Rupiah Menguat, Dolar AS Didorong ke Bawah Rp 15.200
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 October 2018 14:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) kembali tertekan. Investor sedikit mencemaskan potensi inflasi Negeri Paman Sam yang melambat, data yang bisa menjadi penghambat pemulihan ekonomi di sana.
Pada Rabu (10/10/2018) pukul 14:04 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,08%. Sejak dini hari tadi, Dollar Index belum merasakan zona hijau.
Ada beberapa alasan di balik koreksi dolar AS. Pertama, tren kenaikan imbal hasil (yield) obligasi terhenti. Pada 9 Oktober waktu setempat, pemerintah AS melelang sejumlah obligasi jangka pendek yang hasilnya cukup memuaskan.
Arus modal yang masuk ke pasar obligasi otomatis menaikkan harga obligasi sehingga yield bergerak turun. Yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam penentuan kupon di lelang selanjutnya.
Jadi ketika yield turun, ada kemungkinan kupon yang ditawarkan dalam lelang kurang menarik. Penawaran kupon yang kurang seksi bisa membuat investor urung masuk ke pasar obligasi pemerintah AS. Akibatnya permintaan greenback turun dan nilainya semakin murah alias melemah.
Faktor kedua adalah pada Kamis waktu setempat akan dirilis data inflasi AS periode September 2018. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi sebesar 2,4% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,7%.
Perkiraan ini menunjukkan laju permintaan di AS ternyata belum terlalu kencang, masih ada potensi perlambatan. Artinya, ada kemungkinan laju pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya tidak secepat yang diharapkan.
Pada akhirnya akan timbul pertanyaan. Apakah The Federal Reserve/The Fed masih tetap mempertahankan kebijakan moneter yang cenderung ketat? Apakah The Fed masih akan terus menaikkan suku bunga acuan? Apakah AS membutuhkan kenaikan suku bunga acuan karena permintaan masih belum pulih sepenuhnya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menghantui dolar AS. Pasalnya, kekuatan utama dolar AS adalah kenaikan suku bunga acuan. Dengan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS akan lebih menguntungkan karena imbalannya naik.
Dengan adanya potensi The Fed tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga (walau amat sangat kecil sekali), dolar AS seakan kehabisan bensin. Laju greenback pun melambat dan ini bisa dimanfaatkan berbagai mata uang Asia, termasuk rupiah.
Pada pukul 14:20 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 15.190 di perdagangan pasar spot. Rupiah mampu menguat 0,23% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Selain dolar AS yang mogok, faktor domestik juga ikut membantu menopang rupiah. Dalam acara Grand Launching CNBC Indonesia hari ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan pemerintah akan segera menerapkan kebijakan besar untuk menyelamatkan transaksi berjalan (current account) dan nilai tukar rupiah.
"Dalam 1-2 hari kita harakan pemerintah akan keluarkan kebijakan yang baik, mudah-mudahan sebelum ditutup IMF-World Bank Annual Meetings. Banyak yang menilai kita defisit anggaran, defisit CAD (Current Account Deficit). Tentu hal itu diperbaiki tak hanya dari sisi perdagangan dan membuat investasi yang baik lagi," kata Kalla.
Investor menantikan kebijakan ini dan berharap bisa lebih efektif. Sebab kebijakan sebelumnya seperti pewajiban pencampuran 20% bahan bakar nabati ke bahan bakar diesel (B20) belum terlalu 'nendang'. Begitu pula dengan kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk lebih dari 1.000 produk impor.
Optimisme itu membuat investor percaya dengan prospek rupiah. Ada harapan bagi rupiah, karena pemerintah siap dengan kebijakan yang all out.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Rabu (10/10/2018) pukul 14:04 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,08%. Sejak dini hari tadi, Dollar Index belum merasakan zona hijau.
Ada beberapa alasan di balik koreksi dolar AS. Pertama, tren kenaikan imbal hasil (yield) obligasi terhenti. Pada 9 Oktober waktu setempat, pemerintah AS melelang sejumlah obligasi jangka pendek yang hasilnya cukup memuaskan.
Jadi ketika yield turun, ada kemungkinan kupon yang ditawarkan dalam lelang kurang menarik. Penawaran kupon yang kurang seksi bisa membuat investor urung masuk ke pasar obligasi pemerintah AS. Akibatnya permintaan greenback turun dan nilainya semakin murah alias melemah.
Faktor kedua adalah pada Kamis waktu setempat akan dirilis data inflasi AS periode September 2018. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi sebesar 2,4% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,7%.
Perkiraan ini menunjukkan laju permintaan di AS ternyata belum terlalu kencang, masih ada potensi perlambatan. Artinya, ada kemungkinan laju pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya tidak secepat yang diharapkan.
Pada akhirnya akan timbul pertanyaan. Apakah The Federal Reserve/The Fed masih tetap mempertahankan kebijakan moneter yang cenderung ketat? Apakah The Fed masih akan terus menaikkan suku bunga acuan? Apakah AS membutuhkan kenaikan suku bunga acuan karena permintaan masih belum pulih sepenuhnya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menghantui dolar AS. Pasalnya, kekuatan utama dolar AS adalah kenaikan suku bunga acuan. Dengan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS akan lebih menguntungkan karena imbalannya naik.
Dengan adanya potensi The Fed tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga (walau amat sangat kecil sekali), dolar AS seakan kehabisan bensin. Laju greenback pun melambat dan ini bisa dimanfaatkan berbagai mata uang Asia, termasuk rupiah.
Pada pukul 14:20 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 15.190 di perdagangan pasar spot. Rupiah mampu menguat 0,23% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Selain dolar AS yang mogok, faktor domestik juga ikut membantu menopang rupiah. Dalam acara Grand Launching CNBC Indonesia hari ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan pemerintah akan segera menerapkan kebijakan besar untuk menyelamatkan transaksi berjalan (current account) dan nilai tukar rupiah.
"Dalam 1-2 hari kita harakan pemerintah akan keluarkan kebijakan yang baik, mudah-mudahan sebelum ditutup IMF-World Bank Annual Meetings. Banyak yang menilai kita defisit anggaran, defisit CAD (Current Account Deficit). Tentu hal itu diperbaiki tak hanya dari sisi perdagangan dan membuat investasi yang baik lagi," kata Kalla.
Investor menantikan kebijakan ini dan berharap bisa lebih efektif. Sebab kebijakan sebelumnya seperti pewajiban pencampuran 20% bahan bakar nabati ke bahan bakar diesel (B20) belum terlalu 'nendang'. Begitu pula dengan kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk lebih dari 1.000 produk impor.
Optimisme itu membuat investor percaya dengan prospek rupiah. Ada harapan bagi rupiah, karena pemerintah siap dengan kebijakan yang all out.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular