. Rupiah tidak berubah dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Namun seiring perjalanan, rupiah cenderung melemah. Pada pukul 08:16 WIB, US$ 1 berada di Rp 15.215 di mana rupiah melemah 0,1%.
Pertanda depresiasi rupiah sebenarnya sudah terlihat. Sebelum pasar spot dibuka, pasar Non-Deliverable Forwards (NDF) sudah memberi sinyal bahwa rupiah berpotensi melemah.
Dolar AS memang menguat terhadap mayoritas mata uang utama Asia. Hanya rupee India, yen Jepang, dan baht Thailand yang menguat. Mata uang lainnya melemah meski hanya dalam rentang tipis.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:21 WIB:
Memang agak sulit menandingi dolar AS. Pada pukul 08:24 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,12%. Indeks ini sudah menguat sejak akhir pekan lalu.
Sepertinya perburuan terhadap dolar AS kembali dimulai. Pasalnya, tengah malam ini waktu Indonesia, pemerintah AS akan melelang dua seri obligasi jangka pendek yaitu tennor 13 dan 26 pekan. Untuk tenor 13 pekan, target indikatif yang ditetapkan adalah US$ 45 miliar sementara untuk 26 pekan targetnya US$ 39 miliar.
Jelang lelang, biasanya investor 'membanting' obligasi dengan melakukan aksi pelepasan secara masal. Tujuannya adalah agar harga instrumen ini turun dan imbal hasil (yield) naik.
Ini sudah mulai terlihat di mana akhir pekan lalu ada pergerakan yield ke atas, meski belum signifikan. Untuk tenor 13 pekan, yield naik 0,47 basis poin (bps) ke 2,2707% sementara untuk yang 26 pekan naik 0,21 bpe ke 2,444%.
Semakin dekat menuju lelang biasanya aksi pelepasan ini semakin agresif sehingga yield terus terdongkak. Kala yield di pasar sekunder naik, maka penawaran kupon dalam lelang akan terkerek ke atas.
Dengan penawaran kupon yang menggiurkan, permintaan terhadap obligasi akan naik. Tidak hanya obligasi, permintaan terhadap dolar AS juga akan naik karena butuh mata uang ini untuk membeli obligasi.
Artinya, lagi-lagi arus modal akan tersedot ke pasar obligasi dan valas Negeri Adidaya. Situasi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi rupiah dan mata uang lain di Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (15/10/2018), US$ 1 dihargai Rp 15.200 kala pembukaan pasar spot. Rupiah tidak berubah dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Namun seiring perjalanan, rupiah cenderung melemah. Pada pukul 08:16 WIB, US$ 1 berada di Rp 15.215 di mana rupiah melemah 0,1%.
Dolar AS memang menguat terhadap mayoritas mata uang utama Asia. Hanya rupee India, yen Jepang, dan baht Thailand yang menguat. Mata uang lainnya melemah meski hanya dalam rentang tipis.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:21 WIB:
Memang agak sulit menandingi dolar AS. Pada pukul 08:24 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,12%. Indeks ini sudah menguat sejak akhir pekan lalu.
Sepertinya perburuan terhadap dolar AS kembali dimulai. Pasalnya, tengah malam ini waktu Indonesia, pemerintah AS akan melelang dua seri obligasi jangka pendek yaitu tennor 13 dan 26 pekan. Untuk tenor 13 pekan, target indikatif yang ditetapkan adalah US$ 45 miliar sementara untuk 26 pekan targetnya US$ 39 miliar.
Jelang lelang, biasanya investor 'membanting' obligasi dengan melakukan aksi pelepasan secara masal. Tujuannya adalah agar harga instrumen ini turun dan imbal hasil (yield) naik.
Ini sudah mulai terlihat di mana akhir pekan lalu ada pergerakan yield ke atas, meski belum signifikan. Untuk tenor 13 pekan, yield naik 0,47 basis poin (bps) ke 2,2707% sementara untuk yang 26 pekan naik 0,21 bpe ke 2,444%.
Semakin dekat menuju lelang biasanya aksi pelepasan ini semakin agresif sehingga yield terus terdongkak. Kala yield di pasar sekunder naik, maka penawaran kupon dalam lelang akan terkerek ke atas.
Dengan penawaran kupon yang menggiurkan, permintaan terhadap obligasi akan naik. Tidak hanya obligasi, permintaan terhadap dolar AS juga akan naik karena butuh mata uang ini untuk membeli obligasi.
Artinya, lagi-lagi arus modal akan tersedot ke pasar obligasi dan valas Negeri Adidaya. Situasi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi rupiah dan mata uang lain di Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular