
Perang Dagang Menegang, Rupiah (Masih) Terlemah Kedua Asia

Pada Senin (24/9/2018) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.865 di pasar spot. Rupiah melemah 0,33% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar rupiah hanya melemah 0,06%. Seiring perjalanan, depresiasi rupiah semakin dalam.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sampai tengah hari awal pekan ini:
Rupiah bergerak senada dengan mata uang Asia yang juga tersapu oleh kedigdayaan dolar AS. Won Korea Selatan masih menjadi yang terlemah, sedangkan rupiah berada di posisi kedua.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:04 WIB:
Dolar AS memang masih di jalur pendakian. Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,03% pada pukul 12:06 WIB. Penguatan Dollar Index memang terbatas, tetapi berlangsung dengan konsisten.
Posisi dolar AS diuntungkan dengan keputusan China untuk mundur dari perundingan dagang dengan AS. Mengutip Wall Street Journal, Beijing memutuskan untuk tidak menghadiri undangan dari Washington. Sebelumnya, ada rencana untuk menggelar dialog perdagangan antar pejabat tinggi kedua negara, di mana AS diwakili oleh Steven Mnuchin (Menteri Keuangan) dan China dipimpin oleh Liu He (Wakil Perdana Menteri).
Namun sumber di lingkaran dalam Gedung Putih mengungkapkan bahwa Beijing batal memenuhi undangan Washington. Sedianya Liu akan segera bertolak ke Washington, tetapi rencana itu dibatalkan.
Hari ini, China resmi mengenakan bea masuk untuk impor produk AS dengan nilai total US$ 60 miliar. Tidak lama setelah itu, AS juga akan membebankan bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar.
Dengan dibatalkannya dialog dagang, maka tensi friksi dagang AS vs China akan memanas tanpa ada penyelesaian dalam waktu dekat. Investor yang awalnya berharap pertemuan tersebut bisa mendinginkan suasana, kini kembali khawatir. Pasalnya, perang dagang ini masih jauh dari kata selesai.
Presiden AS Donald Trump sudah mengancam akan mengenakan bea masuk tambahan bagi impor produk made in China senilai US$ 267 miliar jika China melakukan langkah yang merugikan industri dan petani Negeri Paman Sam. Jika Trump menerapkan bea masuk US$ 267 miliar itu, maka China pasti akan membalas. Aksi 'balas pantun' Washington-Beijing masih akan terus terjadi, dan risiko besar di perekonomian dunia masih menghantui.
Menurut kajian Bank Dunia, perang dagang AS vs China akan menyebabkan arus perdagangan dunia turun sampai 9%. Ini akan membuat pertumbuhan ekonomi global melambat ke level yang sama ketika krisis keuangan global 2008-2009.
Oleh karena itu, investor yang pekan lalu sempat cuek dengan perang dagang kini kembali grogi. Aset-aset berisiko di negara berkembang mengalami aksi jual, sehingga menekan nilai mata uang. Asia sedang mengalami ini, dan rupiah tidak terkecuali.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
