Rupiah di Atas Angin, Tapi Tidak Boleh Lengah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 October 2018 08:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada perdagangan pagi ini. Rupiah mampu memanfaatkan posisi dolar AS yang sedang dalam masa konsolidasi.
Pada Rabu (10/10/2018), US$ 1 sama dengan Rp 15.180 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,3% dibandingkan perdagangan hari sebelumnya.
Namun seiring perjalanan, penguatan rupiah agak tergerus. Pada pukul 08:25 WIB, US$ 1 berada di Rp 15.195 di mana penguatan rupiah tinggal 0,2%.
Kemarin, rupiah ditutup melemah 0,07%. Mata uang Tanah Air sudah melemah selama 7 hari perdagangan terakhir. Jika penguatan ini bertahan hingga penutupan pasar, maka akan menjadi oasis yang menyegarkan bagi rupiah.
Mata uang Asia bergerak variatif cenderung menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata uang yang mampu menguat adalah yuan China, won Korea Selatan, ringgit Malaysia, dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Benua Kuning pada pukul 08:11 WIB:
Setelah lebih dari 2 pekan menguat, dolar AS mengambil nafas sejenak. Pada pukul 08:15 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama) melemah 0,11%. Dengan pelemahan ini, Dollar Index sudah turun 0,2% dalam sepekan terakhir.
Koreksi dolar AS sejalan dengan penurunan imbal hasil (yield) obligasi AS. Yield yang turun menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Ini menjadi wajar karena pemerintah AS baru menyelesaikan lelang sejumlah obligasi jangka pendek. Hasil lelang ini sesuai dengan target indikatif.
Untuk tenor 4 pekan jumlah yang dimenangkan adalah US$ 40 miliar atau sesuai target. Tenor 13 tahun juga sesuai target indikatif yang sebesar US$ 48 miliar.
Sementara untuk tenor 26 pekan, jumlah yang dimenangkan juga sama dengan target yaitu US$ 42 miliar. Sedangkan untuk tenor 52 pekan pun sejalan dengan target sebesar US$ 26 miliar.
Arus modal yang masuk ke pasar obligasi menaikkan harga dan menurunkan yield. Ketika yield turun, maka instrumen ini menjadi kurang menarik karena ada kemungkinan penawaran kupon dalam lelang selanjutnya akan turun. Permintaan terhadap obligasi pun turun, begitu juga permintaan terhadap dolar AS yang digunakan untuk membelinya.
Namun, investor tetap perlu waspada karena pada 10 Oktober waktu setempat pemerintahan Presiden Donald Trump akan kembali melelang obligasi dengan tenor 3 dan 10 tahun. Biasanya saat menjelang lelang investor akan melepas obligasi agar harganya turun sehingga yield bergerak ke atas. Kenaikan yield akan membuat penawaran kupon berpotensi naik sehingga menarik minat investor. Membludaknya permintaan obligasi akan ikut mengerek permintaan dolar AS.
Saat permintaan greenback naik, maka hasilnya jelas yaitu nilainya akan menguat. Oleh karena itu, dolar AS masih menyimpan senjata untuk menguat. Rupiah saat ini masih di atas angin, tetapi harus hati-hati karena dolar AS bisa kapan saja menipiskan jarak dan mungkin menyalip.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Rabu (10/10/2018), US$ 1 sama dengan Rp 15.180 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,3% dibandingkan perdagangan hari sebelumnya.
Namun seiring perjalanan, penguatan rupiah agak tergerus. Pada pukul 08:25 WIB, US$ 1 berada di Rp 15.195 di mana penguatan rupiah tinggal 0,2%.
Mata uang Asia bergerak variatif cenderung menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata uang yang mampu menguat adalah yuan China, won Korea Selatan, ringgit Malaysia, dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Benua Kuning pada pukul 08:11 WIB:
Setelah lebih dari 2 pekan menguat, dolar AS mengambil nafas sejenak. Pada pukul 08:15 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama) melemah 0,11%. Dengan pelemahan ini, Dollar Index sudah turun 0,2% dalam sepekan terakhir.
Koreksi dolar AS sejalan dengan penurunan imbal hasil (yield) obligasi AS. Yield yang turun menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Ini menjadi wajar karena pemerintah AS baru menyelesaikan lelang sejumlah obligasi jangka pendek. Hasil lelang ini sesuai dengan target indikatif.
Untuk tenor 4 pekan jumlah yang dimenangkan adalah US$ 40 miliar atau sesuai target. Tenor 13 tahun juga sesuai target indikatif yang sebesar US$ 48 miliar.
Sementara untuk tenor 26 pekan, jumlah yang dimenangkan juga sama dengan target yaitu US$ 42 miliar. Sedangkan untuk tenor 52 pekan pun sejalan dengan target sebesar US$ 26 miliar.
Arus modal yang masuk ke pasar obligasi menaikkan harga dan menurunkan yield. Ketika yield turun, maka instrumen ini menjadi kurang menarik karena ada kemungkinan penawaran kupon dalam lelang selanjutnya akan turun. Permintaan terhadap obligasi pun turun, begitu juga permintaan terhadap dolar AS yang digunakan untuk membelinya.
Namun, investor tetap perlu waspada karena pada 10 Oktober waktu setempat pemerintahan Presiden Donald Trump akan kembali melelang obligasi dengan tenor 3 dan 10 tahun. Biasanya saat menjelang lelang investor akan melepas obligasi agar harganya turun sehingga yield bergerak ke atas. Kenaikan yield akan membuat penawaran kupon berpotensi naik sehingga menarik minat investor. Membludaknya permintaan obligasi akan ikut mengerek permintaan dolar AS.
Saat permintaan greenback naik, maka hasilnya jelas yaitu nilainya akan menguat. Oleh karena itu, dolar AS masih menyimpan senjata untuk menguat. Rupiah saat ini masih di atas angin, tetapi harus hati-hati karena dolar AS bisa kapan saja menipiskan jarak dan mungkin menyalip.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular