
Asing Kembali Lepas Saham Rp 1,1 T, IHSG Terhempas 0,43%
Yazid Muamar, CNBC Indonesia
05 October 2018 16:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang hari bergerak di zona merah, akhirnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,43% ke level 5.731. Senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang diperdagangkan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,39%, indeks Hang Seng turun 0,19%, indeks Strait Times turun 0,75%, dan indeks Kospi turun 0,31%.
Nilai transaksi akhir pekan ini Jumat (5/10/2018) tercatat sebesar Rp 7,1 triliun dengan volume sebanyak 14,4 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 340.301 kali.
Secara total, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,12 triliun pada perdagangan hari ini. Saham-saham paling banyak dilepas asing: PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 2,33%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 0,67%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 0,36%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 0,8%.
Pelemahan rupiah yang tak kunjung berhenti membuat investor begitu gencar melepas saham-saham di tanah air. Hingga akhir perdagangan, rupiah melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 15.175/dolar AS.
Greenback sejatinya memang sedang berada dalam posisi yang kuat, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang naik sebesar 0,12% ke level 95.86. Penguatan dolar AS dipicu oleh positifnya rilis data ekonomi di Negeri Paman Sam. Pelemahan rupiah yang begitu signifikan hingga menembus level psikologis Rp 15.175/dolar AS memantik kekhawatiran mengenai naiknya rasio kredit bermasalah/non-performing loan (NPL).
Selain itu, pelemahan rupiah yang terus terjadi sangat mungkin memaksa Bank Indonesia (BI) untuk kembali menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut tentu akan kian mendorong bank-bank di tanah air untuk menaikkan suku bunga simpanan yang pada akhirnya akan berujung kepada kenaikan suku bunga pinjaman. Padahal, penyaluran kredit bisa dibilang baru saja mulai menggeliat.
Mengutip Reuters, penyaluran kredit bank komersial di Indonesia hanya tumbuh di kisaran satu-digit pada 4 bulan pertama tahun ini. Barulah pada periode Mei-Agustus, pertumbuhannya mencapai level dua-digit. Per Agustus 2018, pertumbuhannya adalah sebesar 12,12% YoY.
Perekonomian Amerika sedang menggeliat, kemarin Rabu (3/10/2018), angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode September versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan sebesar 230.000, mengalahkan konsensus yang sebesar 185.000 saja. Kemudian, ISM Non-Manufacturing PMI periode September diumumkan di level 61,6, juga mengalahkan konsensus yang sebesar 58.
Positifnya data tersebut tak hanya mengonfirmasi bahwa perekonomian AS sedang melaju kencang, namun juga mengindikasikan bahwa perang dagang yang tengah bergejolak dengan China beum memberi dampak signifikan.
Pada akhirnya, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini oleh the Federal Reserve terus bisa dipertahankan di level yang tinggi. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 3 Oktober 2018, kemungkinan bahwa the Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini adalah sebesar 78,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan posisi 1 bulan sebelumnya yang sebesar 70,1%.
Terlebih, Gubernur The Fed Jerome Powell kembali melontarkan pernyataan yang hawkish. Powell mengungkapkan bahwa the Fed tak lagi memerlukan kebijakan-kebijakan yang dulu digunakan untuk mengangkat perekonomian AS dari jurang krisis. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa tingkat suku bunga acuan secara bertahap akan dinaikkan menuju level netral.
"Suku bunga masih akomodatif, namun kami secara bertahap menuju tingkat yang netral," papar Powell kemarin, seperti dikutip dari CNBC International.
Namun, pelemahan rupiah bukan sepenuhnya merupakan dampak dari sentimen eksternal. Tingginya harga minyak mentah dunia memantik kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) Indonesia akan kian sulit diredam. Kini, harga minyak WTI bertengger di level US$ 74/barel. Sementara itu, harga minyak brent berada di level US$ 84/barel.
Memang, defisit perdagangan migas menjadi sumber melebarnya defisit neraca dagang Indonesia yang pada akhirnya membebani CAD. Secara kumulatif dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$ 8,35 miliar, melambung 54,6% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 5,40 miliar.
Sebagai informasi, CAD Indonesia pada kuartal-II 2018 menembus level 3% dari PDB, yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I 2018, defisitnya hanya sebesar 2,21% dari PDB. Capaian ini terbilang cukup bersejarah. Pasalnya, kali terakhir CAD menyentuh level 3% dari PDB adalah pada kuartal-III 2014 silam.
Lebih lanjut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengonfirmasi bahwa CAD akan menyentuh level 3% dari PDB pada tahun ini.
"Ini yang terjadi di 2018, growth continue strong, tapi impor makin tajam. CAD dalam. Sampai akhir tahun 3% dari PDB," imbuh Menkeu.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
(yam/hps) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Nilai transaksi akhir pekan ini Jumat (5/10/2018) tercatat sebesar Rp 7,1 triliun dengan volume sebanyak 14,4 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 340.301 kali.
Secara total, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,12 triliun pada perdagangan hari ini. Saham-saham paling banyak dilepas asing: PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 2,33%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 0,67%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 0,36%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 0,8%.
Greenback sejatinya memang sedang berada dalam posisi yang kuat, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang naik sebesar 0,12% ke level 95.86. Penguatan dolar AS dipicu oleh positifnya rilis data ekonomi di Negeri Paman Sam. Pelemahan rupiah yang begitu signifikan hingga menembus level psikologis Rp 15.175/dolar AS memantik kekhawatiran mengenai naiknya rasio kredit bermasalah/non-performing loan (NPL).
Selain itu, pelemahan rupiah yang terus terjadi sangat mungkin memaksa Bank Indonesia (BI) untuk kembali menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut tentu akan kian mendorong bank-bank di tanah air untuk menaikkan suku bunga simpanan yang pada akhirnya akan berujung kepada kenaikan suku bunga pinjaman. Padahal, penyaluran kredit bisa dibilang baru saja mulai menggeliat.
Mengutip Reuters, penyaluran kredit bank komersial di Indonesia hanya tumbuh di kisaran satu-digit pada 4 bulan pertama tahun ini. Barulah pada periode Mei-Agustus, pertumbuhannya mencapai level dua-digit. Per Agustus 2018, pertumbuhannya adalah sebesar 12,12% YoY.
Perekonomian Amerika sedang menggeliat, kemarin Rabu (3/10/2018), angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode September versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan sebesar 230.000, mengalahkan konsensus yang sebesar 185.000 saja. Kemudian, ISM Non-Manufacturing PMI periode September diumumkan di level 61,6, juga mengalahkan konsensus yang sebesar 58.
Positifnya data tersebut tak hanya mengonfirmasi bahwa perekonomian AS sedang melaju kencang, namun juga mengindikasikan bahwa perang dagang yang tengah bergejolak dengan China beum memberi dampak signifikan.
Pada akhirnya, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini oleh the Federal Reserve terus bisa dipertahankan di level yang tinggi. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 3 Oktober 2018, kemungkinan bahwa the Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini adalah sebesar 78,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan posisi 1 bulan sebelumnya yang sebesar 70,1%.
Terlebih, Gubernur The Fed Jerome Powell kembali melontarkan pernyataan yang hawkish. Powell mengungkapkan bahwa the Fed tak lagi memerlukan kebijakan-kebijakan yang dulu digunakan untuk mengangkat perekonomian AS dari jurang krisis. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa tingkat suku bunga acuan secara bertahap akan dinaikkan menuju level netral.
"Suku bunga masih akomodatif, namun kami secara bertahap menuju tingkat yang netral," papar Powell kemarin, seperti dikutip dari CNBC International.
Namun, pelemahan rupiah bukan sepenuhnya merupakan dampak dari sentimen eksternal. Tingginya harga minyak mentah dunia memantik kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) Indonesia akan kian sulit diredam. Kini, harga minyak WTI bertengger di level US$ 74/barel. Sementara itu, harga minyak brent berada di level US$ 84/barel.
Memang, defisit perdagangan migas menjadi sumber melebarnya defisit neraca dagang Indonesia yang pada akhirnya membebani CAD. Secara kumulatif dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$ 8,35 miliar, melambung 54,6% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 5,40 miliar.
Sebagai informasi, CAD Indonesia pada kuartal-II 2018 menembus level 3% dari PDB, yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I 2018, defisitnya hanya sebesar 2,21% dari PDB. Capaian ini terbilang cukup bersejarah. Pasalnya, kali terakhir CAD menyentuh level 3% dari PDB adalah pada kuartal-III 2014 silam.
Lebih lanjut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengonfirmasi bahwa CAD akan menyentuh level 3% dari PDB pada tahun ini.
"Ini yang terjadi di 2018, growth continue strong, tapi impor makin tajam. CAD dalam. Sampai akhir tahun 3% dari PDB," imbuh Menkeu.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
(yam/hps) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Most Popular