
Tarif Balasan China ke AS Diprediksi Tekan Harga Obligasi
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
19 September 2018 10:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah diprediksi kembali melemah pada perdagangan hari ini.
Dhian Karyantono, Analis Fixed Income PT Mirae Asset Sekuritas, dalam risetnya hari ini (19/9/18) memprediksi pelemahan surat berharga negara (SBN) diwarnai kekhawatiran pelaku pasar global terhadap pelemahan harga obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Penurunan harga obligasi akan berdampak pada kenaikan tingkat imbal hasil (yield) di pasar sekunder.
"...Didorong oleh kenaikan yield US Treasury khususnya tenor 10 tahun ke level 3,06% (sebelumnya 2,99%, level tertinggi sejak pertengahan Mei lalu) setelah rilis data kepemilikan US Treasury oleh Tiongkok yang turun sehingga memicu aksi jual US Treasury oleh investor," ujarnya dalam riset.
Kepemilikan US Treasury oleh Tiongkok per Juli 2018 turun tipis sebesar 0,59% dibandingkan dengan Juni 2018 (sebesar US$ 1.178 miliar= US$ 1,17 triliun) menjadi US$ 1.171 miliar.
Kondisi itu meningkatkan kekhawatiran pasar terkait risiko pengurangan kepemilikan US Treasury oleh Tiongkok di tengah meningkatnya tensi perang dagang antar kedua negara.
Risiko yang meningkat itu turut mendongkrak nilai tukar dolar AS sebagai salah satu instrumen tujuan yang dianggap lebih aman (safe haven) terhadap pesaingnya yang tercermin dari kenaikan indeks dolar AS di rentang 94,49 poin - 94,60 poin (sebelumnya di rentang 94,47 poin - 94,59 poin) pada perdagangan global semalam.
Menguatnya indeks dolar AS juga diperkirakan memberikan tekanan bagi pergerakan rupiah terhadap dolar AS hari ini meski investor perlu memperhatikan kemungkinan adanya intervensi Bank Indonesia yang memicu pembalikan arah dari rupiah yang pada akhirnya terefleksikan dalam harga SUN seperti yang terjadi pada perdagangan di pasar sekunder kemarin.
Di sisi lain, Associate Director PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus dalam risetnya memprediksi pasar obligasi diperkirakan akan dibuka menguat dengan potensi menguat terbatas.
"Keterbatasan ini datang dari masih cukup banyaknya sentimen negatif dari eksternal. Dalam waktu dekat, tepatnya 24 September 2018, Amerika akan mulai menerapkan kenaikan tarif sebesar 10% yang akan dilanjutkan menjadi 25% pada 2019."
Di lain sisi, lanjutnya, China bersiap membalas kenaikkan tarif tersebut sebesar US$ 60 miliar, kebijakan ini juga akan berlaku pada waktu yang sama. Dia menggarisbawahi bahwa kondisi tersebut akan mendorong perang dagang yang tidak berkesudahan.
Menurutnya, faktor dalam negeri yang akan menjadi perhatian pasar adalah rerubahan kurs dalam asumsi makro APBN dari sebelumnya Rp 14.400 per dolar AS menjadi Rp 14.500 per dolar AS menjadi realitas yang cukup baik bagi Pemerintah, tetapi di sisi yang lain dia mempertanyakan keyakinan pemerintah dalam menjaga nilai tukar rupiah.
Untuk itu, dia dan tim Kiwoom Sekuritas merekomendasikan pelaku pasar untuk menahan aksi beli-jual (hold), hingga masih berpotensi beli.
"Kehati hatian merupakan hal yang terpenting saat ini. Semua sentimen bisa saja menjadi penggerak pasar."
Kemarin, pasar obligasi pemerintah zona Amerika, Eropa, dan Asia didominasi oleh koreksi harga dan kenaikan yield. Di antara negara Asia Pasifik, kenaikan yield terbesar terjadi di Selandia Baru, sedangkan penurunan imbal hasil terbesar terjadi di pasar Indonesia.
Harga SBN tenor 10 tahun ditutup menguat dan menurunkan yield-nya menjadi 8,38% dibandingkan hari sebelumnya 8,42%. Rupiah ditutup menguat menjadi Rp 14.855 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.880 per dolar AS.
Total transaksi SBN kemarin turun, namun total frekuensi naik dibandingkan hari sebelumnya di tengah tengah volatilitasnya pasar obligasi kemarin.
Total transaksi didominasi oleh obligasi berdurasi
Pasar obligasi kemarin sempat mengalami pelemahan, yang didukung oleh melemahnya rupiah kemarin. Namun demikian, Bank Indonesia kembali melakukan intervensi khususnya kepada rupiah sehingga ditutup menguat. Namun, yang menjadi perhatian adalah spread antara imbal hasil US Treasury 10 tahun dengan SBN 10 tahun yang sudah semakin lebar. Kemarin, spread SBN dan UST 10 tahun mencapai 544 bps.
Berikut beberapa faktor dan informasi yang dapat menjadi pertimbangan pelaku pasar surat utang hari ini:
Prediksi Yield Obligasi Negara Acuan 19 Sep 2018
Sumber: Reuters, Mirae Asset Sekuritas, Kiwoom Sekuritas Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/roy) Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%
Dhian Karyantono, Analis Fixed Income PT Mirae Asset Sekuritas, dalam risetnya hari ini (19/9/18) memprediksi pelemahan surat berharga negara (SBN) diwarnai kekhawatiran pelaku pasar global terhadap pelemahan harga obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Penurunan harga obligasi akan berdampak pada kenaikan tingkat imbal hasil (yield) di pasar sekunder.
"...Didorong oleh kenaikan yield US Treasury khususnya tenor 10 tahun ke level 3,06% (sebelumnya 2,99%, level tertinggi sejak pertengahan Mei lalu) setelah rilis data kepemilikan US Treasury oleh Tiongkok yang turun sehingga memicu aksi jual US Treasury oleh investor," ujarnya dalam riset.
Kondisi itu meningkatkan kekhawatiran pasar terkait risiko pengurangan kepemilikan US Treasury oleh Tiongkok di tengah meningkatnya tensi perang dagang antar kedua negara.
Risiko yang meningkat itu turut mendongkrak nilai tukar dolar AS sebagai salah satu instrumen tujuan yang dianggap lebih aman (safe haven) terhadap pesaingnya yang tercermin dari kenaikan indeks dolar AS di rentang 94,49 poin - 94,60 poin (sebelumnya di rentang 94,47 poin - 94,59 poin) pada perdagangan global semalam.
Menguatnya indeks dolar AS juga diperkirakan memberikan tekanan bagi pergerakan rupiah terhadap dolar AS hari ini meski investor perlu memperhatikan kemungkinan adanya intervensi Bank Indonesia yang memicu pembalikan arah dari rupiah yang pada akhirnya terefleksikan dalam harga SUN seperti yang terjadi pada perdagangan di pasar sekunder kemarin.
Di sisi lain, Associate Director PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus dalam risetnya memprediksi pasar obligasi diperkirakan akan dibuka menguat dengan potensi menguat terbatas.
"Keterbatasan ini datang dari masih cukup banyaknya sentimen negatif dari eksternal. Dalam waktu dekat, tepatnya 24 September 2018, Amerika akan mulai menerapkan kenaikan tarif sebesar 10% yang akan dilanjutkan menjadi 25% pada 2019."
Di lain sisi, lanjutnya, China bersiap membalas kenaikkan tarif tersebut sebesar US$ 60 miliar, kebijakan ini juga akan berlaku pada waktu yang sama. Dia menggarisbawahi bahwa kondisi tersebut akan mendorong perang dagang yang tidak berkesudahan.
Menurutnya, faktor dalam negeri yang akan menjadi perhatian pasar adalah rerubahan kurs dalam asumsi makro APBN dari sebelumnya Rp 14.400 per dolar AS menjadi Rp 14.500 per dolar AS menjadi realitas yang cukup baik bagi Pemerintah, tetapi di sisi yang lain dia mempertanyakan keyakinan pemerintah dalam menjaga nilai tukar rupiah.
Untuk itu, dia dan tim Kiwoom Sekuritas merekomendasikan pelaku pasar untuk menahan aksi beli-jual (hold), hingga masih berpotensi beli.
"Kehati hatian merupakan hal yang terpenting saat ini. Semua sentimen bisa saja menjadi penggerak pasar."
Kemarin, pasar obligasi pemerintah zona Amerika, Eropa, dan Asia didominasi oleh koreksi harga dan kenaikan yield. Di antara negara Asia Pasifik, kenaikan yield terbesar terjadi di Selandia Baru, sedangkan penurunan imbal hasil terbesar terjadi di pasar Indonesia.
Harga SBN tenor 10 tahun ditutup menguat dan menurunkan yield-nya menjadi 8,38% dibandingkan hari sebelumnya 8,42%. Rupiah ditutup menguat menjadi Rp 14.855 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.880 per dolar AS.
Total transaksi SBN kemarin turun, namun total frekuensi naik dibandingkan hari sebelumnya di tengah tengah volatilitasnya pasar obligasi kemarin.
Total transaksi didominasi oleh obligasi berdurasi
Pasar obligasi kemarin sempat mengalami pelemahan, yang didukung oleh melemahnya rupiah kemarin. Namun demikian, Bank Indonesia kembali melakukan intervensi khususnya kepada rupiah sehingga ditutup menguat. Namun, yang menjadi perhatian adalah spread antara imbal hasil US Treasury 10 tahun dengan SBN 10 tahun yang sudah semakin lebar. Kemarin, spread SBN dan UST 10 tahun mencapai 544 bps.
Berikut beberapa faktor dan informasi yang dapat menjadi pertimbangan pelaku pasar surat utang hari ini:
- Penjualan otomotif Indonesia turun dari sebelumnya 107.474 unit menjadi 102.197 unit.
- Bank Indonesia memenangkan swaps sebesar US$615 juta dalam usahanya untuk intervensi kurs.
- Bank Sentral Australia, dalam risalahnya menegaskan bahwa tingkat suku bunga acuan kemungkinan akan naik.
- China segera membalas langkah AS yang akan memberlakukan tarif impor pada barang asal China senilai US$ 200 miliar mulai 24 September nanti. (Kontan)
- Pemerintah telah melakukan lelang surat berharga syariah negara (SBSN/sukuk negara) pada 18 September 2018, dengan mendapatkan total penawaran yang masuk sebesar Rp 8,2 triliun. Lelang yang dimenangkan Rp 4,9 triliun. (DJPPR)
Prediksi Yield Obligasi Negara Acuan 19 Sep 2018
Seri | Benchmark | Yield 18 Sep 2018 (%) | Yield 19 Sep 2018 (%) Mirae | Yield 19 Sep 2018 (%) Kiwoom |
FR0063 | 5 tahun | 8.331 | 8.14-8.25 | 8.35 |
FR0064 | 10 tahun | 8.444 | 8.32-8.42 | - |
FR0065 | 15 tahun | 8.699 | 8.59-8.67 | - |
FR0075 | 20 tahun | 8.997 | 8.84-8.91 | - |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/roy) Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%
Most Popular