Mata Uang Asia Perkasa, Rupiah Masih Merana
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 October 2018 11:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan kembali melemah. Sudah 4 hari terakhir rupiah terus mencetak rekor baru terlemah di kurs acuan.
Pada Jumat (5/10/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 15.182. Rupiah melemah 0,32% dibandingkan perdagangan sebelumnya.
Sudah empat hari terakhir rupiah melemah di kurs acuan. Dalam hari itu pula rupiah terus memecahkan rekor demi rekor terlemah sejak Jisdor diperkenalkan pada 20 Mei 2013.
Di pasar spot, rupiah juga masih melemah. Pada pukul 10:47 WIB, US$ 1 dihargai Rp 15.813 di mana rupiah melemah 0,12%.
Pergerakan rupiah agak fluktuatif. Kala pembukaan pasar, rupiah melemah 0,09%. Pelemahan rupiah sempat semakin dalam, tetapi kemudian berbalik arah dan bahkan sempat menguat.
Namun penguatan rupiah tidak bertahan lama. Akhirnya dolar AS kembali ke jalur hijau meninggalkan rupiah merasakan dinginnya zona depresiasi.
Sementara mata uang Asia sudah cenderung menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata uang lain yang masih melemah adalah dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan.
Dengan depresiasi 0,12%, rupia jadi mata uang terlemah kedua di Asia. Rupiah hanya lebih baik dibandingkan baht Thailand.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada 10:49 WIB:
Setelah lebih dari sepekan perkasa, dolar AS mulai melambat. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) pada pukul 10:55 WIB memang masih menguat, tetapi hanya 0,07%. Kemarin, indeks ini sempat menguat sampai ke kisaran 0,5%.
Penguatan dolar AS yang mulai terbatas lebih disebabkan oleh perilaku ambil untung. Maklum, Dollar Index sudah menguat 1,89% dalam 3 bulan terakhir dan bahkan 6,33% selama 6 bulan ini. Wajar bila pelaku pasar sedikit mengambil nafas, karena dolar AS sudah berlari terlalu kencang.
Selain itu, investor juga menantikan rilis data angka pengangguran AS periode September yang akan dirilis malam ini waktu Indonesia. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pengangguran berada di 3,8%, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,9%.
Saat ini pelaku pasar boleh jadi masih wait and see. Namun begitu angka pengangguran benar-benar turun sesuai perkiraan, maka arus modal akan kembali membanjiri dolar AS sehingga mata uang ini sangat berpotensi kembali melaju kencang.
Sebagian besar mata uang utama Asia mampu memanfaatkan situasi dolar AS yang rehat sejenak ini. Namun rupiah masih terjebak di zona merah, kemungkinan disebabkan sentimen domestik.
Pada kuartal III-2018, kemungkinan besar defisit transaksi berjalan tetap cukup dalam seperti kuartal sebelumnya yang mencapai 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pasalnya, defisit neraca perdagangan pada Juli dan Agustus lumayan dalam yaitu masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 1,02 miliar.
Pada September, defisit neraca perdagangan kemungkinan besar karena tingginya harga minyak dunia. Sepanjang September, harga minyak jenis brent melonjak 8,74% secara point-to-point. Ini tentu memberatkan neraca perdagangan Indonesia, negara yang berstatus sebagai net importir minyak.
Neraca perdagangan yang defisit akan mempengaruhi transaksi berjalan. Hasilnya, rupiah berpotensi tertekan karena minimnya sokongan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Faktor ini yang membuat investor cemas, sehingga rupiah masih sulit untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Jumat (5/10/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 15.182. Rupiah melemah 0,32% dibandingkan perdagangan sebelumnya.
Sudah empat hari terakhir rupiah melemah di kurs acuan. Dalam hari itu pula rupiah terus memecahkan rekor demi rekor terlemah sejak Jisdor diperkenalkan pada 20 Mei 2013.
Di pasar spot, rupiah juga masih melemah. Pada pukul 10:47 WIB, US$ 1 dihargai Rp 15.813 di mana rupiah melemah 0,12%.
Pergerakan rupiah agak fluktuatif. Kala pembukaan pasar, rupiah melemah 0,09%. Pelemahan rupiah sempat semakin dalam, tetapi kemudian berbalik arah dan bahkan sempat menguat.
Namun penguatan rupiah tidak bertahan lama. Akhirnya dolar AS kembali ke jalur hijau meninggalkan rupiah merasakan dinginnya zona depresiasi.
Sementara mata uang Asia sudah cenderung menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata uang lain yang masih melemah adalah dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan.
Dengan depresiasi 0,12%, rupia jadi mata uang terlemah kedua di Asia. Rupiah hanya lebih baik dibandingkan baht Thailand.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada 10:49 WIB:
Setelah lebih dari sepekan perkasa, dolar AS mulai melambat. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) pada pukul 10:55 WIB memang masih menguat, tetapi hanya 0,07%. Kemarin, indeks ini sempat menguat sampai ke kisaran 0,5%.
Penguatan dolar AS yang mulai terbatas lebih disebabkan oleh perilaku ambil untung. Maklum, Dollar Index sudah menguat 1,89% dalam 3 bulan terakhir dan bahkan 6,33% selama 6 bulan ini. Wajar bila pelaku pasar sedikit mengambil nafas, karena dolar AS sudah berlari terlalu kencang.
Selain itu, investor juga menantikan rilis data angka pengangguran AS periode September yang akan dirilis malam ini waktu Indonesia. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pengangguran berada di 3,8%, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,9%.
Saat ini pelaku pasar boleh jadi masih wait and see. Namun begitu angka pengangguran benar-benar turun sesuai perkiraan, maka arus modal akan kembali membanjiri dolar AS sehingga mata uang ini sangat berpotensi kembali melaju kencang.
Sebagian besar mata uang utama Asia mampu memanfaatkan situasi dolar AS yang rehat sejenak ini. Namun rupiah masih terjebak di zona merah, kemungkinan disebabkan sentimen domestik.
Pada kuartal III-2018, kemungkinan besar defisit transaksi berjalan tetap cukup dalam seperti kuartal sebelumnya yang mencapai 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pasalnya, defisit neraca perdagangan pada Juli dan Agustus lumayan dalam yaitu masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 1,02 miliar.
Pada September, defisit neraca perdagangan kemungkinan besar karena tingginya harga minyak dunia. Sepanjang September, harga minyak jenis brent melonjak 8,74% secara point-to-point. Ini tentu memberatkan neraca perdagangan Indonesia, negara yang berstatus sebagai net importir minyak.
Neraca perdagangan yang defisit akan mempengaruhi transaksi berjalan. Hasilnya, rupiah berpotensi tertekan karena minimnya sokongan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Faktor ini yang membuat investor cemas, sehingga rupiah masih sulit untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular