Grand Launching-CNBC Research
Problem Menahun yang Terabaikan di Obligasi
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
09 October 2018 19:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia boleh saja memperingati 20 tahun reformasi. Namun untuk urusan ketahanan finansial, dalam kaitannya dengan keseimbangan arus investasi masuk dan keluar (neraca pembayaran), masih ada warisan orde baru yang bikin situasi runyam.
Pada tahun 1992, Presiden Suharto meneken perjanjian pajak dengan Singapura yang memungkinkan investor (badan usaha maupun warga negara) negara tetangga itu untuk mendapatkan pembebasan pajak penghasilan (pph) dari keuntungan investasi dari surat utang pemerintah Indonesia.
Berdasarkan perjanjian pajak (tax treaty) dengan Singapura, investor yang berbasis di sana dimungkinkan untuk berinvestasi di obligasi pemerintah (surat utang negara/SUN) dengan pajak sebesar 0% untuk bunga obligasi.
Ketentuan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor SE-09/PJ.34/1992 tentang Pemberitahuan Berlakunya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Pppb) RI-Singapura.
Padahal, warga negara Indonesia (WNI) yang membeli obligasi nasional terkena pajak sebesar 15%. Untuk warga negara asing lainnya, pajaknya mencapai 20%, kecuali bagi investor asal Inggris dan AS yang masing-masing masih terkena pajak 10%.
Tanpa disadari, perjanjian pajak tersebut menciptakan celah "bocornya" neraca pembayaran Indonesia karena crazy rich Indonesians pun akan cenderung memilih membeli surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan Kemenkeu lewat fund manager atau manajer investasi berbasis di Singapura.
Dengan begitu mereka akan terhindar dari pajak, meski tercatat sebagai "investor asing" dalam daftar pemilik SBN. Namun, persoalan sebenarnya bukan di situ, melainkan ketika mereka merealisasikan keuntungan dari SBN negeri ini.
Keuntungan yang mereka dapatkan tersebut tidak serta-merta dibawa kembali ke Indonesia dan kemungkinan besar memang tidak kembali ke Tanah Air. Mereka akan memilih menyimpannya di negara tetangga itu sebagai aset investasi berbasis mata uang dolar Singapura maupun dolar AS.
Hal serupa tentunya juga diambil oleh investor asing non-Singapura. Daripada terkena pajak Pph 20%, mereka bakal memilih menaruh dananya di fund manager Singapura yang mewakili mereka untuk membeli SBN. Tak terkecuali, investor Inggris dan AS yang ingin terhindar dari biaya investasi besar.
Mengapa investor Indonesia melakukan itu? Apakah karena kurang nasionalis? Ayolah.. Dalam dunia investasi, nasionalisme yang dipegang oleh para investor pada umumnya hanyalah satu, yakni: menggapai keuntungan maksimal, dengan biaya paling minimal.
Selama aturan itu tidak direvisi, maka praktik serupa masih akan berlangsung dan membuat kekayaan warga negara Indonesia mengalir ke Singapura sebagai aset investasi, dan dalam skala tertentu memiliki andil terhadap lemahnya nilai tukar rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Hore! PPh Bunga Obligasi Diturunkan, Kini Jadi 10%
Pada tahun 1992, Presiden Suharto meneken perjanjian pajak dengan Singapura yang memungkinkan investor (badan usaha maupun warga negara) negara tetangga itu untuk mendapatkan pembebasan pajak penghasilan (pph) dari keuntungan investasi dari surat utang pemerintah Indonesia.
Berdasarkan perjanjian pajak (tax treaty) dengan Singapura, investor yang berbasis di sana dimungkinkan untuk berinvestasi di obligasi pemerintah (surat utang negara/SUN) dengan pajak sebesar 0% untuk bunga obligasi.
Padahal, warga negara Indonesia (WNI) yang membeli obligasi nasional terkena pajak sebesar 15%. Untuk warga negara asing lainnya, pajaknya mencapai 20%, kecuali bagi investor asal Inggris dan AS yang masing-masing masih terkena pajak 10%.
![]() |
Tanpa disadari, perjanjian pajak tersebut menciptakan celah "bocornya" neraca pembayaran Indonesia karena crazy rich Indonesians pun akan cenderung memilih membeli surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan Kemenkeu lewat fund manager atau manajer investasi berbasis di Singapura.
Dengan begitu mereka akan terhindar dari pajak, meski tercatat sebagai "investor asing" dalam daftar pemilik SBN. Namun, persoalan sebenarnya bukan di situ, melainkan ketika mereka merealisasikan keuntungan dari SBN negeri ini.
Keuntungan yang mereka dapatkan tersebut tidak serta-merta dibawa kembali ke Indonesia dan kemungkinan besar memang tidak kembali ke Tanah Air. Mereka akan memilih menyimpannya di negara tetangga itu sebagai aset investasi berbasis mata uang dolar Singapura maupun dolar AS.
Hal serupa tentunya juga diambil oleh investor asing non-Singapura. Daripada terkena pajak Pph 20%, mereka bakal memilih menaruh dananya di fund manager Singapura yang mewakili mereka untuk membeli SBN. Tak terkecuali, investor Inggris dan AS yang ingin terhindar dari biaya investasi besar.
Mengapa investor Indonesia melakukan itu? Apakah karena kurang nasionalis? Ayolah.. Dalam dunia investasi, nasionalisme yang dipegang oleh para investor pada umumnya hanyalah satu, yakni: menggapai keuntungan maksimal, dengan biaya paling minimal.
Selama aturan itu tidak direvisi, maka praktik serupa masih akan berlangsung dan membuat kekayaan warga negara Indonesia mengalir ke Singapura sebagai aset investasi, dan dalam skala tertentu memiliki andil terhadap lemahnya nilai tukar rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Hore! PPh Bunga Obligasi Diturunkan, Kini Jadi 10%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular