Dolar AS Digdaya, Rupiah Masih Bisa Terbaik Keempat di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 September 2018 08:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Namun depresiasi rupiah masih lebih baik ketimbang mata uang Asia, karena ada harapan Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuan.
Pada Kamis (27/9/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.925 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, rupiah masih melemah tetapi depresiasinya menipis. Pada pukul 08:12 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.910 di mana rupiah melemah 0,07%.
Rupiah belum mampu melanjutkan penguatan yang terjadi kemarin. Setelah seharian melemah, rupiah mampu berbalik arah dan menguat 0,1%.
Seperti halnya rupiah, berbagai mata uang Asia pun tidak bisa bicara banyak di hadapan dolar AS. Hanya dolar Hong Kong dan rupee India yang masih mampu menguat, sisanya tidak selamat.
Meski melemah, tetapi performa rupiah tidak jelek-jelek amat. Bahkan rupiah masih mampu menjadi mata uang dengan performa terbaik keempat di Asia, di bawah rupee, dolar Hong Kong, dan ringgit Malaysia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:12 WIB:
Dolar AS masih melanjutkan penguatannya. Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Paman Sam juga dominan terhadap enam mata uang utama dunia yang ditunjukkan dengan Dollar Index. Pada pukul 08:15 WIB, Dollar Index berada di 94,239 atau menguat 0,05%.
Jamu dolar AS hari ini adalah keputusan The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,5% atau median 2,125%. The Fed pun sudah melihat kebijakan suku bunga tidak lagi bersifat akomodatif, tetapi cenderung ketat.
Siklus kenaikan suku bunga tidak berhenti sampai di sini. Kenaikan selanjutnya diperkirakan terjadi pada Desember, sehingga menggenapkan kenaikan suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Kemudian pada 2019, The Fed memperkirakan terjadi tiga kali kenaikan suku bunga acuan dan sekali lagi pada 2020. Dengan begitu, median Federal Funds Rate menjadi 3,4% atau sekitar 50 bps di atas suku bunga yang dianggap netral. Oleh karena itu, The Fed sudah resmi masuk ke fase kebijakan moneter ketat, tidak ada lagi kata akomodatif.
Kenaikan suku bunga acuan memang membuat imbalan investasi di instrumen berpendapatan tetap meningkat, sehingga tentu lebih disukai pelaku pasar. Tidak hanya itu, sebenarnya memegang dolar AS saja sudah menguntungkan kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang ini tidak akan turun.
Oleh karena itu, wajar apabila greenback sulit ditandingi sampai saat ini. Arus modal sedang berpihak kepada AS, sehingga mata uangnya pun terapresiasi.
Namun, kinerja rupiah yang tidak terlalu buruk juga didukung oleh sentimen yang sama. Hari ini, BI akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi September 2018.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI menaikkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 5,75%. Proyeksi ini muncul karena 'mantra' yang dirapalkan BI selama ini yaitu pre-emtif, front loading, dan ahead the curve.
Paling gampang, prinsip ini diterapkan dengan menaikkan suku bunga acuan setiap kali The Fed menerapkan kebijakan serupa. The Fed sudah resmi menaikkan suku bunga acuan, sehingga BI kemungkinan besar merespons dan mengantisipasi dampaknya terhadap pasar keuangan Indonesia dengan langkah yang sama.
Jika BI menaikkan suku bunga acuan, maka rupiah masih punya harapan untuk menguat atau setidaknya kalaupun melemah tidak terlampau dalam. Kenaikan suku bunga acuan bisa memancing arus modal untuk masuk ke Indonesia, atau minimal menahan yang sudah ada agar tidak keluar.
Ditopang oleh prospek kenaikan suku bunga acuan, investor belum mau buru-buru keluar dari Indonesia. Masih ada harapan imbalan investasi mereka ikut naik seiring kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Kamis (27/9/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.925 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, rupiah masih melemah tetapi depresiasinya menipis. Pada pukul 08:12 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.910 di mana rupiah melemah 0,07%.
Seperti halnya rupiah, berbagai mata uang Asia pun tidak bisa bicara banyak di hadapan dolar AS. Hanya dolar Hong Kong dan rupee India yang masih mampu menguat, sisanya tidak selamat.
Meski melemah, tetapi performa rupiah tidak jelek-jelek amat. Bahkan rupiah masih mampu menjadi mata uang dengan performa terbaik keempat di Asia, di bawah rupee, dolar Hong Kong, dan ringgit Malaysia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:12 WIB:
Dolar AS masih melanjutkan penguatannya. Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Paman Sam juga dominan terhadap enam mata uang utama dunia yang ditunjukkan dengan Dollar Index. Pada pukul 08:15 WIB, Dollar Index berada di 94,239 atau menguat 0,05%.
Jamu dolar AS hari ini adalah keputusan The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,5% atau median 2,125%. The Fed pun sudah melihat kebijakan suku bunga tidak lagi bersifat akomodatif, tetapi cenderung ketat.
Siklus kenaikan suku bunga tidak berhenti sampai di sini. Kenaikan selanjutnya diperkirakan terjadi pada Desember, sehingga menggenapkan kenaikan suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Kemudian pada 2019, The Fed memperkirakan terjadi tiga kali kenaikan suku bunga acuan dan sekali lagi pada 2020. Dengan begitu, median Federal Funds Rate menjadi 3,4% atau sekitar 50 bps di atas suku bunga yang dianggap netral. Oleh karena itu, The Fed sudah resmi masuk ke fase kebijakan moneter ketat, tidak ada lagi kata akomodatif.
Kenaikan suku bunga acuan memang membuat imbalan investasi di instrumen berpendapatan tetap meningkat, sehingga tentu lebih disukai pelaku pasar. Tidak hanya itu, sebenarnya memegang dolar AS saja sudah menguntungkan kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang ini tidak akan turun.
Oleh karena itu, wajar apabila greenback sulit ditandingi sampai saat ini. Arus modal sedang berpihak kepada AS, sehingga mata uangnya pun terapresiasi.
Namun, kinerja rupiah yang tidak terlalu buruk juga didukung oleh sentimen yang sama. Hari ini, BI akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi September 2018.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI menaikkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 5,75%. Proyeksi ini muncul karena 'mantra' yang dirapalkan BI selama ini yaitu pre-emtif, front loading, dan ahead the curve.
Paling gampang, prinsip ini diterapkan dengan menaikkan suku bunga acuan setiap kali The Fed menerapkan kebijakan serupa. The Fed sudah resmi menaikkan suku bunga acuan, sehingga BI kemungkinan besar merespons dan mengantisipasi dampaknya terhadap pasar keuangan Indonesia dengan langkah yang sama.
Jika BI menaikkan suku bunga acuan, maka rupiah masih punya harapan untuk menguat atau setidaknya kalaupun melemah tidak terlampau dalam. Kenaikan suku bunga acuan bisa memancing arus modal untuk masuk ke Indonesia, atau minimal menahan yang sudah ada agar tidak keluar.
Ditopang oleh prospek kenaikan suku bunga acuan, investor belum mau buru-buru keluar dari Indonesia. Masih ada harapan imbalan investasi mereka ikut naik seiring kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular