China dan Italia Bikin Rupiah Merana
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 October 2018 14:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah. Ketidakpastian global hari ini mendorong pelaku pasar untuk tetap mengoleksi dolar AS.
Pada Senin (8/10/2018) pukul 13:47 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 15.245 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,46% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun tidak berdaya di hadapan dolar AS. Namun pelemahan rupiah (dan yuan China) menjadi yang terdalam kedua di antara mata uang Benua Kuning. Kini status mata uang dengan koreksi terdalam adalah baht Thailand.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 13:52 WIB:
Laju dolar AS masih tak terbendung. Pada pukul 13:55 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang Asia) menguat 0,18%.
Setidaknya ada dua faktor yang melapangkan jalan dolar AS. Pertama, Bank Sentral China (PBoC) menurunkan Giro Wajib Minimum sebesar 100 basis poin sebagai stimulus bagi perekonomian domestik.
Dengan kebijakan ini, diperkirakan menambah likuiditas perbankan sebesar CNY 750 miliar dan ketika berputar di sistem perekonomian nilainya bertambah menjadi CNY 1,2 triliun. Likuiditas yuan yang membanjir membuat mata uang ini melemah dan memuluskan jalan bagi dolar AS untuk melaju.
Kedua adalah perkembangan di Italia. Kisruh politik anggaran di Negeri Menara Pisa ternyata belum selesai.
Pemerintahan Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte merencanakan anggaran 2019 dengan defisit 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yaitu 1,6% PDB.
Uni Eropa tidak sepakat dengan Italia. Melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Ekonomi Italia Giovanni Tria, Komisi Uni Eropa meminta pemerintah Negeri Pizza untuk menurunkan defisit anggaran 2019 menjadi 1,4% PDB.
"Defisit anggaran yang direncanakan pemerintah Italia melanggar kesepakatan yang direkomendasikan oleh Uni Eropa. Ini bisa menjadi sumber kekhawatiran. Kami meminta otoritas untuk memastikan rencana anggaran sesuai dengan aturan fiskal yang diterima secara umum," tulis surat tersebut, seperti dikutip Reuters.
Namun Italia membangkang. Luigi Di Maio, Wakil Perdana Menteri Italia, berkeras untuk tetap menerapkan defisit 2,4% PDB karena pemerintah ingin memberikan subsidi yang lebih besar kepada rakyat miskin dan para pensiunan.
"Kami tidak akan berbalik arah, karena kami melihat rencana ini tidak mengkhawatirkan bagi pasar. Tidak ada rencana B, karena kami tidak akan mundur. Kami bisa menjelaskan kebijakan ini, tetapi kami tidak akan mundur," tegas Di Maio, mengutip Reuters.
Lagi-lagi perkembangan ini memicu perburuan dolar AS karena investor memilih mencari aman dan menghindari aset-aset berisiko. Greenback semakin punya alasan untuk terus menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (8/10/2018) pukul 13:47 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 15.245 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,46% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun tidak berdaya di hadapan dolar AS. Namun pelemahan rupiah (dan yuan China) menjadi yang terdalam kedua di antara mata uang Benua Kuning. Kini status mata uang dengan koreksi terdalam adalah baht Thailand.
Laju dolar AS masih tak terbendung. Pada pukul 13:55 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang Asia) menguat 0,18%.
Setidaknya ada dua faktor yang melapangkan jalan dolar AS. Pertama, Bank Sentral China (PBoC) menurunkan Giro Wajib Minimum sebesar 100 basis poin sebagai stimulus bagi perekonomian domestik.
Dengan kebijakan ini, diperkirakan menambah likuiditas perbankan sebesar CNY 750 miliar dan ketika berputar di sistem perekonomian nilainya bertambah menjadi CNY 1,2 triliun. Likuiditas yuan yang membanjir membuat mata uang ini melemah dan memuluskan jalan bagi dolar AS untuk melaju.
Kedua adalah perkembangan di Italia. Kisruh politik anggaran di Negeri Menara Pisa ternyata belum selesai.
Pemerintahan Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte merencanakan anggaran 2019 dengan defisit 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yaitu 1,6% PDB.
Uni Eropa tidak sepakat dengan Italia. Melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Ekonomi Italia Giovanni Tria, Komisi Uni Eropa meminta pemerintah Negeri Pizza untuk menurunkan defisit anggaran 2019 menjadi 1,4% PDB.
"Defisit anggaran yang direncanakan pemerintah Italia melanggar kesepakatan yang direkomendasikan oleh Uni Eropa. Ini bisa menjadi sumber kekhawatiran. Kami meminta otoritas untuk memastikan rencana anggaran sesuai dengan aturan fiskal yang diterima secara umum," tulis surat tersebut, seperti dikutip Reuters.
Namun Italia membangkang. Luigi Di Maio, Wakil Perdana Menteri Italia, berkeras untuk tetap menerapkan defisit 2,4% PDB karena pemerintah ingin memberikan subsidi yang lebih besar kepada rakyat miskin dan para pensiunan.
"Kami tidak akan berbalik arah, karena kami melihat rencana ini tidak mengkhawatirkan bagi pasar. Tidak ada rencana B, karena kami tidak akan mundur. Kami bisa menjelaskan kebijakan ini, tetapi kami tidak akan mundur," tegas Di Maio, mengutip Reuters.
Lagi-lagi perkembangan ini memicu perburuan dolar AS karena investor memilih mencari aman dan menghindari aset-aset berisiko. Greenback semakin punya alasan untuk terus menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular