
Simak 5 Sentimen Penggerak Bursa Saham Pekan Depan
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 September 2018 20:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Bulan September akan segera berakhir dan bulan Oktober akan segera dimulai. Memasuki bulan Oktober, perdagangan di bursa saham dalam negeri dipastikan tidak akan berlangsung mudah. Sejumlah sentimen, baik domestik maupun eksternal, berpotensi menekan laju IHSG.
Tim Riset CNBC Indonesia merangkum sejumlah sentimen yang dimaksud.
Rilis Data Manufacturing PMI
Pada esok hari (01/10/2018) pukul 07:30 WIB, data Nikkei Manufacturing PMI periode September akan diumumkan. Dari rilis data ini dapat dilihat bagaimana aktivitas sektor manufaktur di Indonesia.
Data di atas 50 menunjukkan bahwa sektor manufaktur mengalami ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara data di bawah 50 menunjukkan bahwa sektor manufaktur mengalami kontraksi.
Selain karena serapan tenaga kerja sektor manufaktur yang besar, data tersebut menjadi sangat penting guna melihat dampak dari perang dagang yang sedang berlangsung antara AS dengan China.
Jika ternyata perang dagang yang tengah terjadi secara signifikan memukul perekonomian keduanya, maka aktivitas manufaktur di Indonesia bisa ikut terganggu lantaran AS dan China merupakan pasar ekspor yang sangat penting bagi Indonesia.
Rilis Data Inflasi
Masih pada tanggal 1 Oktober, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data inflasi periode September pada pukul 11:00 WIB. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), pada bulan September justru terjadi deflasi sebesar 0,06% MoM.
"Survei pekan keempat menunjukkan deflasi 0,06% sehingga year on year tingkat inflasi sebesar 3,02%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Jumat (28/9/2018).
Sementara itu, konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksikan deflasi sebesar 0,02% MoM sepanjang bulan lalu. Sementara secara tahunan, terjadi inflasi sebesar 3,055%.
Rilis data inflasi akan dijadikan acuan oleh investor untuk mengukur tingkat konsumsi masyarakat. Jika data inflasi ternyata lebih rendah dari perkiraan, konsumsi masyarakat bisa dinilai lemah sehingga saham-saham, khususnya yang berada dalam sektor barang konsumsi, dilepas investor.
Ronde 2 Pertemuan Trump dan Kim Jong Un
Pasca-sempat kembali menegang, hubungan AS dengan Korea Utara kini nampak sudah semakin cair. Usai bertemu dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Pyongyang awal bulan ini, pejabat pemerintahan Korea Selatan mengatakan bahwa Kim terbuka untuk opsi denukilirisasi yang lebih "kuat" jika pihak AS mengambil langkah-langkah yang mengakui penangguhan uji coba senjata nuklir yang sudah dilakukan pihaknya, seperti dikutip dari Bloomberg.
Pada tanggal 10 September, Gedung Putih mengumumkan bahwa Trump telah menerima permintaan dari Kim Jong Un untuk pertemuan tindak lanjut setelah pertemuan bersejarah mereka di Singapura pada Juni 2018. Juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengatakan pemerintah terbuka untuk permintaan tersebut dan sudah dalam proses mempersiapkan pertemuan itu.
Perkembangan terbaru, pasca melakukan pertemuan bilateral pada 24 September dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, Trump menyebut bahwa waktu dan tempat untuk pertemuan kedua dengan Kim Jong Un akan diumumkan "dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama".
Bisa jadi, pengumuman akan dilakukan pada pekan depan. Jika ini yang terjadi, maka pelaku pasar bisa dibuat bersemangat untuk berburu instruen risiko seperti saham. Namun jika yang keluar dari Gedung Putih ataupun Pyongyang adalah nada-nada perpecahan, pasar saham tanah air bisa berada dalam tekanan.
Perkembangan Brexit
Negosiasi Brexit kini kian panas. Belum lama ini, Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan bahwa perundingan Brexit mungkin sudah mengarah ke jalan buntu. Uni Eropa diketahui menolak proposal perceraian yang diajukan Inggris dengan alasan May harus menyertakan alasan yang kuat dalam hal perdagangan dan kepabeanan di perbatasan Inggris-Irlandia.
Sebagai informasi, 13-14 Desember 2018 dipandang sebagai waktu terakhir bagi Inggris dan Uni Eropa untuk menandatangani pakta perceraian (Article 50) antar kedua pihak. Jadi, mencuatnya kemungkinan mengenai hard-brexit datang di saat yang kurang pas. Sebab, tenggang waktu bagi kedua belah pihak sudah sangat dekat.
Dalam skenario soft-brexit, Inggris akan tetap bisa melakukan perdagangan tanpa tarif dengan Uni Eropa. Hal ini menjadi penting mengingat Uni Eropa merupakan mitra dagang yang sangat penting bagi Inggris. Jika hard-brexit yang terjadi, maka kerjasama yang sudah terjalin selama ini akan gugur dan membuat produk-produk ekspor Inggris ke Uni Eropa lebih mahal, begitupun sebaliknya. Akibatnya, permintaan tentu akan berkurang.
Jika pada pekan depan perkembangannya masih saja negatif, maka bursa saham dunia, termasuk Indonesia, akan mendapatkan tekanan yang tak bisa dianggap enteng.
Rilis Data Ekonomi AS
Pada pekan depan, ada beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis di AS. Pada 1 Oktober waktu setempat, data ISM Manufacturing PMI periode September akan diumumkan. Pada 3 Oktober, data penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode September versi Automatic Data Processing (ADP) akan dirilis. Kemudian pada 5 Oktober, data penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode September versi pemerintah AS akan diumumkan, bersamaan dengan data tingkat pengangguran periode September.
Kuat-lemahnya data tersebut akan memberi petunjuk bagi investor mengenai seberapa signifikan perang dagang dengan China mempengaruhi perekonomian AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Tim Riset CNBC Indonesia merangkum sejumlah sentimen yang dimaksud.
Rilis Data Manufacturing PMI
Pada esok hari (01/10/2018) pukul 07:30 WIB, data Nikkei Manufacturing PMI periode September akan diumumkan. Dari rilis data ini dapat dilihat bagaimana aktivitas sektor manufaktur di Indonesia.
Selain karena serapan tenaga kerja sektor manufaktur yang besar, data tersebut menjadi sangat penting guna melihat dampak dari perang dagang yang sedang berlangsung antara AS dengan China.
Jika ternyata perang dagang yang tengah terjadi secara signifikan memukul perekonomian keduanya, maka aktivitas manufaktur di Indonesia bisa ikut terganggu lantaran AS dan China merupakan pasar ekspor yang sangat penting bagi Indonesia.
Rilis Data Inflasi
Masih pada tanggal 1 Oktober, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data inflasi periode September pada pukul 11:00 WIB. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), pada bulan September justru terjadi deflasi sebesar 0,06% MoM.
"Survei pekan keempat menunjukkan deflasi 0,06% sehingga year on year tingkat inflasi sebesar 3,02%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Jumat (28/9/2018).
Sementara itu, konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksikan deflasi sebesar 0,02% MoM sepanjang bulan lalu. Sementara secara tahunan, terjadi inflasi sebesar 3,055%.
Rilis data inflasi akan dijadikan acuan oleh investor untuk mengukur tingkat konsumsi masyarakat. Jika data inflasi ternyata lebih rendah dari perkiraan, konsumsi masyarakat bisa dinilai lemah sehingga saham-saham, khususnya yang berada dalam sektor barang konsumsi, dilepas investor.
Ronde 2 Pertemuan Trump dan Kim Jong Un
Pasca-sempat kembali menegang, hubungan AS dengan Korea Utara kini nampak sudah semakin cair. Usai bertemu dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Pyongyang awal bulan ini, pejabat pemerintahan Korea Selatan mengatakan bahwa Kim terbuka untuk opsi denukilirisasi yang lebih "kuat" jika pihak AS mengambil langkah-langkah yang mengakui penangguhan uji coba senjata nuklir yang sudah dilakukan pihaknya, seperti dikutip dari Bloomberg.
Pada tanggal 10 September, Gedung Putih mengumumkan bahwa Trump telah menerima permintaan dari Kim Jong Un untuk pertemuan tindak lanjut setelah pertemuan bersejarah mereka di Singapura pada Juni 2018. Juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengatakan pemerintah terbuka untuk permintaan tersebut dan sudah dalam proses mempersiapkan pertemuan itu.
Perkembangan terbaru, pasca melakukan pertemuan bilateral pada 24 September dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, Trump menyebut bahwa waktu dan tempat untuk pertemuan kedua dengan Kim Jong Un akan diumumkan "dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama".
Bisa jadi, pengumuman akan dilakukan pada pekan depan. Jika ini yang terjadi, maka pelaku pasar bisa dibuat bersemangat untuk berburu instruen risiko seperti saham. Namun jika yang keluar dari Gedung Putih ataupun Pyongyang adalah nada-nada perpecahan, pasar saham tanah air bisa berada dalam tekanan.
Perkembangan Brexit
Negosiasi Brexit kini kian panas. Belum lama ini, Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan bahwa perundingan Brexit mungkin sudah mengarah ke jalan buntu. Uni Eropa diketahui menolak proposal perceraian yang diajukan Inggris dengan alasan May harus menyertakan alasan yang kuat dalam hal perdagangan dan kepabeanan di perbatasan Inggris-Irlandia.
Sebagai informasi, 13-14 Desember 2018 dipandang sebagai waktu terakhir bagi Inggris dan Uni Eropa untuk menandatangani pakta perceraian (Article 50) antar kedua pihak. Jadi, mencuatnya kemungkinan mengenai hard-brexit datang di saat yang kurang pas. Sebab, tenggang waktu bagi kedua belah pihak sudah sangat dekat.
Dalam skenario soft-brexit, Inggris akan tetap bisa melakukan perdagangan tanpa tarif dengan Uni Eropa. Hal ini menjadi penting mengingat Uni Eropa merupakan mitra dagang yang sangat penting bagi Inggris. Jika hard-brexit yang terjadi, maka kerjasama yang sudah terjalin selama ini akan gugur dan membuat produk-produk ekspor Inggris ke Uni Eropa lebih mahal, begitupun sebaliknya. Akibatnya, permintaan tentu akan berkurang.
Jika pada pekan depan perkembangannya masih saja negatif, maka bursa saham dunia, termasuk Indonesia, akan mendapatkan tekanan yang tak bisa dianggap enteng.
Rilis Data Ekonomi AS
Pada pekan depan, ada beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis di AS. Pada 1 Oktober waktu setempat, data ISM Manufacturing PMI periode September akan diumumkan. Pada 3 Oktober, data penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode September versi Automatic Data Processing (ADP) akan dirilis. Kemudian pada 5 Oktober, data penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode September versi pemerintah AS akan diumumkan, bersamaan dengan data tingkat pengangguran periode September.
Kuat-lemahnya data tersebut akan memberi petunjuk bagi investor mengenai seberapa signifikan perang dagang dengan China mempengaruhi perekonomian AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Most Popular