Rupiahku Sayang, Rupiahku Malang, Dolar Pemenang
Herdaru Purnomo & Alfado Agustio, CNBC Indonesia
02 October 2018 14:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah ku sayang rupiah ku malang. Begitu lah gambaran dari posisi rupiah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal Oktober ini. Ya, dolar AS yang kali ini menang.
Setelah berkali-kali berhasil lolos dari level Rp 15.000/US$, namun tidak untuk hari ini, keperkasaan dolar membuat rupiah tak berdaya. Tak bisa dibayangkan tanpa intervensi Bank Indonesia (BI), rupiah pasti jauh lebih melemah.
Tekanan kuat dari suku bunga acuan AS hingga situasi perang dagang antara AS dan China, cukup membawa mata uang garuda berada di posisi terlemah sejak Krisis Moneter Juli 1998.
Pada Selasa (2/10/2018) pukul 14:00 WIB, US$ 1 ditransaksikan di level Rp 15.035 di pasar spot. Rupiah melemah 0,64 % dibandingkan perdagangan kemarin.
Sejak akhir bulan lalu, tekanan terhadap rupiah terasa makin kuat. Sejak bank sentral AS, Federal Reserve/The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin, praktis rupiah semakin terombang-ambing. Tidak sampai disitu, The Fed pun memberikan sinyal akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember mendatang.
Mengutip CME Fed Watch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate (FFR) pada rapat 19 Desember mendatang sebesar 78,5%. Saat ini FFR berada di rentang 2-2,25% dengan median 2,125%. Pada akhir 2020, The Fed menargetkan median berada di level 3,4%
Kondisi ini tentu mendorong imbal hasil di pasar keuangan Negeri Paman Sam lebih menarik. Akibatnya aliran modal asing dari negara-negara emerging market termasuk Indonesia, akan beralih ke AS dan menyebabkan rupiah kehilangan pijakan untuk menguat.
Tekanan lain datang dari situasi perang dagang AS dan China. Saat ini pasar masih menunggu perkembangan terbaru dari kondisi ini. Sejak 24 September lalu, AS resmi memberlakukan bea masuk sebesar 10% bagi produk impor China dan begitu pun sebaliknya.
Situasi global menjadi kurang stabil akibat hal ini. Namun, seiring tercapainya perjanjian NAFTA, pasar menantikan akurnya dua negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia. Selama menunggu momen itu, investor masih cenderung wait and see sehingga berpengaruh terhadap aliran modal ke negara emerging market seperti Indonesia.
PR Besar Pemerintah, Perbaiki Defisit Transaksi Berjalan!
Permasalahan dari dalam negeri, kondisi transaksi berjalan Indonesia masih mengalami defisit. Ini datanya :
Sejak kuartal II 2011, Indonesia belum lagi merasakan surplus transaksi berjalan. Pada kuartal II-2018 lalu, defisit transaksi berjalan mencapai 3,04% dari PDB.
Defisit ini kemungkinan masih terjadi pada kuartal III, seiring kinerja perdagangan Indonesia yang kurang ciamik pada periode tersebut. Selama bulan Juli-Agustus saja, Indonesia defisit hingga US$ 3,05 miliar. Jika kinerja neraca perdagangan di September ini kembali defisit, besar kemungkinan defisit transaksi berjalan akan terjadi.
Meskipun masih ada pos neraca modal/finansial, namun pos tersebut tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Sebab, aliran modal asing mudah berpindah tempat sehingga tidak bisa sepenuhnya memperbaiki transaksi berjalan.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Jelas, bagaimana pemerintah mendorong neraca perdagangan menjadi surplus. Kebijakan mulai dari pembatasan impor hingga penerapan B20 masih ditunggu dampaknya. Selagi menunggu hal tersebut, mungkin pemerintah dapat mendorong kinerja manufaktur dalam negeri.
Pasalnya rilis indeks manufaktur (nikkei PMI) Indonesia per September kembali turun ke level 50,7 dari sebelumnya 51,9. Penurunan ini mencerminkan ekspansi sektor ini mulai melambat, sehingga bisa berpengaruh terhadap jumlah barang yang diekspor ke luar negeri. Akibatnya, neraca perdagangan besar kemungkinan akan minus dan defisit transaksi berjalan tetap terjadi.
Tak Usah Khawatir Berlebihan
Jika melihat nilai tukar rupiah melalui levelnya saat ini di Rp 15.000/US$ memang akan terlihat sama seperti tahun 1998 ketika Indonesia mengalami krisis moneter. Namun, kondisi tersebut secara fundamental jauh berbeda.
Depresiasi rupiah pada 1998, melebihi 600% lebih dalam waktu kurang dari satu tahun. Jika melihat kondisi saat ini di 2018, depresiasi belum sampai 10%.
Sementara jika melihat kondisi fundamental Indonesia pada tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati di mana BI juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar. Selain itu, pertumbuhan ekonomi masih positif, inflasi masuk rekor terendahnya dan pengelolaan ekonomi dalam negeri masih cukup prudent.
Tak perlu khawatir memandang nilai tukar rupiah saat ini. Jangan melihat lebih jauh dari levelnya. Tapi dari tingkat depresiasinya yang notabene banyak negara lain yang tingkat depresiasinya jauh lebih parah. Saat ini sudah saatnya, ekspor ditingkatkan demi menambah pundi-pundi devisa negara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Setelah berkali-kali berhasil lolos dari level Rp 15.000/US$, namun tidak untuk hari ini, keperkasaan dolar membuat rupiah tak berdaya. Tak bisa dibayangkan tanpa intervensi Bank Indonesia (BI), rupiah pasti jauh lebih melemah.
Tekanan kuat dari suku bunga acuan AS hingga situasi perang dagang antara AS dan China, cukup membawa mata uang garuda berada di posisi terlemah sejak Krisis Moneter Juli 1998.
![]() |
Pada Selasa (2/10/2018) pukul 14:00 WIB, US$ 1 ditransaksikan di level Rp 15.035 di pasar spot. Rupiah melemah 0,64 % dibandingkan perdagangan kemarin.
Sejak akhir bulan lalu, tekanan terhadap rupiah terasa makin kuat. Sejak bank sentral AS, Federal Reserve/The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin, praktis rupiah semakin terombang-ambing. Tidak sampai disitu, The Fed pun memberikan sinyal akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember mendatang.
Mengutip CME Fed Watch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate (FFR) pada rapat 19 Desember mendatang sebesar 78,5%. Saat ini FFR berada di rentang 2-2,25% dengan median 2,125%. Pada akhir 2020, The Fed menargetkan median berada di level 3,4%
Kondisi ini tentu mendorong imbal hasil di pasar keuangan Negeri Paman Sam lebih menarik. Akibatnya aliran modal asing dari negara-negara emerging market termasuk Indonesia, akan beralih ke AS dan menyebabkan rupiah kehilangan pijakan untuk menguat.
Tekanan lain datang dari situasi perang dagang AS dan China. Saat ini pasar masih menunggu perkembangan terbaru dari kondisi ini. Sejak 24 September lalu, AS resmi memberlakukan bea masuk sebesar 10% bagi produk impor China dan begitu pun sebaliknya.
Situasi global menjadi kurang stabil akibat hal ini. Namun, seiring tercapainya perjanjian NAFTA, pasar menantikan akurnya dua negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia. Selama menunggu momen itu, investor masih cenderung wait and see sehingga berpengaruh terhadap aliran modal ke negara emerging market seperti Indonesia.
PR Besar Pemerintah, Perbaiki Defisit Transaksi Berjalan!
Permasalahan dari dalam negeri, kondisi transaksi berjalan Indonesia masih mengalami defisit. Ini datanya :
Waktu | Surplus/Defisit Terhadap PDB (%) |
Q1 2011 | 1,4 |
Q2 2011 | 0,1 |
Q3 2011 | 0,3 |
Q4 2011 | -1 |
Q1 2012 | -1,4 |
Q2 2012 | -3,5 |
Q3 2012 | -2,2 |
Q4 2012 | -3,5 |
Q1 2013 | -2,6 |
Q2 2013 | -4,2 |
Q3 2013 | -3,7 |
Q4 2013 | -2 |
Q1 2014 | -2,3 |
Q2 2014 | -4,3 |
Q3 2014 | -3 |
Q4 2014 | -2,7 |
Q1 2015 | -2 |
Q2 2015 | -2 |
Q3 2015 | -2 |
Q4 2015 | -2,2 |
Q1 2016 | -2,1 |
Q2 2016 | -2,4 |
Q3 2016 | -2 |
Q4 2016 | -0,8 |
Q1 2017 | -0,9 |
Q2 2017 | -1,9 |
Q3 2017 | -1,8 |
Q4 2017 | -2,3 |
Q1 2018 | -2,3 |
Q2 2018 | -3 |
Sejak kuartal II 2011, Indonesia belum lagi merasakan surplus transaksi berjalan. Pada kuartal II-2018 lalu, defisit transaksi berjalan mencapai 3,04% dari PDB.
Defisit ini kemungkinan masih terjadi pada kuartal III, seiring kinerja perdagangan Indonesia yang kurang ciamik pada periode tersebut. Selama bulan Juli-Agustus saja, Indonesia defisit hingga US$ 3,05 miliar. Jika kinerja neraca perdagangan di September ini kembali defisit, besar kemungkinan defisit transaksi berjalan akan terjadi.
Meskipun masih ada pos neraca modal/finansial, namun pos tersebut tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Sebab, aliran modal asing mudah berpindah tempat sehingga tidak bisa sepenuhnya memperbaiki transaksi berjalan.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Jelas, bagaimana pemerintah mendorong neraca perdagangan menjadi surplus. Kebijakan mulai dari pembatasan impor hingga penerapan B20 masih ditunggu dampaknya. Selagi menunggu hal tersebut, mungkin pemerintah dapat mendorong kinerja manufaktur dalam negeri.
Pasalnya rilis indeks manufaktur (nikkei PMI) Indonesia per September kembali turun ke level 50,7 dari sebelumnya 51,9. Penurunan ini mencerminkan ekspansi sektor ini mulai melambat, sehingga bisa berpengaruh terhadap jumlah barang yang diekspor ke luar negeri. Akibatnya, neraca perdagangan besar kemungkinan akan minus dan defisit transaksi berjalan tetap terjadi.
Tak Usah Khawatir Berlebihan
Jika melihat nilai tukar rupiah melalui levelnya saat ini di Rp 15.000/US$ memang akan terlihat sama seperti tahun 1998 ketika Indonesia mengalami krisis moneter. Namun, kondisi tersebut secara fundamental jauh berbeda.
Depresiasi rupiah pada 1998, melebihi 600% lebih dalam waktu kurang dari satu tahun. Jika melihat kondisi saat ini di 2018, depresiasi belum sampai 10%.
Sementara jika melihat kondisi fundamental Indonesia pada tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati di mana BI juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar. Selain itu, pertumbuhan ekonomi masih positif, inflasi masuk rekor terendahnya dan pengelolaan ekonomi dalam negeri masih cukup prudent.
Tak perlu khawatir memandang nilai tukar rupiah saat ini. Jangan melihat lebih jauh dari levelnya. Tapi dari tingkat depresiasinya yang notabene banyak negara lain yang tingkat depresiasinya jauh lebih parah. Saat ini sudah saatnya, ekspor ditingkatkan demi menambah pundi-pundi devisa negara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular