
Rupiah Bakal Perkasa Besok, Ini Faktor-faktornya
Yazid Muamar & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 September 2018 21:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah dan sebagian mata uang utama Asia diproyeksikan semakin perkasa terhadap dolar Amerika Serikat, Jumat (21/9/2018). Hal ini terkait dengan tekanan yang dialami greenback dolar AS.
Pada pukul 20:11 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,69% di level 93.8830. Padahal siang tadi, DXY masih mampu bergerak di 94,41.
Ternyata sentimen negatif dari perang dagang AS vs China lebih dominan dan menjadi pemberat laju greenback. Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan bea masuk baru sebesar 10% kepada impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar akan berlaku mulai 24 September.
Kebijakan ini langsung dibalas oleh China dengan menerapkan bea masuk 10% kepada impor produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku mulai 24 September.
Biasanya, pelaku pasar merespons isu perang dagang dengan memasang mode risk-on, ogah mengambil risiko. Maklum, perang dagang AS vs China dapat mempengaruhi arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Wajar bila investor memilih bermain aman karena risikonya terlalu besar.
Perilaku ini menyebabkan flight to quality, yaitu perpindahan dana ke aset-aset yang dinilai lebih aman dan menjanjikan. Dolar AS adalah salah satunya. Oleh karena itu, perang dagang awalnya menjadi momentum bagi laju dolar AS karena tingginya permintaan terhadap mata uang ini.
Namun sekarang situasinya berbeda. Pelaku pasar justru khawatir perang dagang bakal melukai ekonomi AS sendiri. Sebab, bagaimanapun AS masih butuh barang impor dari China, baik itu bahan baku, barang modal, sampai barang konsumsi.
Jika impor produk China menjadi mahal karena bea masuk, maka akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Hasilnya bisa berupa inflasi, penurunan produksi manufaktur, sampai perlambatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, dolar AS juga dinilai sudah menguat terlalu lama. Dalam 6 bulan terakhir, Dollar Index masih menguat tajam di 5,03%. Dolar AS yang terlalu kuat bisa menjadi senjata makan tuan. Ekspor AS menjadi kurang kompetitif karena barang-barang made in USA lebih mahal di pasar dunia.
Oleh karena itu, sekarang dolar AS justru 'dihukum' saat perang dagang bergelora. Tekanan terhadap dolar AS mampu dimanfaatkan dengan baik oleh rupiah dan mampu menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/dru) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Pada pukul 20:11 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,69% di level 93.8830. Padahal siang tadi, DXY masih mampu bergerak di 94,41.
Ternyata sentimen negatif dari perang dagang AS vs China lebih dominan dan menjadi pemberat laju greenback. Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan bea masuk baru sebesar 10% kepada impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar akan berlaku mulai 24 September.
![]() |
Kebijakan ini langsung dibalas oleh China dengan menerapkan bea masuk 10% kepada impor produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku mulai 24 September.
Biasanya, pelaku pasar merespons isu perang dagang dengan memasang mode risk-on, ogah mengambil risiko. Maklum, perang dagang AS vs China dapat mempengaruhi arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Wajar bila investor memilih bermain aman karena risikonya terlalu besar.
Perilaku ini menyebabkan flight to quality, yaitu perpindahan dana ke aset-aset yang dinilai lebih aman dan menjanjikan. Dolar AS adalah salah satunya. Oleh karena itu, perang dagang awalnya menjadi momentum bagi laju dolar AS karena tingginya permintaan terhadap mata uang ini.
Namun sekarang situasinya berbeda. Pelaku pasar justru khawatir perang dagang bakal melukai ekonomi AS sendiri. Sebab, bagaimanapun AS masih butuh barang impor dari China, baik itu bahan baku, barang modal, sampai barang konsumsi.
Jika impor produk China menjadi mahal karena bea masuk, maka akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Hasilnya bisa berupa inflasi, penurunan produksi manufaktur, sampai perlambatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, dolar AS juga dinilai sudah menguat terlalu lama. Dalam 6 bulan terakhir, Dollar Index masih menguat tajam di 5,03%. Dolar AS yang terlalu kuat bisa menjadi senjata makan tuan. Ekspor AS menjadi kurang kompetitif karena barang-barang made in USA lebih mahal di pasar dunia.
Oleh karena itu, sekarang dolar AS justru 'dihukum' saat perang dagang bergelora. Tekanan terhadap dolar AS mampu dimanfaatkan dengan baik oleh rupiah dan mampu menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/dru) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Most Popular