Sempat Di-bully, Rupiah dan Mata Uang Ini Mampu Bangkit

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 September 2018 16:22
Sempat Di-bully, Rupiah dan Mata Uang Ini Mampu Bangkit
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini bukan periode yang indah buat dolar Amerika Serikat (AS). Mata uang negara berkembang, yang selama ini di-bully oleh pasar, justru mampu bangkit dan menguat. 

Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) anjlok sampai 1,02%. Ini merupakan koreksi mingguan terdalam 7 bulan terakhir. 

 

Sentimen negatif dari perang dagang AS vs China dominan dan menjadi pemberat laju dolar AS. Biasanya, pelaku pasar merespons isu perang dagang dengan memasang mode risk-on, ogah mengambil risiko. Maklum, perang dagang antar dua raksasa ekonomi dunia itu dapat mempengaruhi arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.  

Perilaku ini menyebabkan flight to quality, yaitu perpindahan dana ke aset-aset yang dinilai lebih aman dan menjanjikan. Dolar AS adalah salah satunya. Oleh karena itu, perang dagang awalnya menjadi momentum bagi laju dolar AS karena tingginya permintaan terhadap mata uang ini.  

Namun sekarang situasinya berbeda. Pelaku pasar justru khawatir perang dagang bakal melukai ekonomi AS sendiri. Sebab, bagaimanapun AS masih butuh barang impor dari China, baik itu bahan baku, barang modal, sampai barang konsumsi.  

Jika impor produk China menjadi mahal karena bea masuk, maka akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Hasilnya bisa berupa inflasi, penurunan produksi manufaktur, sampai perlambatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.  

Oleh karena itu, sekarang dolar AS justru 'dihukum' saat perang dagang bergelora. Arus modal meninggalkan dolar AS dan masuk ke berbagai negara, termasuk negara berkembang. Investor kini tak lagi risk on. 

Mata uang negara-negara berkembang mampu memanfaatkan situasi ini dengan sempurna. Berbagai mata uang negara berkembang yang sebelumnya tertekan mampu membalas dendam. 

Salah satunya rupiah. Dalam 5 hari perdagangan terakhir, mata uang Tanah Air menguat 0,39%. 

Aliran dana asing mengalir cukup deras ke pasar keuangan domestik. Di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan investor asing pada 19 September tercatat Rp 837,16 triliun. Naik 0,45% dibandingkan posisi 5 hari perdagangan sebelumnya.  

Arus modal ini menurunkan imbal hasil (yield) lumayan signifikan. Saat ini, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun ada di 8,189%. Turun 23,8 basis poin (bps) dibandingkan posisi 5 hari perdagangan sebelumnya.

Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar.
 Derasnya arus modal di pasar keuangan mampu membawa rupiah menguat.

Tidak hanya rupiah, beberapa mata uang yang sering mendapat sorotan pun bangkit. Misalnya peso Argentina. Investor sempat begitu khawatir terhadap mata uang Negeri Tango karena pernah melemah hampir 12% dalam sehari pada akhir Agustus lalu. 

Namun pekan ini peso bangkit. Dalam lima hari perdagangan terakhir, peso melesat dengan apresiasi 3,4%. 

Peso sempat tertekan karena rilis data pertumbuhan ekonomi Argentina. Pada kuartal II-2018, ekonomi Argentina terkontraksi alias minus 4,2%. Ini merupakan pencapaian terburuk sejak kuartal III-2014. 

Namun peso tidak berkabung terlalu lama. Peso langsung bangkit dengan dimulainya pembicaraan pemerintah Argentina dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Argentina telah menyepakati paket utang IMF senilai US$ 50 miliar dan sepertinya akan ditarik dalam waktu dekat. 

"Hal yang bisa saya sampaikan adalah ada kemajuan signifikan dalam upaya memperkuat kebijakan ekonomi Argentina yang dibantu oleh IMF. Kami bekerja sangat keras untuk menyelesaikan pembicaraan ini," kata Gerry Rice, Juru Bicara IMF, dikutip dari Reuters. 

Kehadiran IMF untuk membantu Argentina mendapat apresiasi pelaku pasar. Ini membuat peso mampu menguat signifikan dalam pekan ini, meski sejak awal tahun masih amblas 51,3% terhadap dolar AS. 

Lira Turki pun mampu menguat lumayan signifikan. Dalam 5 hari perdagangan terakhir, mata uang Negeri Kebab menguat 0,94%. 

Faktor domestik yang mendukung lira adalah pengumuman rancangan kebijakan ekonomi Turki oleh Menteri Keuangan Berat Albayrak. Menantu Presiden Recep Tayyip Erdogan itu menyebut tema rancangan kebijakan tersebut lebih realistis dan berorientasi pada aksi. 

Pemerintah Turki memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2019 sebesar 2,3% dan terakselerasi menjadi 5% pada 2021. Sementara inflasi tahun ini diperkirakan sebesar 20,8%, dan tahun depan adalah 15,9%. 

Kemudian, rand Afrika Selatan juga menunjukkan kinerja yang ciamik. Selama 5 hari perdagangan terakhir, mata uang ini melesat 4,67%. 

Meski Bank Sentral Afrika Selatan (SARB) menahan suku bunga acuan di 6,5%, tetapi pelaku pasar tetap memberikan apresiasi. Pasalnya, SARB memberikan komunikasi yang sesuai dan bisa diterima investor. 

"Kami tetap berpendapat bahwa tantangan ekonomi saat ini adalah hal yang struktural. Ini tidak bisa diatasi hanya dengan kebijakan moneter," tegas Lesetja Kganyago, Gubernur SARB, dikutip dari Reuters. 

Pekan ini memang menjadi momentum bagi negara-negara berkembang. Namun bukan berarti bisa berleha-leha, karena tantangan ke depan masih besar. 

Pada 26 September, The Federal Reserve/The Fed akan mengumumkan hasil rapat bulanan. Dalam rapat ini, pelaku pasar memperkirakan ada kenaikan suku bunga acuan setidaknya 25 basis poin. 

Kenaikan ini akan membuat berinvestasi di AS akan kembali menarik, terutama di instrumen berpendapatan tetap. Arus modal akan kembali merapat ke Negeri Paman Sam, dan dolar AS berpotensi kembali perkasa.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular