
Rupiah Masih Ogah Melemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 September 2018 12:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih terus menguat hingga perdagangan pasar spot tengah hari ini. Namun sejak pembukaan pasar, apresiasi rupiah kian menipis.
Pada Jumat (21/9/2018) pukul 12:08 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.825 di pasar spot. Rupiah menguat 0,1% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar spot, rupiah mampu menguat 0,2%. Sesaat setelah pembukaan, penguatan rupiah sempat meninggi. Namun itu tidak berlangsung lama, karena kemudian apresiasi rupiah malah berkurang.
Rupiah bergerak lumayan dinamis. Posisi terkuat rupiah ada di Rp 14.800/US$ sementara terlemahnya adalah Rp 14.835/US$.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sampai tengah hari ini:
Mata uang Asia juga cenderung menguat di hadapan dolar AS. Dolar Hong Kong menjadi yang terbaik di Asia didorong oleh potensi kenaikan suku bunga acuan.
Hari ini, Hong Kong Interbank Rate (HIBOR) pada pukul 12:15 WIB untuk tenor 3 bulan berada di 2,12518%. Ini merupakan titik tertinggi sejak 2008.
Pelaku pasar membaca ini sebagai pertanda bahwa suku bunga acuan 2,25% sudah tidak memadai. Artinya, ada peluang Otoritas Moneter Hong Kong (HKMA) untuk menaikkan suku bunga acuan.
Sepanjang tahun ini, HKMA sudah dua kali menaikkan suku bunga acuan. Namun karena The Federal Reserve/The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir 2018, maka HKMA berpeluang besar menempuh kebijakan serupa.
Berikut perkembangan kurs dolar AS di hadapan sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 12:22 WIB:
Dolar AS masih dalam posisi labil, tetapi cenderung melemah. Pada pukul 12:25 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) masih melemah 0,01%. Meski sudah di ambang batas penguatan, Dollar Index tak kunjung mampu menyentuh zona hijau.
Greenback tertarik-tarik di antara sentimen positif dan negatif. Positifnya, pelemahan dolar AS yang berlangsung beberapa waktu terakhir membuat mata uang ini menjadi murah dan menarik.
Dalam seminggu terakhir, Dollar Index sudah anjlok 1,09%. Sementara selama sebulan ke belakang, indeks ini jatuh 1,31% dan dalam 3 bulan ini koreksinya adalah 0,66%.
Angka-angka ini membuat dolar AS menjadi menarik karena sudah murah. Aksi buru dolar AS berpotensi terjadi sehingga bisa memperkuat nilai mata uang ini.
Perlu diingat bahwa rapat The Federal Reserve/The Fed sudah semakin dekat yaitu 26 September. Dalam rapat tersebut, kemungkinan besar The Fed akan menaikkan suku bunga 25 bps menjadi 2-2,25%. Menurut CME Fedwatch, kemungkinannya mencapai 92%.
Hal yang juga patut diwaspadai adalah meningkatnya probabilitas untuk kenaikan 50 bps menjadi 2,25-2,5% menjadi 8%. Kemarin, kemungkinan untuk kenaikan 50 bps masih di kisaran 5%. Praktis sudah tidak ada ruang untuk potensi The Fed menahan suku bunga di 1,75-2%.
Oleh karena itu, rupiah dan mata uang Asia lainnya masih perlu memasang kode siaga-1. Dolar AS memang masih tertekan karena isu perang dagang, tetapi mata uang Negeri Paman Sam ini punya senjata pamungkas untuk membalikkan kedudukan yaitu kenaikan suku bunga acuan.
Namun untuk saat ini, sentimen negatif masih lebih dominan membayangi dolar AS yaitu perang dagang. Kini investor menilai dampak perang dagang AS-China tidak semenakutkan yang dikira.
Awal pekan ini, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bakal menerapkan bea masuk 10% baru bagi US$ 200 miliar importasi dari China, berlaku mulai 24 September. China juga membalas dengan bea masuk 10% bagi impor produk-produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku 24 September.
Meski masih 'berbalas pantun', tetapi tarif yang dikenakan masing-masing negara lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. AS awalnya diperkirakan menerapkan bea masuk 25%, sementara China 20%.
Oleh karena itu, pelaku pasar membaca bahwa bea masuk ini hanya gertakan jelang pertemuan AS-China. Pekan lalu, Washington dan Beijing mengonfirmasi akan mengadakan perundingan dagang dalam waktu dekat.
Selain itu, isu perang dagang berbalik menjadi bumerang bagi dolar AS. Meski Trump selalu mengumandangkan slogan America First, tetapi Negeri Adidaya masih membutuhkan barang impor karena belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Apabila impor dari China semakin mahal karena pengenaan bea masuk, maka hasilnya adalah ekonomi biaya tinggi. Inflasi akan terakselerasi, sementara pertumbuhan industri dan investasi akan terancam. Akibatnya, prospek pertumbuhan ekonomi AS menjadi penuh tanda tanya.
Sentimen ini yang membuat dolar AS sulit menguat beberapa hari terakhir. Rupiah dan berbagai mata uang Asia mampu memanfaatkan situasi ini dengan membukukan penguatan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Jumat (21/9/2018) pukul 12:08 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.825 di pasar spot. Rupiah menguat 0,1% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar spot, rupiah mampu menguat 0,2%. Sesaat setelah pembukaan, penguatan rupiah sempat meninggi. Namun itu tidak berlangsung lama, karena kemudian apresiasi rupiah malah berkurang.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sampai tengah hari ini:
Mata uang Asia juga cenderung menguat di hadapan dolar AS. Dolar Hong Kong menjadi yang terbaik di Asia didorong oleh potensi kenaikan suku bunga acuan.
Hari ini, Hong Kong Interbank Rate (HIBOR) pada pukul 12:15 WIB untuk tenor 3 bulan berada di 2,12518%. Ini merupakan titik tertinggi sejak 2008.
Pelaku pasar membaca ini sebagai pertanda bahwa suku bunga acuan 2,25% sudah tidak memadai. Artinya, ada peluang Otoritas Moneter Hong Kong (HKMA) untuk menaikkan suku bunga acuan.
Sepanjang tahun ini, HKMA sudah dua kali menaikkan suku bunga acuan. Namun karena The Federal Reserve/The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir 2018, maka HKMA berpeluang besar menempuh kebijakan serupa.
Berikut perkembangan kurs dolar AS di hadapan sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 12:22 WIB:
Dolar AS masih dalam posisi labil, tetapi cenderung melemah. Pada pukul 12:25 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) masih melemah 0,01%. Meski sudah di ambang batas penguatan, Dollar Index tak kunjung mampu menyentuh zona hijau.
Greenback tertarik-tarik di antara sentimen positif dan negatif. Positifnya, pelemahan dolar AS yang berlangsung beberapa waktu terakhir membuat mata uang ini menjadi murah dan menarik.
Dalam seminggu terakhir, Dollar Index sudah anjlok 1,09%. Sementara selama sebulan ke belakang, indeks ini jatuh 1,31% dan dalam 3 bulan ini koreksinya adalah 0,66%.
Angka-angka ini membuat dolar AS menjadi menarik karena sudah murah. Aksi buru dolar AS berpotensi terjadi sehingga bisa memperkuat nilai mata uang ini.
Perlu diingat bahwa rapat The Federal Reserve/The Fed sudah semakin dekat yaitu 26 September. Dalam rapat tersebut, kemungkinan besar The Fed akan menaikkan suku bunga 25 bps menjadi 2-2,25%. Menurut CME Fedwatch, kemungkinannya mencapai 92%.
Hal yang juga patut diwaspadai adalah meningkatnya probabilitas untuk kenaikan 50 bps menjadi 2,25-2,5% menjadi 8%. Kemarin, kemungkinan untuk kenaikan 50 bps masih di kisaran 5%. Praktis sudah tidak ada ruang untuk potensi The Fed menahan suku bunga di 1,75-2%.
Oleh karena itu, rupiah dan mata uang Asia lainnya masih perlu memasang kode siaga-1. Dolar AS memang masih tertekan karena isu perang dagang, tetapi mata uang Negeri Paman Sam ini punya senjata pamungkas untuk membalikkan kedudukan yaitu kenaikan suku bunga acuan.
Namun untuk saat ini, sentimen negatif masih lebih dominan membayangi dolar AS yaitu perang dagang. Kini investor menilai dampak perang dagang AS-China tidak semenakutkan yang dikira.
Awal pekan ini, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bakal menerapkan bea masuk 10% baru bagi US$ 200 miliar importasi dari China, berlaku mulai 24 September. China juga membalas dengan bea masuk 10% bagi impor produk-produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku 24 September.
Meski masih 'berbalas pantun', tetapi tarif yang dikenakan masing-masing negara lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. AS awalnya diperkirakan menerapkan bea masuk 25%, sementara China 20%.
Oleh karena itu, pelaku pasar membaca bahwa bea masuk ini hanya gertakan jelang pertemuan AS-China. Pekan lalu, Washington dan Beijing mengonfirmasi akan mengadakan perundingan dagang dalam waktu dekat.
Selain itu, isu perang dagang berbalik menjadi bumerang bagi dolar AS. Meski Trump selalu mengumandangkan slogan America First, tetapi Negeri Adidaya masih membutuhkan barang impor karena belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Apabila impor dari China semakin mahal karena pengenaan bea masuk, maka hasilnya adalah ekonomi biaya tinggi. Inflasi akan terakselerasi, sementara pertumbuhan industri dan investasi akan terancam. Akibatnya, prospek pertumbuhan ekonomi AS menjadi penuh tanda tanya.
Sentimen ini yang membuat dolar AS sulit menguat beberapa hari terakhir. Rupiah dan berbagai mata uang Asia mampu memanfaatkan situasi ini dengan membukukan penguatan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular