Menguat di Kurs Acuan, Rupiah Lesu di Spot Karena Italia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 October 2018 10:33
Menguat di Kurs Acuan, Rupiah Lesu di Spot Karena Italia
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs acuan awal pekan ini. Sementara di pasar spot, rupiah cenderung melemah karena greenback masih sulit ditandingi. 

Pada Senin (1/10/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor menunjukkan Rp 14.905. Rupiah menguat 0,16% dibandingkan posisi akhir pekan lalu. 

Sementara di pasar spot, US$ 1 dibanderol Rp 14.900 pada pukul 10:03 WIB. Sama dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu, stagnan. Kemudian pada pukul 10:07 WIB, rupiah justru melemah 0,03% di mana US$ 1 dihargai Rp 14.905.  

Rupiah dibuka menguat 0,13%, tetapi penguatan itu berkurang seiring perjalanan pasar. Dolar AS kini kembali ke kisaran Rp 14.900. 

Mengutip Reuters, dolar AS diperkirakan berada di kisaran Rp 14.880-14.920 pada perdagangan hari ini. Rupiah sepertinya masih bergerak labil.


Mata uang Asia yang awalnya mayoritas menguat kini mulai tunduk di hadapan dolar AS. Hanya rupee India, ringgit Malaysia, dan baht Thailand yang mampu menguat, sisanya tidak bisa selamat. Pasar keuangan China dan Hong Kong hari ini libur memperingati Hari Nasional Republik Rakyat China.  

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:09 WIB: 

 

Dolar AS masih melanjutkan lajunya. Pada pukul 10:11 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,07%. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index mampu menguat sampai 1,07%. 

Hari ini, bensin penguatan dolar AS datang dari Italia. Pelaku pasar mencemaskan perkembangan di Negeri Pizza, karena pemerintah mengesahkan anggaran 2019-2021 yang cukup agresif. 


Pemerintahan Italia pimpinan Perdana Menteri Guiseppe Conte menargetkan defisit anggaran 2019-2021 di angka 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal pemerintahan sebelumnya berkomitmen menekan defisit ke 0,8% PDB pada 2019 dan membuat anggaran seimbang (balance budget) pada 2020. 

Ingatan pelaku pasar pun kembali ke 2010, di mana Italia dan sejumlah negara di Benua Biru mengalami krisis fiskal yang dahsyat. Krisis ini sempat mengguncang pasar keuangan dunia. 

Kini risiko yang sama bisa terulang, karena pemerintahan PM Conte yang agresif bisa berujung pada peningkatan utang. Akhir tahun lalu saja, utang pemerintah sudah sangat besar yaitu 131,8% PDB. Anggaran yang ekspansif sangat mungkin membuat angka ini semakin membengkak, sehingga risiko utang Italia meningkat. 

Mengutip Reuters, dinamika di Italia membuat Eropa diliputi kecemasan. Mark Rutte, PM Belanda, menyebut kondisi di Italia sangat mengkhawatirkan. 

"Kami sangat khawatir tentang ini. Kebijakan semacam ini akan mengganggu pasar," tegas Rutte, dikutip dari Reuters. 

Melihat risiko besar di Eropa, investor pun memilih bermain aman. Aset-aset safe haven menjadi tujuan untuk mengamankan dana, sehingga arus modal berpihak ke dolar AS (dan yen Jepang yang sama-sama berstatus safe haven). 

Dolar AS tidak hanya menjanjikan keamanan. Mata uang Negeri Paman Sam juga menawarkan cuan karena kenaikan suku bunga acuan. 

Pekan lalu, The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga 25 basis poin (bps) ke 2-2,25%. Sepanjang 2018, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 75 bps dan kemungkinan besar akan ada kenaikan lagi pada Desember. 

Kenaikan suku bunga acuan akan meningkatkan imbalan investasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap. Memegang dolar AS saja pun sudah untung karena kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang tidak tergerus. 

Hasilnya, dolar AS kian perkasa. Mata uang Asia yang awalnya bisa melawan, kini terpaksa menyerah dan melemah di hadapan greenback.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular