Kenapa Rupiah Melemah ke Rp 15.260/US$ dan IHSG Anjlok 1,76%?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 October 2018 10:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi perekonomian global yang penuh ketidakpastian membuat pelaku pasar bermain aman. Pilihan paling masuk akal adalah masuk ke pasar obligasi, terutama obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS).
Saat ini, obligasi pemerintah AS boleh dibilang sebagai instrumen paling seksi di dunia. Semua orang menginginkannya, karena memang sangat menarik hati.
Penyebabnya adalah kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang agresif. Sepanjang tahun ini, The Fed kemungkinan besar menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. Ini menjadi yang terbanyak dalam setahun sejak fase pengetatan moneter dimulai pada 2015.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Sebab suku bunga acuan akan menentukan suku bunga pembiayaan, termasuk di perbankan dan surat utang.
Sejak awal tahun, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sudah melonjak 68,47 basis poin (bps). Potensi untuk terus naik masih terbuka karena The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan 75 bps sejak awal tahun, dan kemungkinan besar akan naik 25 bps lagi.
Obligasi pemerintah AS adalah instrumen yang aman, sangat aman, karena dijamin oleh anggaran negara. Sudah aman, sekarang instrumen ini memberi cuan yang lumayan. Siapa yang tidak tertarik?
Oleh karena itu, obligasi pemerintah AS adalah tujuan utama pelaku pasar apalagi ketika situasi dunia sedang penuh guncangan. Saat ini, awan kelabu memang tengah menyelimuti perekonomian dunia.
Sentimen negatif itu utamanya adalah dari dinamika friksi dagang AS vs China, yang kini semakin liar. Bahkan perang dagang terus melebar, kini bertransformasi menjadi perang investasi.
Mengutip Reuters, pemerintah AS akan memperketat aturan investasi asing di 27 sektor sensitif seperti teknologi dan telekomunikasi, pesawat terbang, aluminium, perangkat penyimpanan lunak, sampai peralatan militer. Meski tidak menyebut negara tertentu, kebijakan ini diduga untuk membatasi investasi asal China.
Perusahaan-perusahaan China, terutama yang terafiliasi dengan pemerintah, beberapa kali mencoba membeli perusahaan semikonduktor AS. Komite Investasi Asing di AS (CFIUS) memang beberapa kali bersikap galak terhadap China. Mereka beberapa kali memblokade upaya China untuk membeli perusahaan AS.
Misalnya pada Februari 2018, perusahaan semikonduktor Xcerra hampir dibeli perusahaan asal China yang terafiliasi dengan Sino IC Fund. Namun digagalkan oleh CFIUS. Kemudian pada September 2017, perusahaan semikonduktor Lattice juga gagal dibeli oleh perusahaan asal Negeri Tirai Bambu yang menawarkan dana segar US$ 1,3 miliar.
Langkah Washington ini bisa saja memicu balasan dari Beijing, investasi AS ke China akan diperketat. Bila ini terjadi, maka perekonomian dunia akan semakin terancam karena saling hambat sudah menjalar ke bidang penanaman modal di sektor riil. Ini tentu menjadi sebuah risiko besar yang tidak dikehendaki pelaku pasar.
Padahal Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia sudah mengingatkan bahwa pertikaian AS-China akan merugikan seluruh dunia. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
"Bea masuk AS yang dikenakan terhadap produk China akan mengganggu rantai pasok, terutama jika ada pembalasan. Kebijakan perdagangan dan ketidakpastian sudah berdampak kepada berbagai perusahaan," tegas Maurice Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, dalam pidatonya di Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali.
Jim Yong Kim, Presiden Bank Dunia, juga sangat mencemaskan perang dagang AS vs China. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi dunia pasti akan terpukul jika keduanya terus 'berbalas pantun' saling mengenakan bea masuk.
Melihat risiko besar yang mengganggu prospek pertumbuhan ekonomi dunia, investor pun mencari selamat masing-masing. Kini yang dituju investor adalah obligasi pemerintah AS.
Dini hari tadi waktu Indonesia, Wall Street sudah menjadi korban 'kebakaran'. Kini api menjalar ke mana-mana, bahkan menyeberang sampai ke Asia. Bursa saham Asia rontok di mana pada pukul 10:06 WIB indeks Nikkei 225 jatuh 3,89%, Hang Seng amblas 3,53%, Shanghai Composite ambrol 3,24%, Kospi terpangkas 3,25%, Straits Times anjlok 2,72%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 1,76%.
Tidak hanya pasar saham, mata uang Asia pun berguguran. Pada pukul 10:07 WIB, rupiah melemah sampai 0,4% terhadap dolar AS ke Rp 15.260/US$. Ini merupakan titik terlemah rupiah sepanjang sejarah. Sementara yuan China melemah 0,13%, won Korea Selatan melemah 0,02%, ringgit Malaysia melemah 0,14%, peso Filipina melemah 0,22%, baht Thailand melemah 0,03%, dan dolar Taiwan melemah 0,12.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Saat ini, obligasi pemerintah AS boleh dibilang sebagai instrumen paling seksi di dunia. Semua orang menginginkannya, karena memang sangat menarik hati.
Penyebabnya adalah kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang agresif. Sepanjang tahun ini, The Fed kemungkinan besar menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. Ini menjadi yang terbanyak dalam setahun sejak fase pengetatan moneter dimulai pada 2015.
Sejak awal tahun, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sudah melonjak 68,47 basis poin (bps). Potensi untuk terus naik masih terbuka karena The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan 75 bps sejak awal tahun, dan kemungkinan besar akan naik 25 bps lagi.
Obligasi pemerintah AS adalah instrumen yang aman, sangat aman, karena dijamin oleh anggaran negara. Sudah aman, sekarang instrumen ini memberi cuan yang lumayan. Siapa yang tidak tertarik?
Oleh karena itu, obligasi pemerintah AS adalah tujuan utama pelaku pasar apalagi ketika situasi dunia sedang penuh guncangan. Saat ini, awan kelabu memang tengah menyelimuti perekonomian dunia.
Sentimen negatif itu utamanya adalah dari dinamika friksi dagang AS vs China, yang kini semakin liar. Bahkan perang dagang terus melebar, kini bertransformasi menjadi perang investasi.
Mengutip Reuters, pemerintah AS akan memperketat aturan investasi asing di 27 sektor sensitif seperti teknologi dan telekomunikasi, pesawat terbang, aluminium, perangkat penyimpanan lunak, sampai peralatan militer. Meski tidak menyebut negara tertentu, kebijakan ini diduga untuk membatasi investasi asal China.
Perusahaan-perusahaan China, terutama yang terafiliasi dengan pemerintah, beberapa kali mencoba membeli perusahaan semikonduktor AS. Komite Investasi Asing di AS (CFIUS) memang beberapa kali bersikap galak terhadap China. Mereka beberapa kali memblokade upaya China untuk membeli perusahaan AS.
Misalnya pada Februari 2018, perusahaan semikonduktor Xcerra hampir dibeli perusahaan asal China yang terafiliasi dengan Sino IC Fund. Namun digagalkan oleh CFIUS. Kemudian pada September 2017, perusahaan semikonduktor Lattice juga gagal dibeli oleh perusahaan asal Negeri Tirai Bambu yang menawarkan dana segar US$ 1,3 miliar.
Langkah Washington ini bisa saja memicu balasan dari Beijing, investasi AS ke China akan diperketat. Bila ini terjadi, maka perekonomian dunia akan semakin terancam karena saling hambat sudah menjalar ke bidang penanaman modal di sektor riil. Ini tentu menjadi sebuah risiko besar yang tidak dikehendaki pelaku pasar.
Padahal Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia sudah mengingatkan bahwa pertikaian AS-China akan merugikan seluruh dunia. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
"Bea masuk AS yang dikenakan terhadap produk China akan mengganggu rantai pasok, terutama jika ada pembalasan. Kebijakan perdagangan dan ketidakpastian sudah berdampak kepada berbagai perusahaan," tegas Maurice Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, dalam pidatonya di Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali.
Jim Yong Kim, Presiden Bank Dunia, juga sangat mencemaskan perang dagang AS vs China. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi dunia pasti akan terpukul jika keduanya terus 'berbalas pantun' saling mengenakan bea masuk.
Melihat risiko besar yang mengganggu prospek pertumbuhan ekonomi dunia, investor pun mencari selamat masing-masing. Kini yang dituju investor adalah obligasi pemerintah AS.
Dini hari tadi waktu Indonesia, Wall Street sudah menjadi korban 'kebakaran'. Kini api menjalar ke mana-mana, bahkan menyeberang sampai ke Asia. Bursa saham Asia rontok di mana pada pukul 10:06 WIB indeks Nikkei 225 jatuh 3,89%, Hang Seng amblas 3,53%, Shanghai Composite ambrol 3,24%, Kospi terpangkas 3,25%, Straits Times anjlok 2,72%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 1,76%.
Tidak hanya pasar saham, mata uang Asia pun berguguran. Pada pukul 10:07 WIB, rupiah melemah sampai 0,4% terhadap dolar AS ke Rp 15.260/US$. Ini merupakan titik terlemah rupiah sepanjang sejarah. Sementara yuan China melemah 0,13%, won Korea Selatan melemah 0,02%, ringgit Malaysia melemah 0,14%, peso Filipina melemah 0,22%, baht Thailand melemah 0,03%, dan dolar Taiwan melemah 0,12.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular