Dolar AS Kekurangan Bensin, Rupiah Terbaik Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 October 2018 12:37
Dolar AS Kekurangan Bensin, Rupiah Terbaik Kedua di Asia
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat hingga siang ini. Dolar AS yang sempat menunjukkan tanda kebangkitan kini kembali nyungsep. 

Pada Rabu (10/10/2018) pukul 12:10 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 15.200 di perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,16% dibandingkan perdagangan kemarin. 

Pergerakan rupiah sejak pembukaan pasar spot bak roller coaster. Dibuka menguat 0,3%, apresiasi rupiah perlahan tergerus. Bahkan dolar AS sempat menyamakan posisi, alias impas dibandingkan perdagangan hari sebelumnya. 


Namun jelang tengah hari, rupiah kembali melebarkan jarak. Dolar AS pun sudah di bibir jurang kisaran Rp 15.200. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini: 

 

Senada dengan rupiah, berbagai mata uang Asia pun mulai kembali menunjukkan perlawanan di hadapan greenback. Kini mayoritas mata uang Asia cenderung menguat terhadap dolar AS. 

Dengan penguatan 0,16%, rupiah jadi mata uang terbaik kedua di Benua Kuning. Posisi pertama ditempati baht Thailand. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 12:16 WIB: 

 

Dolar AS memang masih lesu. Pada pukul 12:17 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,06%. Pelemahan ini terjadi sejak dini hari dan belum membaik. 

Padahal dolar AS sempat hampir bangkit seiring pernyataan John Williams, Presiden The Federal Rerserve/The Fed New York. Di sela-sela di Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia di Bali, Williams menyebutkan bahwa perekonomian AS terus menguat.

Angka pengangguran Negeri Paman Sam terus turun hingga ke 3,7% pada September 2018, terendah sejak 1969. Inflasi juga sudah mencapai target di kisaran 2%.  

"Pertumbuhan ekonomi AS akan sekitar 3% pada tahun ini dan 2,5% pada 2019. Saya memperkirakan angka pengangguran akan turun ke 3,5% pada tahun depan, terendah dalam hampir 50 tahun. inflasi juga akan naik sedikit ke atas 2%," papar Williams. 

Oleh karena itu, lanjut Williams, The Fed akan tetap pada mode menaikkan suku bunga acuan secara gradual. Menurutnya, posisi (stance) kebijakan suku bunga di AS sudah mengarah ke netral. Artinya suku bunga bukan lagi instrumen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

"Ke depan, saya tetap memperkirakan kenaikan suku bunga secara bertahap akan dilakukan. Ini akan mengarahkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih berkelanjutan," sebutnya. 

Pernyataan Williams menjadi modal penguatan dolar AS. Sebab jika The Fed masih terus menaikkan suku bunga, maka imbalan investasi di AS (terutama untuk instrumen berpendapatan tetap) bakal tetap menanjak. AS masih akan menjadi tempat investasi yang menarik, arus modal berkumpul di sana. 

Namun sentimen ini ternyata tidak cukup kuat untuk mendongrak dolar AS. Dolar AS kekurangan tenaga untuk melompat seiring koreksi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah.  

Setelah lelang pada 9 Oktober waktu setempat, harga obligasi pemerintah Negeri Paman Sam naik seiring masuknya arus modal. Kenaikan harga kemudian menekan yield, sehingga instrumen ini menjadi kurang menarik. 

Kala yield turun, maka kemungkinan kupon dalam lelang obligasi berikutnya, yaitu 10 Oktober waktu setempat, tidak terlalu menarik. Akibatnya permintaan greenback masih belum membludak karena investor kurang melirik obligasi pemerintah AS.  

Rupiah dan mayoritas mata uang Asia berhasil memanfaatkan dolar AS yang seolah kekurangan bensin. Diharapkan penguatan ini bertahan hingga penutupan, sehingga rupiah bisa mengakhiri tren pelemahan yang terjadi dalam 7 hari perdagangan terakhir.   



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular