Dibayangi Pelemahan Rupiah, IHSG Masih Bisa Menghijau

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 October 2018 09:46
Dibuka melemah 0,08%, IHSG dengan cepat berbalik ke zona hijau.
Foto: Perusahaan ke 600 yang melantai di BEI (CNBC Indonesia/Fitriyah Said)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka melemah 0,08%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan cepat berbalik ke zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, IHSG menguat 0,44% ke level 5.901,47.

Koreksi pada perdagangan kemarin (2/10/2018) yang mencapai 1,16% membuka ruang bagi investor untuk melakukan aksi beli. Namun, sejatinya penguatan IHSG pada hari ini dibayangi oleh rupiah yang kembali melemah.

Pada pagi ini, rupiah melemah 0,3% di pasar spot ke level Rp 15.085/dolar AS. Price-in yang terus dilakukan pelaku pasar terkait dengan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini oleh the Federal Reserve membuat dolar AS perkasa.

Dalam pidatonya di Boston, Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa prospek perekonomian Negeri Paman Sam sangat positif. Tingkat pengangguran AS saat ini berada di bawah 4% dan bisa bertahan rendah setidaknya dalam 2 tahun ke depan. Laju inflasi pun terakselerasi secara moderat, artinya ada geliat konsumsi tetapi tidak sampai menggerogoti pendapatan secara berlebihan. Inflasi masih sehat bagi perekonomian.

"Ini adalah pertanda bahwa kita sedang menjalani saat-saat yang luar biasa. Rumah tangga membaik, dan dunia usaha tidak perlu lagi mengkhawatirkan inflasi yang tinggi," tutur Powell, mengutip Reuters.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 2 Oktober 2018, kemungkinan bahwa the Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini naik menjadi 78,1%, dari posisi per 28 September 2018 yang sebesar 74,4%.

Perang dagang AS-China yang masih terus berlanjut juga membuat dolar AS selaku safe haven menjadi buruan investor. Tercapainya kesepakatan antara AS dengan Kanada terkait kerangka baru dari North American Free Trade Agreement (NAFTA) sebelumnya membuat pelaku pasar optimis bahwa hal serupa juga dapat terjadi dengan China.

Namun, kini harapan itu seolah sirna. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan bahwa diskusi dengan China di bidang perdagangan tidak berkembang. Kudlow bahkan berani menyebut bahwa kesepakatan dengan China tidak akan tercapai dalam waktu dekat.

"TIdak ada yang dekat (kesepakatan dagang) dengan China," papar Kudlow seperti dikutip dari CNBC International. "Saya rasa ada diskusi yang sedang berlangsung. Tidak, saya tak ingin mengatakan bahwa itu (kesepakatan dagang) sudah dekat."

Lebih lanjut, mantan anchor CNBC International itu menyebut bahwa Presiden AS Donald Trump tidak puas dengan perkembangan dari dialog dagang dengan China.

Dari dalam negeri, tingginya harga minyak mentah dunia memantik kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan kian sulit diredam. Kini, harga minyak WTI kontrak pengiriman November bertengger di level US$ 73,04/barel. Sementara itu, harga minyak brent kontrak pengiriman Desember berada di level US$ 84,89/barel.

Memang, defisit perdagangan migas menjadi biang kerok lebarnya defisit neraca dagang Indonesia yang pada akhirnya membebani CAD. Secara kumulatif dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$ 8,35 miliar, melambung 54,6% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 5,40 miliar.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article Tersengat Dampak Corona, IHSG Ambles Lebih 4%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular