
The Fed Naikkan Bunga, Kok Dolar AS Biasa Saja?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 September 2018 09:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) masih melanjutkan keperkasaannya, setelah The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan. Namun sepertinya kedigdayaan greenback tidak sehebat yang diperkirakan.
Pada Kamis (27/9/2018) pukul 09:03 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS secara relatif di hadapan enam mata uang utama) berada di 94,322 atau menguat 0,14%. Penguatan Dollar Index sudah terjadi sejak awal pekan ini.
Hari ini, doping bagi dolar AS adalah hasil rapat The Fed. Jerome Powell dan kolega sepakat untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,5% atau median 2,125%.
Bahkan dalam pernyataan tertulisnya, The Fed sudah menghapus kata 'akomodatif'. Artinya, arah kebijakan moneter Negeri Paman Sam ke depan adalah bias ketat.
Hal ini dicerminkan dengan potensi kenaikan suku bunga acuan sekali lagi pada tahun ini, yang diperkirakan jatuh pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, peluang kenaikan suku bunga 25 bps adalah 79,2%.
Belum selesai, The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan setidaknya tiga kali pada 2019 dan sekali pada 2020. Dengan begitu, median suku bunga acuan AS akan berada di kisaran 3,4% atau 50 bps lebih tinggi dari posisi yang dinilai The Fed netral.
Kebijakan moneter AS yang hawkish ini semestinya sangat positif bagi greenback. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat imbalan investasi (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan ikut terangkat. Memegang dolar AS saja sudah untung, karena kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang ini bisa terus naik.
Oleh karena itu, seharusnya keperkasaan dolar AS tidak terbendung, termasuk di Asia. Namun ternyata performa dolar AS di Benua Kuning tidak istimewa. Bahkan ada beberapa mata uang Asia yang mampu menguat di hadapannya.
Kinerja rupiah pun lumayan, tidak terlalu buruk. Membuka hari dengan depresiasi 0,17%, pada pukul 09:13 WIB pelemahan rupiah menipis hingga tinggal tersisa 0,1%.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap beberapa mata uang Asia pada pukul 09:14 WIB:
Setidaknya ada dua alasan mengapa kdolar AS tidak terlalu impresif. Pertama, kenaikan suku bunga acuan di AS sudah masuk kalkulasi investor alias priced-in.
Sudah lama pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga pada September dan berlanjut ke Desember. Komunikasi The Fed yang cukup baik di pasar membuat tidak ada kejutan berarti saat suku bunga acuan naik. Kebijakan The Fed bisa dicerna dan diserap dengan baik tanpa perlu menimbulkan kepanikan.
Alasan kedua adalah adanya risiko besar bernama perang dagang, terutama AS vs China. Teranyar, awal pekan ini Washington dan Beijing sama-sama menerapkan bea masuk baru.
Akibat penerapan bea masuk, produk-produk China yang diimpor AS menjadi lebih mahal. Dunia usaha mengeluh biaya mereka naik, yang terpaksa dibebankan ke konsumen. Hasilnya adalah inflasi yang sebenarnya tidak perlu.
Dalam jangka menengah-panjang, perang dagang AS vs China bisa memperlambat laju investasi karena biaya impor bahan baku dan barang modal naik. Akibatnya adalah laju pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya akan melambat.
Tahun ini, The Fed memperkirakan ekonomi AS tumbuh 3,1%. Namun tahun depan akan melambat ke 2,5%, kemudian kembali melambat menjadi 2% pada 2020 dan 1,8% pada 2021.
Prospek ekonomi AS yang tidak terlalu baik itu membuat investor agak ragu memegang dolar AS dan instrumen berbasis mata uang tersebut. Akibatnya, arus modal yang masuk ke AS tidak terlampau deras karena pelaku pasar memilih wait and see.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Kamis (27/9/2018) pukul 09:03 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS secara relatif di hadapan enam mata uang utama) berada di 94,322 atau menguat 0,14%. Penguatan Dollar Index sudah terjadi sejak awal pekan ini.
Hari ini, doping bagi dolar AS adalah hasil rapat The Fed. Jerome Powell dan kolega sepakat untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,5% atau median 2,125%.
Hal ini dicerminkan dengan potensi kenaikan suku bunga acuan sekali lagi pada tahun ini, yang diperkirakan jatuh pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, peluang kenaikan suku bunga 25 bps adalah 79,2%.
Belum selesai, The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan setidaknya tiga kali pada 2019 dan sekali pada 2020. Dengan begitu, median suku bunga acuan AS akan berada di kisaran 3,4% atau 50 bps lebih tinggi dari posisi yang dinilai The Fed netral.
Kebijakan moneter AS yang hawkish ini semestinya sangat positif bagi greenback. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat imbalan investasi (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan ikut terangkat. Memegang dolar AS saja sudah untung, karena kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang ini bisa terus naik.
Oleh karena itu, seharusnya keperkasaan dolar AS tidak terbendung, termasuk di Asia. Namun ternyata performa dolar AS di Benua Kuning tidak istimewa. Bahkan ada beberapa mata uang Asia yang mampu menguat di hadapannya.
Kinerja rupiah pun lumayan, tidak terlalu buruk. Membuka hari dengan depresiasi 0,17%, pada pukul 09:13 WIB pelemahan rupiah menipis hingga tinggal tersisa 0,1%.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap beberapa mata uang Asia pada pukul 09:14 WIB:
Setidaknya ada dua alasan mengapa kdolar AS tidak terlalu impresif. Pertama, kenaikan suku bunga acuan di AS sudah masuk kalkulasi investor alias priced-in.
Sudah lama pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga pada September dan berlanjut ke Desember. Komunikasi The Fed yang cukup baik di pasar membuat tidak ada kejutan berarti saat suku bunga acuan naik. Kebijakan The Fed bisa dicerna dan diserap dengan baik tanpa perlu menimbulkan kepanikan.
Alasan kedua adalah adanya risiko besar bernama perang dagang, terutama AS vs China. Teranyar, awal pekan ini Washington dan Beijing sama-sama menerapkan bea masuk baru.
Akibat penerapan bea masuk, produk-produk China yang diimpor AS menjadi lebih mahal. Dunia usaha mengeluh biaya mereka naik, yang terpaksa dibebankan ke konsumen. Hasilnya adalah inflasi yang sebenarnya tidak perlu.
Dalam jangka menengah-panjang, perang dagang AS vs China bisa memperlambat laju investasi karena biaya impor bahan baku dan barang modal naik. Akibatnya adalah laju pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya akan melambat.
Tahun ini, The Fed memperkirakan ekonomi AS tumbuh 3,1%. Namun tahun depan akan melambat ke 2,5%, kemudian kembali melambat menjadi 2% pada 2020 dan 1,8% pada 2021.
Prospek ekonomi AS yang tidak terlalu baik itu membuat investor agak ragu memegang dolar AS dan instrumen berbasis mata uang tersebut. Akibatnya, arus modal yang masuk ke AS tidak terlampau deras karena pelaku pasar memilih wait and see.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular